BAB 13_SEORANG WANITA

1207 Words
Seorang wanita yang sudah melawati usia paruh baya, sebentar lagi dia akan merayakan usia pernikahannya yang ke-20 tahun. Dia menatap indah foto-foto pernikahannya dengan rasa takjub. Wajah yang berhias dengan senyuman merekah indah bak bunga yang sedang mekar. Momen paling membahagiakan dalam hidupnya. Dr. Haryanto memang laki-laki idaman semasa gadisnya. Ia merasa hidupnya lengkap saat kekasih pujaan hatinya mengikat janji setia dalam ikatan suci. Walau pada awal pernikahan, ia terus diuji dengan perasaan cemburu dan curiga sebab rasa cinta yang teramat besar. Kata orang ujian pengantin baru, biar makin 'hangat'. Tapi tidak baginya, perasaan itu terus bercokol dalam hatinya dan membuat pikirannya bagai dikendalikan bukan olehnya. Anita menghela nafasnya dalam. Pelan dan halus. Sudah belasan tahun berlalu ia belum melupakan peristiwa itu. Namun ia harus tetap merahasiakannya bahkan andai bisa, dirinya sendiri pun tak boleh mengetahuinya. Baginya itu bagai rahasia dalam rahasia. Saat wanita yang memiliki tahi lalat di hidungnya itu hening dalam dirinya, tiba-tiba gawai mahalnya bergetar. Seketika matanya melebar, senyumnya berkembang. "Hallo juga, Nak. Kenapa? Janganlah begitu sayang, Mas-mu sudah meng-iyakan loh. Dia senang kamu datang. Ooh tidak, tidak, dengerin Mama. Desta! Desta!" Dalam hitungan menit, raut wajahnya berubah. Begitu mudah untuk waktu merubah perasaan seseorang. Ah...andai waktu bisa dikendalikan, tentu takkan ada derita. Namun, akankah bahagia itu terasa ketika derita tak ada? Anita menatap kosong benda pipih itu. Merasa galau saat salah satu anaknya secara nyata menolak keberadaan Anggara. Ia tahu betul, Anggara sudah berusaha untuk beradaptasi dengan keluarga ini. Dan ia tahu, hal tersebut tidaklah mudah bagi pemuda itu. Semua menerima kehadirannya dengan baik. Akan tetapi, tidak untuk Desta. Sudah hampir 5 tahun Anggara berada dalam lingkungan keluarganya, namun anak sulungnya tidak menginginkan kehadiran Anggara. Setidaknya ia berharap Desta menganggap Anggara salah satu pekerja di rumahnya sehingga patut dihargai. Sayangnya, Desta menganggap Anggara adalah serigala berbulu domba yang sewaktu-waktu bisa memangsa habis kekayaan keluarganya. Bagi Anita, hal itu mustahil. Keyakinannya pada Anggara seperti ia yakin, esok matahari akan terbit dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Walau memang kerasnya hidup yang telah dialami pemuda itu masih menyisakan bayang-bayang pada karakter dan wajahnya. Kaku dan dingin. Masih hangat diingatannya, Anggara tertatih-tatih datang menghampirinya. Bibir pemuda itu kering, rambutnya semrawut, kusut dan kaku. Kakinya kurus seolah tak mampu napak lagi. Jangan tanya tentang baju apa yang dikenakannya, karena terlihat seperti menyatu dengan tubuhnya. Robek dimana-mana. Pemuda itu datang dengan raut wajah sama saat ia pergi. Tetap dingin dengan tatapan tajamnya. Saat itu, ia membawa mobil dan sekarang ia kembali tidak membawa mobil. Namun sesuatu yang lebih utama ada di tangan pemuda itu. Barang miliknya yang sudah hilang, hampir satu bulan berlalu kini sudah berada di hadapannya. Anggara menyerahkan tas silver yang terlihat tertutupi debu tebal. Masih elegan dan terlihat tetap bernilai walau ada beberapa goresan bekas benda tajam. Mungkin jika tas itu tidak berkualitas ekslusif sesuai harganya yang fantastik, sudah pasti akan lusuh dan kumal. Benar kata orang, ada kualitas ada harga. Ia menepuk-nepuk tas itu. Memeriksa isinya. Lengkap tak ada yang kurang. Ternyata, benar dugaannya. Pemuda itu tidak mengkhianatinya. "Maafkan saya Nyonya, sa--" Belum selesai pemuda itu berbicara, Anita langsung memeluknya. Menangis terharu karena pemuda itu masih hidup. Ada rasa penyesalannya saat ia meminta pemuda itu berurusan dengan para preman bengis yang merampok miliknya. Ia tidak memikirkan bagaimana pemuda itu akan bertahan melawan monster seperti mereka. "Syukurlah kau selamat, Nak." Anggara berusaha melekukkan bibirnya memberi senyum. "Siapa namamu?" "Anggara, Nyonya." "Mulai sekarang kau menjadi anakku, sama seperti Desta dan Rena. Anggaplah mereka adik-adikmu. Dan suamiku, anggaplah dia ayahmu." Anita menyeka air mata harunya. Ada kilauan yang muncul di bola mata Anggara, seperti terenyuh. Perjuangannya tidak sia-sia. Anita kembali memeluk Anggara dengan linangan air mata kebahagiaan. "Mobilnya. Mobilnya masih di sana, Nya." Anggara sedikit tergagap menunjuk arah barat. Nyonya Anita tersenyum lembut. "Itu urusan mudah, Nak. Sekarang bersihkan dirimu. Nanti kita makan bersama-sama." Hari itu, Anita benar-benar merasa bahagia. Sudah hampir lima tahun berlalu, Anggara belum mau memanggil Anita 'Mama'. Akan tetapi, wanita itu tetap memanggil dirinya 'Mama'. Haryanto_suaminya, sudah sering menasehati agar menyerah untuk tidak berharap lebih pada Anggara. Anita bertekad tidak akan putus asa menunggu kata 'Mama' untuk dirinya dari mulut Anggara. "Kenapa begitu teguh hatimu agar dipanggil 'Mama' oleh Anggara?" tanya Haryanto membuka percakapan sore itu. "Mama tulus mencintainya, Pa. Ketika tidak seorangpun bisa menolong Mama saat kejadian itu, Anggara datang menolong Mama. Bahkan dia hampir kehilangan nyawanya demi Mama." Anita menengadakan wajahnya, memandang langit, melihat burung-burung sore hari terbang berkumpul, membentuk aneka formasi. Damai rasa hatinya. "Ada Desta dan Rena yang memanggilmu Mama. Kenapa harus kau bersikukuh Anggara juga. Toh juga Anggara bukan siapa-siapa kita, Ma." tegas Haryanto. "Cukup Pa! Jangan jadikan ini perdebatan kita. Aku akan tetap menganggap Anggara anak kita. Papa kalau tidak setuju, tidak perlu memojokkanku." Mimik wajah Anita menjadi muram. Jika sudah begitu, Haryanto akan selalu luluh dengan istrinya. Sebab ia tahu betul, jika istrinya marah maka semua yang berkaitan dengan pekerjaannya juga akan kena imbasnya. Istrinya pemilik saham terbesar di rumah sakit yang ia kelola. Terlebih selama ini, ia tidak pernah dituntut untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Aaah jika orang tahu, pasti berpikir, betapa beruntungnya menjadi seorang Haryanto. Padahal yang di luar belum tentu menunjukkan yang di dalam. Yang terlihat belum tentu yang sebenarnya. Haryanto menatap lekat istrinya. "Apa kamu tidak akan kecewa jika apa yang kau harapkan itu akan sia-sia, Ma?" Haryanto berucap pelan, berusaha mencari kata-kata yang aman. "Tidak, Pa. " Singkat namun memberikan penegasan yang kuat. Anita tetap tidak bergeming menatap bunga mawar hitamnya yang mulai kuncup. *** Di sisi lain, Almaira_gadis cantik berlesung pipit dan mata yang terang sedang mengenakan tunik biru muda bermotif flaminggo, dipadukan dengan celana rok plisket coklat membuatnya terlihat anggun. Kata pramuniaga, model itu sedang tren di kalangan gadis. Ada sedikit bubuhan make up pada polesan wajahnya, menambah kecantikan alami yang dimilikinya. Ia terlihat menikmati pagi hari itu dengan berpikiran positif. Kata orang, pikiran yang tenang akan membuka jalan yang sukar. Ia berusaha mempraktekkannya meski kadang selalu gagal ketika ia sudah berhadapan dengan Anggara. Almaira duduk di tepi ranjang, menunggu Anggara datang. Biasanya laki-laki itu datang untuk sekedar mengantarkannya segelas jus buah atau membersihkan kamarnya. Rasanya seperti tinggal di hotel saja, begitu pikirnya. "Kalau dia jadi pelayan hotel, semua pelanggannya pasti kabur," sinis Almaira. "Jangankan tamu, aku saja lebih baik bertemu dengan bulldog Om Ndang tiap hari daripada melihat alisnya terangkat, jangan-jangan dia itu tarzan masa kini, buktinya dia berteman dengan monyet hutan, " Almaira seolah merasa lega membulli pemuda itu, walau hanya didengar oleh dirinya sendiri. Tiba-tiba Anggara berdehem, gadis itu sedikit terkejut karena yang sedang berputar dipikirkannya sudah berada di sampingnya dengan membawa nampan berisi menu makan siang. Ia merapikan cara duduknya. Agak canggung ingin menyapa Anggara lebih dulu. "Itu hati ayam?" Almaira menunjuk cawan putih. "Kenapa?" "Aku suka hati ayam, hati sapi, hati kambing," Almaira tampak berbinar. "Pantas saja," timpal Anggara. "Pantas saja apa?"Almaira penasaran. "Pantas saja suka bikin makan hati. Bikin kesal. Merepotkan," gerutu Anggara. "Kau yang menculikku kenapa kau yang merasa dizolimi. Play victim!" dengus Almaira menghentakkan kakinya. Mulutnya mengerucut. Anggara cuek, berlalu tanpa mengindahkan ekpresi gadis itu setelah mendengar ucapannya. Almaira tidak terima ucapan Anggara. Ia ingin mengeluarkan kekesalannya pada laki-laki menyebalkan itu, sedang orangnya sudah hilang di balik pintu. Baru saja mencoba beraura positif, sudah gagal berkali-kali. Ia makin bersungut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD