Suasana pagi yang ramai akan kicauan burung juga suara hewan hutan yang saling sahut-menyahut. Seperti bernyanyi bahagia menyambut matahari yang akan semakin terang sinarnya. Namun sayang, racauan riang nan syahdu itu tidak bisa dirasakan oleh dia yang sedang berada di dalam kamar mandi sederhana. Tampak tidak ada aksesoris yang menarik apalagi mewah. Justru, karatan di setiap sisi cermin itu memberikan tanda, betapa lamanya benda itu bertengger bisu di situ. Pemuda itu menatap pantulan diri di depannya, mengelus sedikit kasar beberapa goresan bekas cakaran gadis yang kemarin sore ia culik.
"Bodohnya aku, harusnya kupatahkan saja tangan wanita itu," desisnya sambil mengguyurkan beberapa tetes obat luka di setiap bagian tubuhnya. Di pelipis, rahang, leher, dan yang paling parah di bagian dahinya.Tergores panjang sampai ke hidungnya.
"Aaaaarrrr ...."
Anggara melepas kasar kapas yang digunakannya. Melempar benda halus itu pada cermin yang seolah menertawakan kelemahannya. Andai itu sebuah batu, remuk redamlah cermin itu seketika.
Pemuda berjambang itu merasakan ada luka yang cukup dalam di bagian punggungnya. Ia meraba sedikit demi sedikit bagian-bagian yang dirasakan begitu nyeri. Seperti ada bekas gigitan yang begitu dalam. Semakin ia sentuh, semakin memberikan sensasi nyeri sampai ke telinganya.
"Ssssshhhhh … wanita itu!" geramnya menahan marah.
Anggara mengambil nafas dalam-dalam berusaha untuk tetap stabil. Kali ini, ia enggan untuk mengobati luka di punggungnya. Ia memilih membiarkannya. Sakit hatinya makin bertambah sebab baru kali ini ada wanita yang bisa menyentuh kulitnya apalagi sampai melukainya. Benar-benar, pria itu merasa harga dirinya sedang terguncang.
"Lihat saja, aku akan memberikannya pelajaran. Sampai dia akan lupa, dia pernah punya tangan dan mulut!"
Anggara mendesis sambil mengenakan kaos hitam bergambar seekor elang yang siap mendarat. Dipadukan dengan celana jeans denim streach yang terlebih dahulu ia kenakan. Ada aksen putih di bagian lututnya yang memberikan kesan lembut. Tapi tidak mampu melembutkan hati pemakainya yang sedang menahan angkara.
**
Pemuda yang memiliki sorot mata uang yang tajam itu memasukkan kunci ke lubang pintu tanpa melihatnya. Matanya fokus pada sebuah piring yang sedang di tangan kirinya. Piring berisikan nasi goreng dilengkapi dengan sebutir telur rebus. Ada dua telur rebus yang belum dikupas mengambil bagian di atas piring silver yang terbuat dari stainless steel. Ia masih begitu ragu untuk membawa nasi goreng yang dibuatnya dengan bantuan bumbu siap saji itu.
Tiba-tiba Anggara merasa canggung sekaligus menahan rasa kesal. Ia tidak pernah menyuguhkan makanan yang dibuatnya untuk orang lain, apalagi pada seorang perempuan. Lebih-lebih gadis itu banyak memberikannya bekas cakaran dalam waktu semalam. Ditambah dengan mengumpat dan meludahinya berkali-kali. Lalu bagaimana dengan malam-malam berikutnya? Namun dia tidak punya pilihan, gadis itu tak boleh mati kelaparan.
Pintu terbuka dan ia melihat Almaira sedang tidur pulas. Masih ada bekas air matanya yang belum kering. Sepertinya dia baru saja tertidur. Mungkinkah gadis itu menangis sampai ke dalam mimpinya? Entahlah.
Pemuda itu meletakkan begitu saja piring yang dibawanya di atas lantai keramik yang tak bisa disebut putih karena tertutupi debu yang sangat tebal. Terdengar ada suara nyaring yang dihasilkan dari perpaduan benda itu. Namun yang sedang terlelap, tidak bergeming apalagi membuka mata.
"Hhhh ... nyaman juga kamu tidur di sini. Sepertinya tempat ini memang cocok untukmu," lirih Anggara hampir tak berdengar.
Ia lalu bergeser menuju jendela. Dibukanya gorden penutup jendela itu hingga sinar matahari seolah menembus masuk. Almaira masih tidak bergerak walau wajah cantiknya terguyur sinar matahari yang cukup menyeruak silau.
Anggara mendekati Almaira lalu mendorong kaki gadis malang itu dengan sepatu hitamnya yang kokoh. Masih tak ada respon. Ia mendorong lebih keras lagi, sampai kaki cantik itu bergeser. Akan tetapi, masih tak berkutik sedikitpun.
“Heeeh ... bangun!” Anggara sedikit menaikan suaranya berharap tubuh yang di hadapannya merespon.
Ragu-ragu ia mendaratkan tangannya pada rambut indah tergurai tak beraturan itu agar wajah pemiliknya mendongak lalu membuka matanya. Namun secara tidak sengaja, tangannya menyentuh dahi Almaira. Panas. Spontan Anggara menarik kembali tangannya.
Ia terhenyak sepersekian detik lalu menyadari gadis itu sedang sakit. Terlihat dari bibirnya yang pucat dan kulitnya tiada berwarna seolah tidak ada darah yang mengalir di tubuhnya.
Anggara menjauhi Almaira yang masih diam seolah membeku. Dia memandang lepas pemandangan di luar jendela. Rimbunan pohon yang tiada batas pandang. Kicauan burung yang berganti dengan beberapakali suara tonggeret yang bersahutan. Hewan yang bersayap kokoh itu bernyanyi nyaring memberikan tanda musim hujan akan berakhir.
Anggara berbalik menatap Almaira.
"Aku tidak menginginkan kematianmu. Kamu harus tetap hidup hingga aku bisa membunuh ayahmu secara perlahan."
Dengan sigap ia mengangkat tubuh lemah Almaira dan memindahkannya ke sebuah ruangan yang bercat kuning yang sudah mulai memudar. Anggara membuka ikatan di kaki dan tangan Almaira. Ia lalu menyadari bahwa semalam gadis itu benar-benar berusaha sangat keras untuk melepaskan diri.
“Tidak bisakah setelah ini kamu menyerah …?"
Anggara mengecap bibirnya menandakan perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Ia kembali mengikat satu tangan Almaira dengan benda bulat yang mirip dengan borgol. Besi itu tersambung dengan rantai yang panjang lalu terhubung dengan besi bulat lainnya yang masing-masing memiliki kunci. Pemuda itu lalu mengaitkannya pada sisi lain dari ranjang besi yang mulai berkarat. Ranjang itu memiliki ukiran-ukiran yang rumit di bagian kepala dan sisi-sisinya.
“Aku akan kembali,” tuturnya sendirian walau ia tahu lawan bicaranya tak akan meresponnya.
Merasa sudah yakin untuk meninggalkan Almaira, Anggara berpacu dengan waktu. Langkahnya tergesa-gesa tanpa sadar menghempaskan kerikil-kericil yang ia lewati. Dengan cekatan, ia melepaskan kalung hitam dari lehernya yang bermatakan sebuah kunci lalu memasuki mobil lawas yang masih sangat kokoh.
Mobil Jeep CJ 7 itu mengaung menderum siap untuk membawa pemiliknya keluar dari hutan yang gelap dan beraura mistis. Hutan yang dikenal sebagai tempat bekas pembunuhan massal pribumi masa perang. Tempat dimana aroma kematian itu terhembus bersamaan dengan derikan hewan liar yang tak terhitung dan teraba.
Namun laki-laki itu sedikitpun tidak merasa takut karena baginya takut adalah kelemahan terbesar seorang manusia. Terlalu sakit hidup yang telah ia lewati, hingga hatinya tidak memiliki ruang untuk rasa itu.
Anggara mengerutkan wajahnya pertanda sedikit kesal dengan peristiwa pagi ini. Harusnya ia bisa melanjutkan istirahatnya karena esok dia memiliki pekerjaan penting.
Akan tetapi, ia tidak punya pilihan. Mau tidak mau, gadis itu harus tetap hidup.
***
"Berikan obat pereda panas." Anggara meyerahkan beberapa lembar uang pada pada wanita paruh baya penjaga apotik.
"Untuk orang dewasa atau anak-anak ya, Pak?"
"Dewasa."
"Disertai flu?"
"Tidak tau. Berikan apa saja. Aku tidak punya banyak waktu di sini."
Anggara memasukkan tangan kosongnya ke dalam saku jaketnya. Ia mengangkat wajahnya yang ditutupi topi hitam. Tatapannya membuat petugas apotik sedikit bergidik. Wanita berseragam putih itu bergegas ke dalam ruangan di belakangnya dan keluar membawa beberapa papan obat-obatan.
"Saya sudah tuliskan aturan minumnya. Jika selama tiga hari belum sembuh. Pasien segera dibawa ke dokter."
Petugas apotik itu menyerahkan plastik putih dan beberapa lembar uang yang nominalnya lebih kecil.
"Ambil saja!"
Anggara sigap meraih plastik itu dan memasukkannya ke kantung jaketnya. Petugas apotik itu hanya tersenyum kecil bahkan hampir tidak terlihat. Terlalu tegang rasanya berhadapan dengan laki-laki yang terlihat memiliki banyak luka bekas cakaran di wajahnya. Mengerikan baginya jika dipandang lebih lama.
Pria berwajah dingin itu kembali menelusuri sebuah pertokoan serba ada dan mengambil beberapa pacs buah-buahan. Beras, telur, daging beku, makanan instan dan minyak goreng. Tidak lupa ia memasukkan garam, penyedap rasa, dan beberapa bumbu siap saji ke dalam troli belanja. Semua itu ia butuhkan untuk bertahan di dalam hutan, sampai waktu yang tidak bisa ia tentukan. Dia juga mengambil beberapa botol s**u uht dan tisu basah. Perlengkapan mandi juga deterjen. Lengkap sudah pikirnya.
Dengan terburu-buru, Anggara melajukan mobilnya dan melintas cepat. Meninggalkan hiruk pikuk kota yang menjadi pusat keramaian menuju tempat yang sepi, sunyi dan tiada berpenghuni. Tempat yang setiap kaki enggan untuk berpijak. Hanya akan ada dia dan gadis malang berwajah sendu. Mungkin suatu hari gadis itu bisa tersenyum. Musyilkah? Hanya waktu yang bisa memberikan jawaban.