BAB 7_VIRUS

1427 Words
Almaira menyelimuti tubuhnya dengan sehelai kain. Ia merasa kedinginan sekaligus bingung harus menghabiskan malam ini dengan melakukan apa. Gadis berdagu bulat itu memandangi sekeliling ruangan, jauh lebih layak dibandingkan saat tadi pagi. Obat-obatan itu, sangat manjur membuat tubuhnya terasa lebih segar. "Aku ngerasa laki-laki itu masih memiliki sisi baik. Jika benar-benar jahat, dia pasti dengan mudah memperkosaku disaat aku lemah," gumamnya. "Mungkin aku harus bicara dengan cara yang baik untuk mendapatkan simpatinya. Jadi dia akan memberikanku alasan yang kuat kenapa sampai mengurungku di tempat ini." Almaira memikirkan banyak hal hingga ia mendengar pintu dibuka. Ia melihat Anggara sudah lebih rapi dengan stelan kaos putih dan celana selututnya. Terlihat, pemuda itu membawakannya nampan berisikan makanan dan minuman hangat. "Makanlah lalu minum obatmu! Aku akan kembali besok pagi. Jika kau butuh sesuatu, berteriak atau lempar saja sesuatu ke arah pintu. Aku pasti mendengarnya." Anggara tidak mau memandang gadis itu. Takut pikirannya terganggu lagi. Segera ia menuju pintu namun langkahnya terhenti. "Tunggu! Aku ingin bicara sekarang," ujar Almaira. "Kamu akan membuatku murka lagi. Aku sedang tidak ingin menyerang seseorang." "Nggak! Aku pastikan kita akan bicara baik-baik. Tolonglah," pinta Almaira. Anggara membalikkan tubuhnya dan berkata, "Apa yang ingin kau bicarakan?" "Mendekatlah! Aku sungguh-sungguh ingin bicara," Almaira memelas. Anggara merasa jantungnya mulai berdegub tak beraturan. Melihat wajah cantik itu mengiba, ia tidak sanggup lebih mendekat lagi. "Katakan. Aku tidak punya banyak waktu." “Siapa kamu?” Anggara terdiam. “Maksudku, siapa namamu?” Almaira memandang lekat wajah laki-laki di depannya. “Anggara.” “Hmmmm … kamu bekerja untuk siapa?” tanya Almaira sedikit ragu. Anggara mengernyitkan dahinya. Pria itu terdiam sejenak lalu berkata, “Aku tidak memiliki jawaban.” "Aku mohon kali ini jawab pertanyaanku. Kenapa kamu tidak bunuh saja aku jika di hatimu memiliki begitu besar kemarahan dan kebencian? Tapi sebelumnya, katakan, kenapa aku bisa ada di sini? " Alamaira menahan kristal bening di sudut matanya agar tidak terjatuh namun suaranya tak mampu berdusta. Berat. "Aku tidak mau menjawabnya," tegas Anggara bersiap pergi. "KENAPA!!!" teriak Almaira. Akhirnya air matanya kembali mengalir deras. Sudah tak kuat ia menahannya lagi. "Aku tidak membencimu." Anggara menjawab pelan. "Lalu kenapa kau hukum aku?" "Kamu tidak memiliki kesalahan apapun padaku tapi ayahmu. Ayahmu berhutang nyawa padaku. Kamu yang harus membayarnya." "Kenapa harus aku?" Almaira terisak. "Karena nyawa yang dihilangkan oleh ayahmu adalah nyawa seorang wanita yang aku sangat cintai! Ayahmu harus merasakan kehilangan wanita yang tidak bisa digantikan kedudukannya, yaitu kau!" Anggara menggebu dan matanya menyalak. "Apa maksudmu hah? Ayahku bisa memberikanmu sepuluh wanita yang kau butuhkan jika kau mau. Tidak dengan mengurungku di tempat terkutuk ini!!!" jerit Almaira tak terkendali. "Lancang sekali mulutmu bicara!" Anggara meremas tangannya sendiri menahan kemarahan yang amat sangat. Bisa-bisanya gadis di hadapannya ini berpikir ada wanita yang bisa menggantikan sosok ibunya. Seribu bidadari pun baginya belum