Semua teman-temannya sudah mulai mengantuk dan lemah. Ada yang sudah tergelepar karena terlalu lelah meneguk. Ada juga yang masih bertahan dengan kartu dominonya, walau telinganya sudah digantung batrai rusak, mereka sudah terlihat tak bertenaga. Anggara merasakan udara sudah mulai menuju fajar, ia harus sesegera mungkin untuk bergerak.
Walau kepalanya sedikit berat karena efek minuman itu, ia merasa masih lebih baik tenaganya daripada kawanan perampok yang sudah mulai makin melemah. Dengan cepat Anggara menyabet tas itu lalu berlari sekencang mungkin yang ia bisa. Berpacu dengan waktu dan para preman yang bengis.
Beberapa dari mereka yang masih sadar langsung berhamburan membuat kawan yang lain juga tersadar. Mereka berteriak dan menerjang apapun di depan mereka.
"Penghianat!!! Kejaaar!!!" Wajah mereka sangar dan penuh amarah.
Mereka benar-benar di luar dugaan dan bisa mengejar Anggara seperti kumpulan srigala yang sedang kelaparan memburu mangsa. Amat mengerikan.
Anggara berlari dan terus berlari. Harusnya ia bisa kembali menuju mobil putih yang ia bawa, namun semua tidak sesuai dengan rencananya. Ia menembus kegelapan tanpa tahu apa dan di mana dia saat itu. Ia tidak memiliki tempat tujuan, selain terus berlari dan mendepak apapun yang di depannya. Hanya sinar rembulan sedikit menyinari beberapa sudut. Anggara sadar, ia sedang berada di sebuah tempat yang dikelilingi pepohonan, semak belukar, entah itu kebun atau bisa jadi hutan.
"Sial. Tempat apa ini," umpatnya sambil terus menggusur tumbuhan semak blukar di sekelilingnya. Di depannya sangat gelap. Namun rasa takutnya membuatnya terus maju walau tubuhnya mulai meradang. Jaketnya tak mampu lebih lama menahan duri-duri kecil yang menusuk melalui celah-celah kulitnya yang terbuka.
Sayup ia masih terus mendengar suara para perampok itu. Ia merasa mereka semakin dekat. Anggara gemetar. Ia masih harus bisa keluar dari semak-semak yang menyiksa itu. Bayangan berbagai macam hewan liar dan buas di dalam semak membuatnya bergidik. Namun ia tidak punya pilihan, sama saja. Dimangsa hewan hutan masih ada kemungkinan hidup, tapi jika ditemukan oleh sekumpulan preman itu, tidak ada kemungkinan selain kematian lalu tubuhnya akan dibuang lalu menjadi santapan hewan.
"Cari sampai dapat! Hidup atau mati! Kutu busuk!" teriak salah satu dari mereka yang bisa dikatakan pemimpin. Tubuhnya paling besar dan kekar. Matanya menyala beradu dengan sinar rembulan di atas kepala.
Anggara mengendap. Membenamkan dirinya ke dalam semak-semak. Duri-duri menusuk pelan-pelan memberikan goresan pada wajah, leher, dan tangannya. Terasa dari bawah bajunya juga duri itu masuk seperti tau jalan untuk melukai d**a bidangnya.
Rasa takut menghilangkan rasa sakit. Andai saja ia bisa menghentikan nafasnya sementara, pasti Anggara akan melakukannya. Suara nafasnya yang tersenggal tidak bisa ia kendalikan kecuali hanya mampu menutup mulut dengan erat.
Sungguh para preman itu bukan lawannya. Terlalu menantang maut jika ia berani untuk adu kekuatan. Kalah jumlah, itu pasti. Harus pakai logika bukan semata menjadi pahlawan kesiangan, pikirnya.
"Kami sudah mencari di sekeliling, Bang! Tapi penghianat itu tak nampak," suara salah satu dari mereka melapor.
"Di bagian sayap kanan juga sejauh ini tidak terlihat jejaknya, Bang!" tambah yang lain.
Plaaaaaaak ...!!! Laki-laki bertato kalajengking di wajahnya itu menampar salah satu dari mereka. Menumpahkan segala amarahnya. Yang ditampar pun hanya bisa diam dan tidak berani menatap.
"ANGGARA!!!!!" teriaknya memecah kesunyian hutan. Tubuhnya terguncang hebat. Ia menggenggam tangannya dan membuat kepalan yang sangat kuat lalu menghantam pohon besar yang berada di sampingnya. Darah mengalir begitu deras dari setiap jemarinya. Namun sedikitpun tak terlihat raut kesakitan dari wajahnya.
"Bakar gubuknya! Hancurkan semua yang ada. Jangan ada yang tersisa. Lihat saja saat kita nanti menemukannya, ia akan menyusul ibunya ke neraka!"
Mereka lalu meninggalkan hutan itu juga meninggalkan jejak sakit hati yang nyata. Bagaimana tidak, kekayaan di depan mata, seketika hilang tak berbekas. Yang melakukannya bukan orang lain, kawan sejawat sedari remaja bersama, setelah dewasa jadi pengkhianat.
"Kalian yang akan ke neraka, j*****m!" desis Anggara di balik semak belukar yang semakin membuat tubuhnya terasa dicincang. Ia meringis menggit bibirnya menahan segala rasa sakit di sekujur tubuhnya yang semakin mendera. Andai udara malam bisa sedikit saja melumpuhkan rasa itu, mungkin akan sedikit lebih baik.
