Almaira menghembuskan nafasnya karena merasa lega. Lega karena laki-laki yang membuat hatinya sakit itu keluar tanpa menyentuhnya lebih jauh. Sepertinya, justru laki-laki itu muak dengannya dan itu bagus baginya. Namun dia harus tetap waspada karena segala sesuatu bisa terjadi. Dia tak boleh lengah, pikirnya.
"Aku harus bisa keluar dari sini. Jangan sampai martabatku sebagai seorang gadis dipertaruhkan,” gumam Almaira dengan suara sangat pelan. Gadis itu mengatur nafasnya, memberikan kekuatan pada setiap persediannya.
Almaira mencoba bangun dan duduk bersender pada kepala ranjang besi itu. Ia terus mengatur nafas dan memegangi kepalanya. Rambutnya diremas perlahan agar pusing yang dia rasakan sedikit berkurang. Suhu badannya memang sedang dalam keadaan tidak normal. Itulah yang menyebabkan ngilu seluruh tubuhnya makin menjadi.
Almaira memalingkan wajahnya dan menatap meja kecil yang masih terlihat kokoh. Ia merasa memiliki tenaga yang cukup untuk meraih apa yang tersimpan di atas meja tersebut. Gadis itu berhasil menggapai plastik putih dan membuka isinya. Almaira mengepal-ngepalkan benda tipis itu di genggamannya seperti menjadikannya sebuah bola.
"Apa yang sedang dipikirkan laki-laki tak berperasaan seperti dia? Menyiapkanku makanan dan obat-obatan ini agar aku lebih lama lagi hidup dan bisa lebih lama lagi dia siksa? Jangan harap." Almaira melemparkan ‘bola’ itu ke arah pintu. Rasa sakit di tubuhnya tidak seberapa dengan rasa nyeri di hatinya.
Benturan bola itu tak bersuara, tapi cukup membuat Almaira sedikit puas. Gadis itu merasakan kepalanya semakin sakit dan setiap persendian tubuhnya makin nyilu. Ia paham tubuhnya sedang memberikan sinyal agar ia tetap berbaring. Lapar tentu saja. Sejak kemarin ia belum memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Ia tergoda dengan sajian di atas meja namun saat ingin mengambilnya, ia melihat pergelangan tangannya yang terikat. Almaira merasakan sakit dari dalam hatinya dan tak bisa ia bendung. Benar-benar harga dirinya sedang dalam kepiluan. Rasanya, dirinya tak ubah seperti hewan yang diikat rantai dan dikurung dalam kerengkeng. Benar-benar tak berharga.
Almaira beringsut dan duduk di pinggir ranjang menghadap meja kecil itu. Ia lalu menyerakkan apa yang bisa ia jangkau dengan sisa-sisa tenaganya. Semuanya jatuh terhentak dan memberikan suara nyaring yang beriringan dengan tangisnya. Tak luput dengan meja kecil, terjungkal dan melesat cukup jauh dari tempatnya berdiam sebelumnya. Almaira menendang apapun yang ada di dekatnya. Ia menangis mengutuk keadaan. Gadis itu sungguh menyedihkan.
***
"Sudah tidak waras kau hah?!!!"
Anggara menyalak melihat pemandangan yang dihadapannya. Begitu sangat berantakan. Pertama kali ia menyiapkan makanan bagi orang lain, ternyata berakhir harus bercampur dengan debu dan tak layak lagi dikonsumsi.
Almaira tetap saja menangis. Ia mengabaikan kehadiran Anggara.
"Berhenti menangis!!!" teriaknya lagi.
Mendapati Almaira tetap mengabaikannya, Anggara mengambil piring yang berserakan lalu membuangnya kosong ke arah dinding. Suara dentumannya nyaring memekik telinga.
“Kau bunuh saja aku sekarang agar kamu puas!” teriak Almaira serak.
“Kenapa kamu diam? Bunuh saja aku! Kematian lebih baik untukku daripada membusuk di sini bersama laki-laki tak bermoral sepertimu!” cecar Almaira dengan sisa-sisa tenaganya.
“Aku memberikanmu obat dan makanan, apa itu begitu buruk hah?!” Anggara tak mau kalah.
“Aku memilih kelaparan daripada menerima belas kasihanmu seperti itu. Aku bukan hewan peliharaanmu!” Almaira menyalang melemparkan teko yang telah habis airnya ke arah Anggara. Laki-laki itu enggan untuk menghindar. Teko itu mengenai dadanya.
"Baiklah, jika ini maumu. Akukan tunjukkan padamu sesuatu yang akan membuatmu menyesali perbuatanmu ini," geram Anggara.
Anggara membuka lebar jendela kamar itu, lalu mengambil pisang yang tergeletak berserak. Dengan suara yang aneh, seolah ia sedang memanggil sesuatu. Almaira terhenyak. Gadis itu diam dalam derai airmatanya yang masih jatuh. Ia tahu, sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Tapi apa? Almaira berdegub, gugup.
Tiba-tiba ia melihat laki-laki yang dibencinya itu melempar potongan pisang ke arah luar. Disusul dengan potongan selanjutnya lalu sangat mengejutkan beberapa ekor monyet liar masuk ke dalam kamar itu. Anggara seolah memberikannya ruang. Dengan cepat dan tangkas binatang itu melompat dan bersuara yang sangat ramai.
Almaira terperanjat dan ia berteriak histeris. Monyet-monyet itu tidak memperdulikannya. Mereka melahap semua buah-buahan yang tercecer. Nasi goreng yang bercampur dengan debu itu pun tak luput dari sasaran mereka. Belum puas, hewan liar itu berjalan, melompat bahkan melempar barang-barang yang mereka kira bisa dimakan. Almaira semakin histeris.
"Pergi! Pergi kalian semua! Jangan mendekat!! Aaaa!!!" Gadis itu melempari monyet-monyet itu dengan apa pun yang di dekatnya.
Anggara berdiri kaku dan hanya terus memperhatikan pemandangan baru itu. Ia mengeluarkan rokoknya dan memercikkan api. Begitu santai dan tenang.
"Hey ... suruh mereka menjauhiku. Pergi!!! Pergi kataku!!! "
Almaira merasakan nafasnya terasa putus. Rasa sakit tubuhnya terselimuti oleh rasa takutnya.
“Suruh mereka pergi!! “ jeritnya lagi.
Belum pernah seumur hidupnya ia dikelilingi monyet sebanyak itu. Ia hanya melihat dari layar dan pernah sekali di kebun binatang. Ini jelas-jelas berbeda. Membuat seluruh nadinya mengalirkan darah dengan kecepatan tinggi. Almaira membenamkan wajahnya dengan lututnya. Gadis itu menyerah.
“Jangan bersembunyi begitu, bermainlah dengan mereka,” ejek Anggara masih terus menghisap rokoknya. Almaira tetap pada posisinya. Hanya suara isaknya yang hampir tak terdengar karena tertutupi suara hewan berbulu lebat yang sedang menikmati permainan mereka.
Anggara melihat salah satu monyet memegang ‘bola’ obat yang tak jauh darinya. Pria itu menghentakkan kakinya dan mengeluarkan suara aneh seperti memberi pertanda agar monyet-monyet itu keluar. Benar saja, mereka bergegas keluar tanpa membawa apa pun dan menyisakan kericuhan. Sepertinya binatang-binatang itu memang peliharannya.
Almaira semakin menangis dan kali ini ia memukul dirinya sendiri. Sudah hancur rasanya hidupnya sekarang. Entah apa maunya takdir untuk dirinya. Ia merasa tidak pernah membuat kesalahan fatal. Mengapa hari ini ia merasa sedang dihukum?
"Sudah lihat kan apa akibatnya jika tidak menuruti perintahku? Jika mau, aku bisa saja memerintahkan monyet-monyet itu mencabik-cabik tubuhmu."
"Biadap! Kamu bukan manusia! Kamu iblis!" Almaira memekik.
"Aku tak peduli. Makan dan minum obat ini atau monyet-monyet itu akan menemanimu?"
Anggara melemparkan kantung plastik itu dan sebuah pisang yang tersisa di kantungnya. Ia berlalu dan kembali menutup pintu dengan keras.
Dengan tenaga yang tersisa, Almaira mengupas buah pisang lalu menyelipkan obat ke dalam potongan buah itu. Segera ia telan dan menutup mulutnya, memastikan apa yang sedang ditelannya tidak keluar kembali. Bayang-bayang monyet tadi membuatnya tak bisa mengendalikan diri.
“Aku tak akan pernah memaafkanmu,” gemertak gigi Almaira menahan amarahnya.
Suara pintu terbuka. Tak perlu ia menoleh, sudah tahu siapa yang sedang mendekat. Tampak satu teko tembaga menawarkan penghilang rasa haus. Ada sepotong roti yang masih utuh, cantik dalam bungkusannya menemani teko yang menjadi pelengkap, penghilang rasa lapar. Si Pembawa Teko tak bersuara, berlalu menutup pintu. Lagi-lagi dengan dentuman yang sangat keras. Almaira hanya diam, bergerak pun ia enggan.