Dengan wajah berat dan dingin, Anggara menggerutu sendirian sambil mengunyah roti berselai coklat kesukaannya. Akan tetapi, dia terlihat tidak menikmatinya.
"Wanita itu benar-benar membuatku ingin memakannya hidup-hidup."
Ia memikirkan sesuatu.
"Memuakkan," gerutunya lagi.
Dalam hitungan menit, Anggara menghabiskan makanannya lalu meneguk segelas s**u hangat dengan cepat. Ia berjalan menuju tumpukan barang yang tak beraturan, mencari sesuatu.
Akhirnya dia menemukan apa yang dia cari. Sebuah sapu ijuk dari sabut kelapa yang tertutupi debu. Ia menghentak-hentakkan sapu itu beberapa kali, membuat benda itu sedikit lebih ringan. Anggara kembali membongkar dan mengangkat sebuah alat pembersih lantai lengkap dengan cairan pembersihnya.
"Ini cukup!"
Pemuda itu sedikit mengendus memastikannya isi dari botol kusam yang tak terlihat bening lagi. Perlahan ia membuka pintu dan menemukan Almaira sedang tertidur. Ini sudah menjelang sore. Matahari mulai redup dan udara mulai berganti hawanya. Ujung matanya sedikit memperhatikan lekukan tubuh Almaira. Bibirnya yang sedikit kering namun masih merah ranum dihiasi dengan bulu mata yang lentik alami membuat siapapun menatapnya akan mengatakan bahwa gadis itu sungguh cantik.
Hati kecil Anggara tidak mampu mengelak, Almaira memang gadis yang sangat cantik. Ia memikirkan sesuatu yang tiba-tiba muncul dari aliran darah ke otaknya.
"Sssshhh … tidak-tidak! Pikiran apa ini?!"
Anggara seketika membelakangi tubuh indah itu dan mulai mengumpulkan apapun yang berserakan di sana.
Dengan gagang sapu, ia menghancurkan sarang laba-laba kecil yang berasal di sudut tembok. Sudah lama sekali bangunan itu memang tidak berpenghuni. Terakhir ia mengunjunginya 5 bulan yang lalu. Ini adalah bangunan yang secara tidak sengaja ia temukan saat bersembunyi dari kejaran para preman.
Preman-preman itu menginginkan hasil curian mereka yang Anggara bawa. Mereka berhasil merampok barang-barang berharga milik wanita kaya, seorang pengusaha perhiasan. Para lelaki sangar itu menghentipaksakan mobil yang ditumpanginya lalu melumpuhkan sopirnya. Anggara yang mengetahui rencana itu hanya memperhatikan dari jauh aksi mereka. Sebenarnya mereka saling mengenal dengan baik namun Anggara memilih untuk tidak ikut andil.
Ia melihat ternyata yang di dalam mobil adalah seorang wanita paruh baya seperti seusia dengan ibunya, andai Ibunya masih hidup. Anggara merasa tidak nyaman dengan aksi teman-temannya itu. Mereka memaksa wanita itu menyerahkan semua yang sedang dia pakai. Perhiasan, jam tangan, dompet dan handphone mereka kumpulkan dalam tas wanita itu sendiri. Anggara masih terus memantau mereka. Nuraninya berkata air mata ibunya tidak berbeda dengan air mata pengusaha itu.
Setelah kumpulan preman itu pergi, wanita itu tersungkur menangis di samping sopirnya yang tidak sadarkan diri. Ada bercak darah di bibir dan di bagian rahangnya juga ada luka. Anggara mencoba melangkah menghampiri mereka. Berpikir untuk sedikit menenangkan seorang ibu.
"Nak ... Naaak ... Naaaak ...!"
Walau dari kejauhan, ternyata wanita itu melihat Anggara dan terseok-seok menghampirinya. Anggara mempercepat langkahnya.
"Nak, tolonglah saya. Mereka mengambil semua perhiasan saya dan di dalam tas itu. Di sana ada surat-surat yang bernilai," tangisnya.
Anggara hanya terdiam sambil menopang tubuh wanita malang itu. Hampir-hampir tubuh lemah itu tersungkur.
"Saya tidak mempermasalahkan perhiasan Nak, ada surat perjanjian dengan orang dan itu sangat penting."
Anggara masih diam.
"Tolong saya, Nak!" Wanita itu berlutut dan hampir saja bersujud. Anggara terperanjat.
"Baiklah. Saya kan berusaha menolong. Sebelum itu, Nyonya harus aman. Saya antar Nyonya pulang sekarang."
Anggara kaku. Ada aroma ibunya pada wanita ini. Aroma kegigihan, ketulusan dan cinta.
Wanita itu menurut pasrah ketika Anggara mengangkat tubuh sopirnya lalu menyetir mobil mewahnya. Sepanjang jalan wanita itu menangis dan sesekali meremas-remas ujung bajunya sebagai tanda ia sedang butuh ditenangkan. Untung saja ia masih bisa mengingat jalan pulang.
Wanita itu diam sesaat dan memperhatikan Anggara dengan seksama. Dengan suara lirih, ia berkata, "Bawalah mobil ini Nak. Saya percaya kamu akan kembali membawa surat-surat itu."
"Saya bisa kembali dengan berjalan kaki saja, Nyonya," timpal Anggara, "Saya akan menolong semampu saya."
"Jangan Nak. Sebelum para penjahat itu terlalu jauh. Kamu harus mengejar mereka. " Mata wanita itu berkaca-kaca penuh harap.
“Nyonya tidak ingin melapor polisi?”
“Tidak, Nak. Butuh banyak waktu dan saya takut malah mereka memusnahkan barang bukti.”
"Bagaimana jika saya membawa kabur mobil Nyonya?" kelakar Anggara.
"Nyonya tidak takut? Nyonya kan tidak mengenal saya," lanjutnya lagi.
"Tidak, Nak. Saya yakin kamu pemuda yang baik. Jika tidak, kamu pasti bergabung dengan mereka. Saya tahu kamu mengenal mereka. Tampilan kalian tidak jauh berbeda. Tolonglah, Nak. Cukup surat-surat itu saja. Mereka juga tidak memerlukannya."
Wanita itu mengiba dan kembali menangis.
Anggara mengambil kunci yang sedari tadi disodorkan wanita kaya itu.
"Saya pamit," tangkasnya lalu berderap kencang menembus malam.
Saat itu sinar rembulan malam cukup terang. Semilir angin terasa makin dingin dan membuat kulit semakin mengerut saja rasanya. Anggara memarkir mobil cukup jauh dari tempat yang ia tuju. Ia suka dengan mobil itu dan ia tidak pernah naik mobil jika tidak sedang dalam pekerjaan.
Yaa ... dia adalah salah satu dari dept collector sebuah agen jual beli barang antik. Namun terkadang ia tidak cukup yakin, apakah hanya barang-barang antik saja. Bisa saja barang lain yang juga sangat berharga hingga bisa bernilai ratusan juta.
Agen itu sengaja memperkerjakannya dan anak jalanan lainnya karena tampang mereka yang bisa membuat siapapun bergidik ngeri. Panas terik matahari membakar kulit mereka dan kerasnya hidup di jalan membentuk jiwa mereka menjadi seperti batu. Guratan-guratan pada wajah mereka memberikan isyarat betapa mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Setiap ada klien yang bermasalah, agen akan menelpon ketua dan meminta siapa saja yang akan bertugas. Semakin banyak track recordnya berhasil menagih, semakin sering akan diberi tugas.
***
Asik dalam lamunan masa lalunya, Anggara terperanjat karena secara tiba-tiba Almaira sudah ada di belakangnya. Sapu yang ia pegang terpental jatuh dan cairan pembersih lantai tumpah ruah. Anggara sedikit melompat.
"Sejak kapan kamu ada di situ haahhh ...?!" Anggara memekik dalam nafasnya yang memburu.
"Dasar pengecut. Gayamu saja seperti preman top. Melihatku saja kau terjungkal," balas Almaira tiada takut.
"Kamu ... benar-benar ...." Anggara seolah kehabisan kosa kata.
"Aku ingin pipis. Dimana kubuang hajatku ini? Di sini? Tapi ingat, aku tak mau membersihkannya sendiri. Siapa suruh mengikatku begini," tukas Almaira tiada beban.
"Maksudmu? Jangan coba-coba kau melakukan itu atau aku akan me--"
"Apa? Kamu mau apa ha? Terus kalau aku mau pipis begini, harus bagaimana? Aku sudah tak kuat. Aaaauuhh ...." Almaira menyilangkan kaki jenjangnya menahan kantung kemihnya yang terasa sangat penuh.
Anggara gelagapan. Ia memeriksa saku bajunya namun apa yang dicarinya tidak ada. Kunci borgol itu ada di meja dapur. Ia merasa tidak punya waktu lagi. Ia mendorong ranjang besi dengan kuat mendekati sebuah ruangan kecil yang memang menyatu dengan kamar itu. Dia merasa panjangnya rantai di tangan Almaira cukup sampai ruang tandas.
"Masuklah. Cepat!" Anggara panik membayangkan jika sampai apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi.
"Tidak kuat! Aku tak kuat membuka kakiku. Pasti akan keluar dengan sendirinya!" Almaira tak kalah paniknya.
"Sial!" umpat laki-laki kekar itu.
Ia tidak punya pilihan lain. Dia mendekati Almaira dan memapah tubuh gadis itu. Almaira terkejut namun keinginannya untuk buang air kecil sudah benar-benar tak tertahan.
Anggara menghela nafasnya kuat-kuat. Jantungnya masih berdegup. Semalam rasanya ia begitu penuh dengan perasaan marah dan benci. Mengapa sekarang tubuhnya bergetar tiada mampu ia kontrol. Di balik pintu itu, ada seorang bermata indah sedang bersenang-senang dengan air.
"Awas kalau kau mengintipku!"
"Ciiih ... tak sudi," lirih Anggara hampir tidak terdengar.
Anggara memutuskan untuk berhenti berada di ruangan itu. Ia lekas menutup pintu kamar dan berlalu mencari pengalih pikiran karena ada sesuatu yang mulai menelusup masuk ke dalam aliran darahnya. Pelan namun terasa. Sesuatu yang sulit ditentukan identitasnya. Entahlah.