Setelah merasa aman, Anggara keluar dengan sangat susah payah. Ia merasa tubuhnya akan terjatuh dengan sendirinya. Akan tetapi ia sadar, ia tidak bisa kembali ke tempatnya semula. Pria itu harus menjauh untuk sementara waktu.
Nampak di ufuk timur, semburat fajar merekah kemerahan pertanda waktu pagi sebentar lagi tiba. Anggara tersuruk-suruk melangkahkan kakinya yang penuh dengan luka. Walaupun ia mengenakan sepatu, namun karena hentakan kakinya yang berlari seperti kilat membuat kakinya terasa sangat perih. Sesekali ia merebahkan diri, pada pohon yang amat banyak, tak terhitung jumlahnya. Ia waspada. Bisa jadi terhindar dari kumpulan serigala berwujud manusia namun ia diincar oleh seekor oleh singa. Apa bedanya??
***
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu kamarnya menyadarkannya. Anggara segera membungkus tubuhnya dengan handuk putih yang bersih dan wanginya sangat lembut. Tentu saja Nyonya yang menyiapkannya. Walau asisten rumah tangga di rumah mewah itu berjumlah lima orang. Urusan Anggara kesayangannya, Nyoya Anita terjun langsung.
"Mas Angga ... Nyonya dan Bapak sedang menunggu untuk makan malam bersama." Suara Bi Odah, asisten yang mengurusi bagian dapur.
"Baik, Bi." Anggara segera memasang kaos biru kesukaannya dipadukan celana pendek yang memiliki banyak kantung. Membalut tubuh tinggi dan kekar, memberikan kesan yang sangat menawan dipandang.
"Bagaimana hari-harimu, Nak?" Hariyanto membuka pembicaraan di tengah santapan yang istimewa. Dia adalah kepala keluarga dalam rumah ini yang berarti ia adalah suami dari Nyonya Anita.
"Semua berjalan lancar, Pak," jawab Anggara dengan menyuguhkan senyum hormatnya.
"Kami masih bisa melihat bekas luka itu. Dapat darimana?" selidik laki-laki yang sama sekali tidak menutupi ubannya dengan pewarna apa pun.
Anggara cengengesan menunjukkan gigi taringnya.
"Ayo jawab. Sudah gak aktifin hp hampir dua minggu terus pulang-pulang bawa bekas luka begitu. Nakal lagi kamu sekarang yaaa?" Nyonya Anita memincingkan matanya ke arah pemuda yang disayangnya itu.
Anggara berkilah, "Cuman main dikit, Nyonya. Bukan luka serius ini. Hanya cakaran kucing kecil." Lalu mengambil satu ekor udang crispi dan langsung melahapnya.
"Alasan." Nyonya Anita melekukkan senyumnya tetap menunjukkan cinta tulusnya untuk Anggara.
Mereka bergurau seperti seorang anak dan kedua orang tua. Anggara merasakan kasih sayang keduanya. Namun, ia merasa tidak berhak mendapatkan hal yang lebih. Desta dan Rena adalah anak kandung dari kedua pasangan ini. Mereka saat ini sedang menyelesaikan pendidikan di luar negri. Desta di Hongkong sedang Rena memilih di Australia.
"Saya izin habis antar barang ke klien, langsung pergi lagi ya, Nya, Pak." Anggara sedikit ragu untuk menyampaikannya.
"Tuh kan Pak. Angga begitu sama Mama. Baru sehari mau pergi lagi. Dibiarkan kita di sini menjadi jompo. Sudah Desta dan Rena di luar negri, sekarang anak nakal ini mulai berulah." Nyonya Anita bersungut. Ia merajuk.
"Kenapa tidak bisa lebih lama di sini, Ngga? Kalau sudah begitu Ibumu, Bapak harus gimana. Berikan saja Bapak tugas yang berat lainnya, misalnya mengurus sebuah rumah sakit yang besar, tapi tidak untuk merayu ibumu. Bapak angkat ketek deh." Laki-laki tua itu terkekeh. Anggara pun ikut menyunggingkan senyum.
"Nya ... secepatnya saya akan kembali. Nanti mau dibawakan oleh-oleh apa?" rayu Anggara.
"Mantu." Singkat dan jelas Nyonya Anita menjawab membuat bola mata Anggara membulat seperti ingin melompat.
"Nyonya ...,"
Tiba-tiba kedua orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Mereka sampai meletakkan dua sendok yang sedari tadi hanya beberapa kali digunakan. Terlalu asik dalam perbincangan.
"Kamu itu ya Ngga, denger kata 'mantu' aja ekspresi sudah kayak lihat kuntilanak aja." Kembali Bapak Haryanto menggelakkan tawa.
"Iya, ya, Pak. Apa mungkin ada gadis yang mau sama Angga yang wajahnya selalu ditekuk, ketus, dingin dan gak ada rona-rona cintanya?" Nyonya Anita menimpali sambil menutup mulutnya menahan suara tawa.
Anggara salah tingkah, menggaruk-garuk telinganya yang tak gatal. Ia bingung, harus menjawab apa. Sebab benar, sejauh ini tidak ada satu wanita pun yang bisa membuatnya merasakan cinta. Kata orang cinta itu keajaiban namun baginya belum ia temukan perasaan itu. Akan tetapi, siapa yang tahu, cinta datang kapan saja dan dimana saja. Tanpa syarat hanya memberikan isyarat. Mampu menembus sampai ke hati walau hati itu sudah mengeras karena kebencian. Bisa jadi, itu adalah pertanda cinta.