cukup. "Kenapa hah? Laki-laki sepertimu tak cukup dengan sepuluh wanita? Kau mau tambah?" sinis Almaira. Anggara mendekati gadis itu, menaiki ranjang dan menyudutkannya. Almaira gemetar. Bola mata laki-laki yang dihadapannya itu benar-benar membuncah seperti ingin keluar. Anggara menggenggam rahang gadis itu dan membiarkan nafas mereka saling memburu. "Dengarkan aku baik-baik!" Anggara menggigit gerahamnya menahan luapan emosinya yang tak terbendung lagi. "Buang pikiran kotormu itu tentangku. Jangankan sepuluh wanita, seratus wanita bisa aku dapatkan dalam semalam. Apalagi wanita yang bermulut jalang sepertimu. Tapi sayang, aku tak sudi." Anggara mendorong dengan keras tubuh Almaira hingga tersungkur ke sisi kepala ranjang besi itu. "Kurang ajar!" umpat Almaira merasa dirinya terhina diperlakukan seperti itu oleh laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal. Anggara mengambil gelas yang tidak jauh berada di dekatnya lalu menuangkan semua isinya ke seluruh tubuhnya. Pemuda itu berharap, guyuran air itu sedikit bisa menenangkannya. Terlalu panas rasa hatinya seperti terbakar mendengar perkataan gadis yang ia pun tidak begitu mengenalnya. Hanya namanya saja, Quisya Almaira Irsyad. Gadis berwajah oval, tak bersenjata namun ucapannya mampu menembus dalam sampai ke dalam jantungnya. Tak puas ia dengan isi gelas itu, ia melempar gelas kosong itu ke arah dinding. Memantul, hancur dan berceceran. Almaira histeris namun ia tidak peduli. Ia berlalu meninggalkan gadis itu dan kali ini bantingan pintu jauh lebih keras. *** Sinar matahari kembali menerangi ruangan yang gelap melalui ventilasi udara yang sempit. Khas terdengar bermacam-macam kicauan burung saling bersahutan. Suaranya merdu dan membawa kedamaian namun tidak bagi dua insan yang di dalam rumah tua itu. Mereka memendam emosi yang sangat kuat untuk saling membenci satu sama lain. Mereka tidak tahu, perasaan benci itu sangat tipis dengan cinta. Seperti kelelawar yang membenci siang karena mendambakan malam namun kelelawar lupa, tanpa siang malam pun tiada. “Berikan lenganmu!” tegas Anggara. “Bunuh saja aku!” “Kau berikan atau aku akan memaksamu!” ancam Anggara kembali. “Biarkan aku membusuk di sini.” “Keras kepala,” gerutu Anggara. Ia yakin, di balik kain penutup lengan gadis itu, ada luka karena pecahan gelas yang semalam ia lempar. Ada sekumpulan noda darah di sana. “Angkat!” “Dasar manusia m***m,” cebik Almaira. “Lengan bajumu, angkatlah! Aku ingin melihat lukanya sedalam apa.” “Apa urusanmu? Biarkan aku sendiri!” p***s Almaira tak mau menurut. “Baiklah, kau yang membuatku harus melakukan ini.” Anggara menarik bahu Almaira lalu merobek lengan bajunya. Almaira memberontak namun kekuatan gadis itu tidak mencukupi untuk melepaskan diri dari cengkramannya. “Lepaskan! Tak sopan!” Anggara mengabaikan setiap kalimat yang keluar dari mulut Almaira. "Tak beradab!" umpat gadis itu lagi. Anggara fokus menyiram luka yang menganga itu dengan alkohol lalu menutupinya dengan cairan berwarna merah darah. Dengan cekatan ia membungkus luka itu kembali dengan kain kasa dan sengaja mengikatnya cukup kencang agar gadis itu berhenti meracau. “Aaaauuuh sakiit! Kau benar-benar berniat membunuhku secara perlahan!” Anggara tidak peduli. Ia memegang tangan Almaira, diperhatikan kedua pergelangan tangan yang lentik itu. Ada luka yang cukup besar, luka gesekan yang dipaksakan. Almaira meringis. “Jangan terlalu keras dengan dirimu,” ujar Anggara tetap fokus membersihkan darah kering di sekitar luka. Ia cukup kesulitan karena luka itu tersembunyi di balik borgol besi yang ia sendiri yang memasangnya. Jika ditilik, teringat dengan syair lagu, *kau yang mulai kau yang mengakhiri*, kau yang melukai kau yang mengobati. Ah … lupakan. Almaira mulai melemah. Ia merasa sedikit berdegub saat hidung Anggara seperti akan menyentuh kulitnya. Ia tidak ingin sedikit saja gerakan tubuhnya, akan membuat itu benar-benar terjadi. Anggara berpindah ke bagian kaki, terlihat ada goresan luka di bagian jari-jari gadis itu. Jika dibiarkan terlalu lama, itu akan membuat infeksi yang lebih sulit untuk disembuhkan. “Jangan langgar batasanmu!” gertak Almaira menekukkan lututnya. Anggara menarik betis indah itu kasar. Almaira berusaha menekuknya kembali, namun ia kalah tenaga. Laki-laki bermata elang itu menekan lututnya kuat dengan salah satu tangannya. “Saat ini, aku tidak bisa membedakan mana kuku badak dengan kuku seorang gadis,“ sindir Anggara sambil mengoleskan obat merah ke seluruh bagian jari-jari kaki Almaira. “Apa katamu?!” Almaira semakin berang. Gadis itu menendang kedua kakinya kuat-kuat namun ia tersentak karena telapak kakinya tiba-tiba digenggam Anggara. “Aaaaaauuuh!!! Lepaskan! Geli!” teriaknya namun seperti rasa ingin tertawa tapi itu bukan lelucon. Badannya seperti rasa disetrum dengan sensasi geli yang tak bisa ia tahan. "Lepaskan!! Anggara!!!" “Makanya, bisa diam tidak?!” bentak Anggara dengan wajah masamnya. Sejujurnya ia menyembunyikan perasaan canggung ketika gadis itu memanggil namanya. Sungguh ada sesuatu yang baru yang dia rasakan secara bersamaan. Entah apa itu, yang pasti, saat ini sebenarnya ia malu. Almaira kembali tenang. Ia menahan nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Adegan aneh apa yang sedang berlangsung? Almaira bingung, apakah dia sedang dalam kemalangan atau sedang ditolong? Gadis cantik itu memilih diam saat laki-laki itu sedang mengobatinya. Ia memperhatikan wajah pemuda itu lamat-lamat. Jantungnya sedikit berdegub saat tangan kekar itu memegang kapas yang sudah berubah warna, mengobati luka di bagian pelipisnya. Seketika kelopak mata Almaira terkulai mengatup dan ia bisa menghirup wangi tubuh pemuda yang di hadapannya itu. Darahnya berdesir dan pikirannya tak mau terus berada di situasi tidak nyaman itu. Ia membuka matanya berniat untuk menepis tangan Anggara, namun apa yang dilihatnya membuatnya semakin mematung. Tatapan tajam, hidung yang melengkung tinggi, rahang yang kuat, nafas yang hangat sangat jelas terasa di kulit pipinya. Satu kata yang terlintas di benak Almaira, ‘tampan’. Secara hampir bersamaan mereka tersentak, seolah menyadari ada yang mulai tidak beres. Anggara melempar sisa obat di tangannya ke pangkuan Almaira. “Obat sendiri, dasar gadis manja!” “Aku tak pernah memintamu mengurusku!” sahut Almaira berusaha mengatur nafasnya. Anggara beranjak tanpa menoleh. Rasanya ada yang segera harus ia perbaiki di pikirannya. Seperti komputer, ia sedang terkena virus. Tidak peduli virus apa, ia akan men-delete-nya sampai musnah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD