BAB 8_MISI

1282 Words
Rumah berlantai dua yang didominasi putih yang memiliki tiang-tiang kokoh yang menjulang. Sisi kanannya diisi oleh kolam renang yang dilengkapi dua kursi panjang berwarna coklat dan berlekuk cantik. Ada meja segi empat di tengah keduanya. Sangat cocok ntuk menikmati cuaca di pagi maupun sore hari sambil menikmati segelas jus jeruk yang menyegarkan. Terlihat di sisi kiri, pos penjaga di samping gerbang dengan dihiasi taman mini yang lengkap dengan aneka bunga. Pemiliknya sepertinya sangat menyukai bunga mawar dan mawar hitam tak luput tertata di bagian tengah. Hanya satu pohon namun mampu mendominasi pemandangan. Gerbang besi berwarna hitam dengan ukiran yang indah memberikan simbol kemegahan. Dibuka dengan begitu cepat dan diiringi oleh penjaga yang memberikan senyum yang sangat tulus. Cahaya lampu ruangan utama berwarna emas yang lembut menyeruak sehingga terlihat dari luar. Lantai yang dilapisi marmer travertine yang memiliki guratan berwarna gold begitu menambah keindahan sebuah kediaman. Laki-laki yang berjaket hitam itu masuk lalu merebahkan dirinya di sofa yang begitu empuk. Rasanya ingin tidur saja namun ia harus menahan diri. Ia mengambil air mineral yang terjejer rapi di atas meja kayu jati yang dilapisi kaca di tengahnya. Tampak d bawah kaca itu ada pasir putih dan aneka terumbu kerang yang beraneka warna juga bintang laut yang sudah kering. Memberikan nuansa alam laut di dalam rumah dengan desain modern yang benar-benar memberikan penampakan mewah. "Angga?!!" Tetiba wanita tua bersanggul itu sedikit tergesa menghampirinya lalu memeluknya. Dari kondenya saja yang berhiaskan berlian, orang akan tahu bahwa ia adalah wanita kaya. "Kemana aja kamu Ca Bagus? Rindu Mama sama kamu. Kamu nakal sekarang ya pergi gak bilang-bilang," ujarnya lagi. "Saya sedikit ada kerjaan, Nyonya." Anggara perlahan melepaskan pelukan wanita itu dengan senyum yang hampir tak terlihat. "Huh kamu ya, HP mu juga gak aktif. Mama harus cari kamu kemana kalau kamu ngilang lagi?" cemberutnya. "Maafkan saya Nyonya. Sebisa mungkin tidak akan terulang," sahut Anggara mencoba meyakinkan. "Janji?" "Janji," Dengan mantap Anggara menjawab. "Anak pintar." Wanita itu melekukkan senyumnya. Merekah dan benar-benar terlihat sangat bahagia. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. "Eiiih ... bukannya besok deadline kita harus mengirimkan berlian yang bulan lalu dipesan oleh klien yang di Bandung ?" "Itu kenapa saya segera pulang, Nya." Anggara segera menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. "Oh ... jadi kalau gak ada kerjaan itu, kamu gak pulang?!" cemberut wanita itu lagi. Terlihat kulit wajahnya yang sudah menunjukkan kerutan-kerutan halus karena usia, sehingga tidak bisa lagi ditutupi oleh make up sekalipun. Benar kata orang, semua akan menua walau ia orang kaya raya. Anggara tersenyum dan memegang pundak wanita yang sangat ia hormati itu. "Saya juga rindu Nyonya sama Bapak. Kalian selama dua minggu ini sehat kan?" Anggara memberikan ekspresi terbaiknya. "Kamu ya paling bisa luluhkan hati Mama. Kami baik-baik saja. Bapak masih mantau rumah sakit. Paling sebentar lagi pulang. Ayo, sekarang mandi! Mama tunggu. Nanti kita makan bareng. Kamarmu nanti Mama rapiin ya." "Jangan, Nya. Nanti saya rapikan sendiri. Hmmm ... mandi dulu ya. Capek soalnya." Wanita itu mengangguk sambil memperhatikan Anggara yang berlari kecil menuju kamar yang berada di belakang. Pemuda itu sengaja memilih lokasi itu karena ia tidak ingin suasana yang ramai. Tuan rumah ini sangat senang sekali mengadakan jamuan dan sering ramai tamu yang datang. Nyonya rumah itu mengembangkan senyum melihat punggung Anggara menghilang di balik dinding berhiaskan lukisan-lukisan abstrak karya seniman terkenal. Salah satunya bertengger karya Ahmad Sadali yang dikenal sebagai bapak pelukis abstrak Indonesia. Tentu saja hasil karyanya memiliki harga yang fantastik. Nyonya rumah lalu duduk bersender di sofa bergaya Eropa kesayangannya. Ia melihat sekelilingnya nampak koleksi benda-benda antiknya terkumpul dalam satu lemari yang lebar. "Haruskah aku menambah satu lagi guci cantik yang ditawarkan bule Prancis tempo hari untuk kuletakkan dekat porselen putih itu, ya?" Dia bergumam sendirian. Nampak porselen kuno yang memiliki desain yang sangat cantik. Ditaksir usainya sudah ratusan tahun dan tentu saja memiliki nilai yang tinggi. Tak luput jejeran cawan mungil berwarna keemasan lengkap dengan nampan kecilnya, mengkilap memberikan isyarat bahwa mereka itu sangat berharga. *** Anggara membersihkan tubuhnya dengan perlahan. Ia menikmati aliran air yang mengalir mengucuri tubuhnya. Ia memang tidak sering berada di sini. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di rumah pribadinya. Rumah yang ia beli dari hasil kerjanya di sini, di rumah Nyonya Anita. Ia juga bekerja sebagai desain grafis yang bersifat freelance. Anggara mempelajarinya dengan mengambil jam pelajaran secara pribadi. Entah kenapa ia begitu suka dengan dunia itu. Upah kerjanya sebagai pengantar barang berharga milik Nyonya membuatnya tidak kesulitan untuk membayar kelas. Yah ... selepas peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu, Anggara diangkat sebagai anak oleh wanita yang ditolongnya, tidak lain adalah Nyonya Anita. Walau Anggara belum bisa menempatkan diri benar-benar seperti anak, wanita itu tetap tulus mencintainya seperti seorang ibu. Ia bisa hidup lebih layak itu tidak luput dari kebaikan hati Nyonya Anita yang mempercayainya. Nyonya Anita lah yang membentuk pribadinya lebih luwes, mampu berkomunikasi ramah dengan orang lain, dan paling terpenting adalah ia menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Hati memang tidak bisa dipaksa. Anggara masih merasa dirinya sebagai pekerja dari Nyonya Anita dan ia sangat menghormati wanita itu juga suaminya, Haryanto. Ia tidak ingin lebih apalagi rakus. Ia tahu posisinya di mana dan dari mana ia berasal. Terlepas dari itu, sangat kaku bibirnya untuk memanggil "Mama" pada wanita lain. Sebaik apapun dia walau sekaya apapun dia. Kata "Mama/IBU" bukan hal yang mudah untuk diucapkan. Baginya, ibunya hanya satu dan takkan tergantikan walau sekedar sebutan. Sebab setiap ia menyebut kata ‘ibu’, ada bagian hati yang terasa teriris sembilu. Perih menahan rindu yang tidak akan pernah berujung. Masih hangat diingatannya saat ia mendekati teman-temannya yang telah menculik barang milik Nyonya Anita. Mereka sedang asik minum alkohol dan pasti sambil merokok. "Dapat banyak ya hari ini, Bro?" Anggara membuka percakapan. "Iya ... Lo jangan minta jatah ya. Lo kan gak gabung." Laki-laki bertindik di lidahnya itu memincingkan mata. "Ya nggaklah. Gua juga tau diri. Tapi sekedar ikut minum, bolehlah ...." Anggara meneguk puas isi botol yang berjejer di hadapannya. "Aaah ... habiskan sampai pagi!!" Suara tawa secara bersamaan memenuhi ruangan sempit itu. Saat semua sudah mulai terlihat lelah, Anggara mencoba mendekati tas silver bermotif seperti sisik tersimpan begitu saja di tengah-tengah mereka. Ia mencoba membukanya dan melihat isinya. Tiba-tiba tangan seseorang memukul pundaknya keras. "Heei Bro ... jaga tangan! Lo itu gak berhak. Lo gak ikut kerja," ujar seorang laki-laki bertumbuh kekar dan bertato naga api di dadanya. Udara sedingin ini, dia tetap memilih tidak berbaju. Apa iya tato naga yang sedang menyemburkan api benar-benar mampu menghangatkan tubuh? Tidak masuk di akal. Anggara tersenyum lalu meneguk kembali minuman di hadapannya, lalu berkata," Gua penasaran aja sama isinya, Bro. Lo amankan aja semua isinya terus buang tasnya sama surat-surat itu. Jaga-jaga biar gak ada barang bukti." Anggara mencoba memancing. Ia ingat, Pemilik Tas itu berkata cukup surat-surat saja. "Kok bisa Lo bodo sekarang, Bro? Surat-surat itu bukan sekedar surat. Itu isinya surat perjanjian utang-piutang. Ada juga sertifikat properti. Hanya amplop itu aja yang isinya kek surat cinta. Heran gua kok ada surat macam gitu dibawa sama nenek-nenek," kekehnya disambut tawa temannya yang lain. "Terus kalian mau apakan surat-surat itu?" selidik Anggara dengan wajah lebih serius. "Ya kita minta tebusan lah!" Lagi-lagi sekumpulan perampok itu tertawa seolah hari esok tiada derita lagi. Anggara terdiam. Jika dia lanjut memancing agar surat-surat itu dibuang, pasti teman-temannya mulai curiga. Lebih baik ia menunggu waktu yang tepat untuk membawa kabur kembali barang-barang itu kepada pemiliknya. Ia begitu yakin dengan misinya malam ini, agar bisa lepas dari perkumpulan perampok itu. Ia memang tidak pernah ikut merampok namun ia merasa tidak merasa nyaman dengan lingkungan itu. Mungkin setelah jasa yang dilakukannya untuk wanita kaya itu, ia bisa merubah hidupnya. Bisa menjalani hidup dan pekerjaan yang lebih terhormat. Sebab ia memiliki misi lain yang harus segera dituntaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD