RB - DUA

1742 Words
Dua Rembulan mengunci dirinya di dalam kamar. Meski kedua telinganya mendengar dengan jelas suara ketukan pintu yang terus menerus pada pintu kamarnya.  Diiringi panggilan dari ayah dan ibunya. Mulai dari panggilan namanya, sayang, cinta, bulan, hingga nama lengkapnya. Lentera Rembulan Segara.  *okey itu namanya aneh* "Rembulan. Ayo buka pintunya, sayang," kata Cendana, masih belum menyerah membujuk putrinya untuk makan malam. Ya, Rembulan sedang menjalankan aksi mogok makan karena keputusan kedua orang tuanya yang memindahkan Serigalanya ke klinik saja.  "Kita harus bicara, sayang," Mareta masih dengan sabar berkata lembut.  Setelah lebih dari satu jam mencoba bernegosiasi dengan Rembulan, akhirnya gadis itu keluar kamar.  Dengan wajah penuh sisa air mata.  "Rembulan lapar, karena daritadi menangis," ujar Rembulan polos. Cendana dan Mareta sungguh bersusah payah untuk menahan senyumnya.  Dan makan malam itu baru dimulai pukul setengah 9 malam. Karena Mareta harus kembali memanasi sayur dan lauknya.  "Rembulan, kita tidak akan membuang serigalamu. Kami, ayah dan ibu hanya menaruhnya di klinik. Di tempat yang aman. Agar kau juga aman," Mareta menjelaskan.  "Tapi kenapa kalian tidak memberitahuku dulu,bu?" "Serigalamu tadi kembali di periksa oleh teman ibu, bibi Cla. Ada yang aneh tentang luka tembaknya. Jadi ibu minta tolong ayahmu untuk menelitinya." "Segera setelah kita tahu bahwa serigala itu baik-baik saja, kita akan membawanya kembali ke rumah. Oke?" Cendana berkata bijak.  Rembulan hanya mengangguk. Kembali menyantap ayam kecapnya.  Ada apa dengan perasaanku ini?  Rindu apa ini? Aku tak pernah merasakan rindu seperti ini.  Ya, ini sesuatu yang aneh. Sungguh aneh sejak aku bertemu dengannya.  **** **** **** Nara memandang ke sekeliling rumah Rembulan.  Rumah sederhana dengan halaman yang luas. Tidak ada pagar tinggu atau pos penjaga di depan rumah seperti rumahnya.  Dan hari ini adalah hari itu. Hari dimana akhirnya Rembulan mengajaknya berkunjung ke rumah Rembulan.  Sungguh rumah teman baiknya sejak 3 bulan yang lalu itu sangat indah. Sejuk dan nyaman. Meski ada di daerah pedesaan.  "Kau mau ku ambilkan minum, Nara?" tanya Rembulan pada Nara.  "Aku mau es jeruk, ada?" Nara kini mengambil duduk di kursi ayunan di teras rumah Rembulan. "Aku harus membuatnya dulu. Kau masuklak ke dalam," suruh Rembulan. "Ayo masuk." Nara menurut. Ikut memasuki rumah Rembulan.  "Kau bisa langsung ke kamarku, kamarku ada disana," kata Rembulan menunjuk kamarnya.  ** ** ** "Di mana ayah dan ibumu?" tanya Nara menerima gelas dari Rembulan.  "Ibuku sedang bekerja di klinik hewan. Dan ayaku akan segera pulang," kata Rembulan melirik jam di tangannya. "Ayahku sudah pulang!" seru Rembulan sembari bangkit dari duduknya. Menuju pintu depan.  Ibunya kerja. Ayahnya baru pulang. Lalu, yang tadi siapa?  ** ** ** Rembulan mengantar Nara hingga ke depan rumah. Saat mobil jemputan Nara datang.  "Padahal aku masih ingin bercerita banyak denganmu, Nara."  "Kau bisa cerita besok, aku harus segera pulang karena sudah sangat sore." Nara memeluk Rembulan sejenak.  Kembali melempar pandangan menyelidik pada rumah Rembulan. Ya Tuhan, yang tadi itu apa?  "Baiklah, sampai jumpa besok." Rembulan melepas pelukan Nara, "Terima kasih Nara." Dan Nara mulai memasuki mobilnya. Mobil biru itu melaju lumayan kencang meninggalkan rumah Rembulan.  Rembulan hendak kembali memasuki rumahnya. Saat kedua maniknya menangkap 2 cahaya kecil berwarna biru tak jauh darinya berdiri.  Rembulan melirik ke kanan dan kiri. Sebelum kemudian berlari menghampiri cahaya itu.  Menghampiri serigalanya.  Rembulan langsung saja memeluk serigala besarnya itu.  Sungguh beruntung dirinya, sore ini sangat sepi jadi dia bisa langsung memeluk hewan kesayangannya itu.  Karena biasanya dia harus berlari satu kilometer menuju hutan baru bisa memeluk hewannya.  "Ke hutan?" tanya Rembulan.  Serigala itu diam. Masih menyorot manik Rembulan.  "Kau ingat apa yang aku ajarkan minggu lalu? Untuk mengangguk jika iya, dan menggeleng jika tidak?" lanjutnya. Mendelik menatap Serigala besar di depannya tanpa takut. Seolah dirinya guru yang sedang memarahi muridnya.  "Serigala? Ke hutan?" Serigala besar itu mengangguk pelan. Seketika membuat senyum Rembulan merekah.  Rembulan langsung saja berlari beriringan dengan serigala tadi.  Menuju hutan.  Ya, setelah ayahnya meyakinkan dirinya bahwa serigala yang mereka selamatkan tidak akan diburu, Rembulan merelakan serigalanya kembali ke hutan.  Dengan sang ayah yang harus mengeluarkan uang lumayan guna memasang cctv di hutan.  Oh, oranh kurang kerjaan mana yang memasang cctv di hutan demi anaknya?  "Ayah, aku tidak mau berpisah dengannya," kata Rembulan masih memeluk serigalanya. "Tidak bisakah kita memeliharanya di rumah?" "Sayang, sungguh ayah ingin memelihara serigala itu untukmu. Tapi tetangga disini tidak setuju karena bagaimanapun, serigala adalah hewan buas." "Tapi bagaimana jika serigalaku diburu dan ditembak lagi?" Rembulan masih menangis.  "Tidak akan sayang," kata Mareta mengusap punggung Rembulan.  "Ibu bisa janji?" Mareta terdiam.  "Ayah berjanji," kata Cendana mantap.  "Apa ayah akan memasang rompi anti peluru untuknya?" Rembulan melepas pelukannya pada serigala.  "Ayah akan memasang cctv di hutan. Ayah akan meminta bantuan polisi setempat agar tidak ada perburuan pada hewan di hutan," lanjut Cendana mantap.  "Kita akan memasang apa?" tanya Mareta tidak percaya.  *** *** "Apa kau sudah makan?" tanya Rembulan setelah sampai di hutan dan terduduk di atas semak-semak yang telah dibersihkan oleh serigalanya.  Serigalanya menggeleng.  "Kau belum makan?" Rembulan terkekeh. "Lalu kenapa kau semakin besar saja?" Rembulan menepuk pelan punggung serigalanya.  "Serigala, apa kau baik-baik saja berada di dalam huta sendirian? Di mana orang tuamu?" Serigala itu terlihat heran. Kemudian ikut duduk menetap Rembulan lekat.  Sungguh langsung membuat Rembulan seperti kena sihir. Gadis itu langsung ambruk. Tertidur. Serigala itu mengamati keseluruhan tubuh Rembulan.  Ayo makan. Kau sudah 3 bulan menahan diri kan?  Sudah makan saja.  Entah apa yang sudah gadis ini dan keluarganya perbuat padamu.  Menolongmu atau apapun itu. Makanlah saja.  Sampai kapan kau akan berpuasa?  Makanlah, dan kau akan terbebas.  Ayo makan serigala bodoh. Makan saja gadis itu.  Toh setelah kau makan tidak akan ada yang tahu siapa yang telah melenyapkan gadis itu.  Ya aku akan memakannya. Serigala itu bergerak mendekat pada tubuh Rembulan yang terbaring lemah.  Aku akan memakannya, setelah aku menemukan bukti bahwa Rembulan tidak benar-benar menyayangiku.  *** Rembulan membuka matanya yang sungguh masih ingin terpejam. Masih ingin terus terpejam.  Namun sorot lampu yang lumayan terang itu sungguh mengganggunya.  "Ayah?" seru Rembulan lirih. Saat membuka mata dan langsung bertatapan dengan raut khawatir ayahnya.  Ah, juga raut khawatir ibunya di balik punggung ayahnya.  "Mau sampai kapan kau akan terus seperti ini Rembulan?" tanya Ibunya dengan nada bergetar dalam suaranya. "Mau sampai kapan kau akan berlari ke hutan saat sore hingga senja menghilang. Kemudian tertidur di tengah hutan. Mau sampai kapan kau akan terus berteman dengan serigala itu?" Rembulan diam. Kembali merasakan penyesalan atas sikap bodohnya yang selalu terulang.  Benar. Ini sudah 2 tahun sejak Rembulan memutuskan untuk berteman dengan serigala yang dia tolong.  Selama 2 tahun itulah, dia akan selalu mengabiskan sorenya di hutan bersama serigalanya.  Entah hanya sekedar duduk, atau bercerita tentang hari-hari Rembulan di sekolah, sejak Narashanza, teman baiknya pindah ke kelas sebelah mulai kelas 3. "Dia butuh teman, Ibu," lirih Rembulan. "Dia tidak punya teman. Seperti saat aku masih SD dulu." Rembulan memang tidak memiliki teman saat SD. Karena pekerjaan kedua orang tuanya, membuat siapapun minder untuk berteman dengannya.  "Rasanya tidak memiliki teman itu tidak enak, bu," lanjutnya. Menundukkan kepalanya,"Temanku hanya Nara dan Serigala itu. Dan teman serigala itu hanya aku." "Bukan begitu, sayang. Serigala itukan --" "Hewan buas. Rembulan tahu ayah. Tapi lihatlah, selama 2 tahun ini aku tidak apa-apa. Serigala itu menjagaku dengan baik. Dia bahkan yang selalu memberitahu ayah jika aku tertidur di hutan," kata Rembulan.  Memang benar. Segera setelah Rembulan terbaring, serigala besar itu akan berlari menuju pohon oak dimana terdapat sensor gerakan yang terhubung pada ponsel Cendana.  Seperti sore ini.  "Baiklah. Tapi kau hanya boleh menemuinya saat minggu. Tidak setiap hari," putus Mareta.  "Tapi.." "Satu minggu sekali Rembulan." Cendana melunak, "Atau kau boleh menemuinya bersama dengan ayah." *** *** *** Rembulan mengerucutkan bibirnya. Menatap kedua orangtuanya kesal.  "Ayah, tidak bisakah kita bertemu dengan teman ayah selain besok? Atau hari ini saja?" kata Rembulam untuk kedua kalinya.  Pagi ini, saat sarapan Cendana mengatakan akan mengajaknya bertemu dengan salah satu teman kerjanya di laboratorium besok. Yang mana sudah jelas itu adalah hari Minggu.  Hari dimana Rembulan bertemu dengan serigala bermata birunya. "Anak teman ayah akan bersekolah di sekolahmu mulai senin. Jadi kami berinisiatif untuk mempertemukanmu dengannya sebelum hari pertamanya masuk sekolah, Rembulan," kata Cendana. "Ayah, tapi ayah tahu sendiri besok adalah hari minggu. Aku sudah lama tidak bertemu dengan serigalaku," protes Rembulan lagi. Bohong.  Iya bohong. Karena sudah jelas 2 hari lalu Rembulan nekat menemui Serigalanya saat kedua orang tuanya sibuk mengerjakan proyek dari walikota tentang vaksin pada hewan.  "Rembulan," panggil Mareta memasukkan bekal Rembulan ke dalam tas. "Kita tidak akan bertemu teman ayahmu selama 24 jam, sayang." "Tapi ibu.." rengek Rembulan manja."kenapa kita tidak menemui mereka hari ini saja? Agar aku besok bisa bertemu dengan serigalaku? Atau aku akan membolos hari ini dan menghabiskan sabtuku di hutan." "Okey kita bertemu nanti malam saja," putus Cendana. Menyudahi sarapannya.  Rembulan tersenyum puas. Kembali melahap serealnya.  *** *** *** Namun, senyum Rembulan hanya berlangsunh 5 menit saja di rumahnya. Karena sesampainya di sekolah, dan ternyata Nara hari ini tidak masuk. Sungguh itu membuat Rembulan tak henti mencebik.  Bagaimana tidak? Nara padahal sudah berjanji untuk membantunya mengerjakan tugas prakarya. Tapi Nara malah ijin tidak masuk.  Terlebih alasannya karena Nara ingin melihat pertunjukan sirkus di kampus tempat Ibunya mengajar. Tunggu tunggu. Sirkus di kampus?  "Rembulan," panggil Fifa, teman satu kelompoknya bersama Nara saat dia kelas 2 lalu.  "Iya Fifa? Kenapa?" tanya Rembulan, menutup buku catatannya.  "Nara menelpon, dia ingij berbicara denganmu." Fifa menyerahkan ponselnya pada Rembulan,"kenapa kau tidak memiliki ponsel, sih?" Rembulan menerima ponsel Fifa.  "Aku lebih suka menghabiskan isi pulpenku daripada menghabiskan isi dompetku, Fifa." Rembulan menyengir.  "Dasar," cibir Fifa, beranjak dari bangku Rembulan, "Aku akan membeli minuman,kau mau?" "Jus mangga. Ini," kata Rembulan mengeluarkan uang dari sakunya,"Aku akan mentraktirmu." Fifa dengan semangat menyambut 2 lembar uang dengan nominal lumayan besar itu.  "Nara?" sapa Rembulan, mulai menempelkan ponsel Fifa pada telinganya.  "Kau jahat!!" seru Nara di seberang. "Saat aku tidak masuk, kau mentraktir Fifa. Kau melupakan aku." "Besok mainlah ke rumahku, aku akan mentraktirmu makanan kesukaanmu." "Orang tuamu ada di rumah, besok?" tanya Nara terdengar menyelidik. Selalu itu yang ditanyakan Nara saat Rembulan mengajaknya berkunjung ke rumahnya.  "Hanya ada Ibu, mungkin. Ayahku besok ada penelitian di daerah kota." "Oke besok aku ke rumahmu. Akan aku bawakan contoh prakaryamu. Kau buatlah tugas di halaman 38 di perpustakaan. Itu yang akan dikumpulkan bersamaan tugas prakarya," suruh Nara.  "Aa.. Terimakasih Nara." "Yasudah, sampai ketemu besok." Panggilan terputus, bersamaan dengan Fifa yang datang dengan jus mangga pesanan Rembulan.  Rembulan mengembalikan ponsel Fifa sebelum menerima uluran jus mangga.  "Besok Nara ke rumah, kau ikut?" tanya Rembulan.  "Ada orang tuamu?" "Kenapa kau dan Nara selalu menanyakan itu setiap aku mengajak berkunjung ke rumah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD