Gerakan Almaira semakin melemah. Gadis itu hanya mampu meneteskan air mata sambil sesekali menghentak-hentakkan kaki dan tangannya yang sedang terikat. Ia menatap nanar punggung laki-laki licik di hadapannya yang semakin menjauh.
Anggara menutup pintu dengan kasar lalu terdengar suara gagang pintu yang sedang dikunci. Hal itu membuat kebencian Almaira pada pemuda itu tumbuh bagai virus yang menyebar begitu cepat memenuhi seluruh tubuhnya. Menjalar dan mengalir mengikuti aliran darah dan keluar menjadi nafasnya.
Apa salahnya? Bertemu pun tidak pernah.
'Apa Papaku pernah menggusur paksa tanah milik keluarganya?' pikir Almaira. Mengingat ayahnya adalah seorang pengusaha properti yang sangat sukses.
'Tapi laki-laki itu mengatakan tentang kehilangan seseorang yang dicintai. Apa maksudnya? Mungkinkah Papa memiliki wanita simpanan lalu laki-laki ini adalah anggota keluarganya? Atau bisa jadi dia adalah anak mereka dan itu berarti, laki-laki itu adalah saudaraku?' batin Almaira.
"Aaaarrrgggh ...."
Almaira memberontak, menghentakkan tubuhnya.
'Pikiran apa ini?! Membayangkan laki-laki itu menjadi anggota keluargaku, perutku serasa ingin mengeluarkan semua isinya!' pekik Almaira di dalam hati.
'Tidak. Aku hanya akan membuang waktu dengan memikirkan alasannya menculikku. Aku akan mencari tahu setelah keluar dari neraka ini' batinnya sambil memperbaiki posisi duduk.
Gadis itu berusaha menggosok-gosokkan kakinya yang terikat oleh tali tambang yang agak sedikit longgar. Mungkin karena sedari tadi, dia terus menggerakkan kaki dan tangannya.
'Tali macam apa ini. Sudah longgar masih saja susah untuk lepas. Sepertinya laki-laki licik itu mengikatnya dengan cara yang tidak biasa. Susah sekali,' racaunya hampir tak terdengar jelas akibat sumpalan di mulutnya yang masih erat.
“Aaaaaarggg ...," erang Almaira menahan sakit pada pergelangan tangannya. Terasa ada goresan yang cukup perih dan meyebabkan luka karena ia terlalu memaksakan diri. Makin pedih jika semakin digerakkan.
Gadis itu menangis. Berusaha berteriak antara kesakitan dan amarah menjadi satu. Namun yang paling tidak bisa ia bendung adalah rasa takutnya. Takut itu benar-benar telah menyelimuti dirinya tanpa celah. Rasa takut itu membuatnya mampu mengumpulkan tenaga untuk berusaha mencari cara keluar dari tempat itu. Takut mungkin sebentar lagi laki-laki itu akan merenggut kehormatannya sebagai seorang gadis lalu setelah itu bisa jadi, tubuhnya akan dimutilasi. Bergidik ia membayangkannya. Berbagai macam pkiran Almaira muncul dan itu membuatnya semakin tak terkendali.
'Aku akan membuat perhitungan denganmu, b*****t!' jerit batinnya menghempaskan kepalanya sendiri pada dinding tempatnya bersandar.
Almaira merasakan penyesalan terbesarnya selama ia hidup adalah ketika kemarin sore ia memutuskan keluar dari rumahnya sendirian untuk menyaksikan senja yang selalu mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Senja adalah pemandangan indah yang bisa ia lihat di sebuah lapangan tidak jauh dari rumahnya. Biasanya ia selalu ditemani oleh pekerja kebunnya yang dipanggil Mamang Udin atau Bi Minah yang bertugas sebagai asisten rumah tangga harian di rumahnya. Kedua pekerja itu memang tidak tiap hari datang, namun secara berkala dan terjadwal.
'Andai aku lebih bersabar menunggu esok agar Bi Minah menemaniku, takdirku mungkin tidak seburuk ini,' isaknya dalam diam.
'Dengan liciknya, dia membiusku dan membawaku ke tempat terburuk ini, pencundang!' Almaira menendang tak beraturan, meluapkan kemarahannya.
Bayangan ayah dan ibunya muncul di pelupuk mata. Almaira yakin, pasti saat ini mereka sedang bersusah payah mencarinya.
'Ma … Pa … aku di sini. Aku takut. Temukan aku secepatnya.' Tangis Almaira semakin deras.
Almaira berusaha bangkit. Ia mencoba berdiri dengan susah payah. Gadis itu melompat-lompat kecil menuju setiap sudut ruangan. Mencari sesuatu yang mungkin bisa ia manfaatkan untuk melepaskan tali pengikat itu. Nihil … sebab ia pun tidak tahu alat apa di ruangan itu yang bisa membantunya. Yang bisa terlihat olehnya adalah kaleng bekas, botol berisikan air yang sudah keruh, sisa bungkusan makanan, beberapa wadah yang sangat kotor. Lebih tepatnya ia bisa menyimpulkan bahwa ruangan itu benar-benar sudah lama ditinggal dan tidak ada yang mengurusnya.
'Ini bukan ruangan untuk manusia, ini kandang hewan,' dengus Almaira mengatupkan mata.
Almaira menyerah. Rasanya seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Perlahan ia kembali duduk menahan keseimbangan dirinya agar tubuhnya tidak terhempas di lantai. Sudah remuk rasa di tubuhnya, seperti tulang-tulangnya terasa akan terlepas dari daging. Perih semua. Usahanya untuk melepaskan diri dari laki-laki berwajah sangar itu membuat sekujur tubuhnya semakin sakit.
'Laki-laki pengecut!' umpatnya dalam hati.
Sangat ingin rasanya ia berteriak dan mengucapkan kalimat itu berulang kali. Mungkin seribu kali tidak cukup baginya. Api kebencian benar-benar menjalar dengan sangat cepat. Matanya tidak memiliki daya selain untuk mengeluarkan air mata.
Hanya sinar lilin yang mulai redup seperti akan habis yang menyinari setiap sudut ruangan itu. Aroma debu yang lama mengendap membuat gadis itu sesekali mendenguskan hidung mungilnya. Beberapa ekor tikus kecil menelusuri setiap garis dinding. Begitu acuh. Tidak peduli ada tamu di ruangan itu. Mungkin terlalu nyaman ruangan ini bagi mereka. Pekat. Dingin juga menakutkan.
Sekarang Almaira hanya mampu menatap kosong dinding yang di hadapannya. Dinding itu seolah memberikan cerita betapa sulitnya melewati masa. Terkelupas oleh dinginnya malam dan luruh oleh panasnya matahari. Almaira menekuk lututnya dan menghentikan usaha tangannya untuk melepaskan diri. Semakin ia bergerak terasa sakit sampai ke tulang.
Ada aroma darah yang bercampur dengan serpihan cat dinding yang semakin luruh akibat gesekan-gesekan yang ia ciptakan. Ia sesekali menggengam lalu membuka kembali kepalan tangannya. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Inikah yang disebut putus asa?
Rintihan-rintihan kecilnya terdengar hanya oleh angin malam. Walaupun Anggara menyumpal mulutnya dengan ikatan kain yang longgar, namun tetap saja dia tidak mampu mengeluarkan suara dengan jelas. Air liurnya membasahi kain itu dan membuatnya semakin berat. Gadis berkulit langsat itu benar-benar dalam masalah besar. Sungguh siapapun yang melihatnya akan sangat iba. Namun adakah yang bisa menolongnya?