Anggara menelusuri jalan raya menuju sebuah rumah yang mewah, tidak jauh berbeda dengan rumah Nyonya Anita. Tampak dari depan, rumah itu di d******i warna keemasan berpadu dengan putih tulang. Gerbangnya berwarna hitam namun tidak selebar gerbang kediaman Nyonya Anita. Ada taman kecil di depannya menyatu dengan jalan. Dari luar tampak sisi depan dan samping terdapat balkon yang dikelilingi ukiran yang berwarna emas pula. Hanya sebatas pandang, semua orang bisa menerka penghuni rumah itu memang orang kaya raya.
Anggara memantau dari kejauhan dengan tatapan yang menyala. Ada api kemarahan yang teramat besar di sana. Darah mendesir merangkak naik ke wajah, membuat siapa saja akan ngeri melihatnya.
Sejenak ia berusaha menenangkan diri. Ia tidak boleh gegabah jika ingin misinya berhasil. Dengan memakai topi hitam, ia turun dari mobil. Ia mendekati kumpulan remaja yang sedang asik bermain dengan gawai masing-masing. Anggara memanggil salah satunya,meminta untuk melakukan suatu pekerjaan.
"Berikan ini kepada pemilik rumah itu, katakan dari Mr. A," ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop coklat. Sangat tipis hampir seperti tidak ada isinya.
Remaja itu mengangguk dan wajahnya tampak cerah. Dua lembar uang berwarna biru sudah jauh lebih dari cukup untuk tugas semudah itu.
Anggara memperhatikan setiap langkah Pembawa Pesan dan terlihat salah satu pekerja di rumah itu keluar menemuinya. Seorang laki-laki yang memiliki ciri khas, mengalungkan kain di lehernya. Raut wajahnya seketika langsung berubah saat menerima titipan itu.
Tampak Si Pembawa Pesan menunjuk arah yang berlawanan dengan keberadaannya. Pandai ia bermain sandiwara. Anggara tersenyum melihat laki-laki jangkung itu kembali dengan wajah kepayahan lalu masuk ke kediamannya, tentu saja bersama amplop coklat yang membuatnya kringat dingin walau tanpa membuka isinya.
"Selamat bersenang-senang, Tua Bangka."
Anggara menyeringai miring seolah merasa puas akan sesuatu. Ia melesatkan kendaraannya berpacu dengan dirinya sendiri. Meninggalkan sesuatu yang ia yakini akan melukai hati seseorang. Sakitnya luka mudah diobati, sakitnya hati, sulit menemukan penyembuhnya, bukan?
"Tuan! Tuan! Tuan!" laki-laki paruh baya itu terseok-seok menaiki tangga. Sarung yang di lehernya ia biarkan terurai tak beraturan, seperti akan membungkus tubuh kurusnya. Gemetar tangan dan kakinya seolah ia sedang memegang bom yang sewaktu-waktu bisa meledak.
"Ada apa Din? Teriak-teriak begitu!" Seorang wanita yang usianya sekitar 40 tahun itu keluar dari kamar. Cantik dan anggun, walau usianya hampir setengah abad.
"Ini, Nya." Udin menyerahkan amplop coklat yang baru saja dia terima.
Seketika wajah wanita itu menjadi kosong. Tersentak hatinya melihat apa yang di hadapannya. Amplop yang sama dengan dua minggu yang lalu.
"Almaira!" mata indahnya mulai menganak sungai. Ia menyabet benda tipis itu. Membukanya dengan cepat.
Netranya melotot. Tubuhnya terguncang hebat. Gemetar lututnya tak mampu menopang badannya. Ia terkulai.
"Nyonya!" Udin langsung menangkap tubuh lemah tuannya.
"Minah! Minah!" jeritnya.
Wanita bertubuh tambun datang menghampiri dengan nafas masih tersenggal.
"Nyonya! Ya ampuuun kok bisa sampai begini, Din?!!"
"Sudah...jangan tanya-tanya. Sekarang kita bopong Nyonya ke kamar sebelah. Jangan sampai tu--"
Belum sampai Udin menyelesaikan ucapannya, sosok laki-laki tua keluar dari kamar juga. Wajahnya pucat sembari memegang d**a. Seolah tidak ada rona kehidupan dalam dirinya. Alisnya tersentak bersamaan melihat istrinya terkulai lemah.
"Mah..kamu kenapa?" Seketika ia jongkok dan menyentuh tubuh istrinya.
"Anu tuan...ini...anu..." Udin tidak tahu harus berkata apa. Ia sungguh menghawatirkan Tuannya itu.
Sejak kepergian Almaira, ayahnya menjadi sakit-sakitan. Penyakit asma dan darah tingginya kumat. Kata dokter, jika terus saja tidak bisa menahan pikiran, bisa-bisa juga merambah ke jantung. Sangat mengkhawatirkan. Nyonya rumah juga tiap hari menangis sampai-sampai sering ditemukannya tak sadarkan diri. Penjahat itu mengancam akan membunuh putri semata wayang mereka jika sampai kasus ini dilaporkan ke polisi. Keluarga ini dalam masalah besar.
"Anu, anu apa!?" bentak Ayah Almaira.
Belum keluar jawabanya dari mulutnya Udin, laki-laki berkumis tebal itu melihat amplop coklat di dekat istrinya. Jantungnya berdegub kencang. Tangannya gemetar meraih benda tipis itu. Masih jelas di matanya, dua minggu yang lalu ia melihat amplop yang sama dengan foto Almaira di dalamnya. Sedang meringkuk dan terikat di dalam ruangan kumuh berdebu pekat. Hati orang tua mana yang bisa sanggup melihatnya? Oh Tuhan, ujian ini terlalu berat.
Lalu saat ini, apakah ia akan melihat pemandangan yang sama? Jika bisa, saat itu ia memilih buta saja.
Ia mengeluarkan isi amplop itu. Menahan nafasnya agar tidak terhenti seketika.
"Almaira..." desisnya.
Tampak di foto itu anaknya sedang diikat oleh rantai besi. Berbaring lemah di atas ranjang usang. Ada darah mengalir di sekitar tangannya. Tuhan...ini terlalu sakit.
Jangan pernah mencoba melapor polisi, Tua Bangka. Jika kau ingin anakmu tetap menghirup udara kehidupan. Aku tahu segalanya jadi jangan bermain-man denganku. Satu lagi, anak gadismu akan menjadi santapan hewan buas jika kau tidak mengindahkanku.
Mr. A.
"Biadap!" teriaknya menahan sakit di dadanya. Seketika matanya terasa berkunang-kunang. Ia meremas-remas kertas putih berisi tulisan tangan seseorang.
"Aku... Surya Irsyad Pranata, akan membuat perhitungan denganmu! Siapapun kau! "
Surya melempar kertas putih itu dengan keras. Rahangnya menegang. Ia menggertakkan giginya seolah menahan amarah tiada terbendung. Ia pun terkulai tak berdaya menyandarkan tubuhnya pada pintu di belakang punggungnya. Akan tetapi, dalam kondisi lemah itu, lelaki berjanggut itu memikirkan suatu rencana.
***
"Aku hanya menemukan ini. Jangan ada protesmu," dengus Anggara sambil melempar plastik putih tebal.
"Kau bisa meminta bantuan pekerja toko di sana, begitu saja sudah kusut," sindir Almaira sembari memeriksa apa yang di bawa Anggara.
"Aku harus menyimpan wajahku di mana? Jangankan menyebutnya, saat aku membayarnya, benda itu membuatku tak punya nyali."
Almaira mencoba menyembunyikan senyumnya. Ia merasa berhasil mengerjai laki-laki sangar di depannya itu.
"Senang kau? Sshh..." gerutu Anggara sambil melirik nampan yang di atas meja. Ia melihat nampan itu sudah kosong, habis isinya tak bersisa. Sepertinya gadis itu sangat lapar.
"Aku ingin mandi," ujar Almaira memegang beberapa helai pakaian.
Anggara terdiam. Jantungnya terus berdegub kencang seolah ada yang menabuh gendrang di sana. Ia akan selalu seperti itu setiap kali Almaira mengucapkan kalimat itu. Almaira tidak akan bisa mengganti pakaiannya jika ia tidak membuka ikatannya. Anggara terpaksa.
Anggara mendekati sisi ranjang, mengeluarkan benda kecil dan membuka ikatan rantai itu. Tak berkata apa-apa, Almaira beringsut masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.
Terdengar percikan air dan sesekali suara gayung yang beradu dengan bak air yang berukuran mini. Anggara tidak punya pilihan selain menunggu gadis itu selama di kamar mandi, sebab ia selalu berpikir, jendela lebar di depannya itu akan menjadi jalan keluar.
"Jendela itu harus segera ku amankan, lebih lama seperti ini membuatku tidak waras," batinnya.
Matanya berkelebat melihat Almaira keluar dari kamar mandi. Gadis itu menggosok-gosokkan rambut basahnya yang terurai. Tampak ia mengenakan baju terusan pendek motif bunga melati. Baju coklat muda itu memiliki kerah bundar dengan lengan sesikut. Begitu segar dan cantik. Anggara terhenyak dan segera ia memalingkan pandangan. Ia mengigit bibir bawahnya, berpura-pura memandang pepohonan lewat jendela.
"Sampai kapan kau akan di situ?" tegur Almaira.
Anggara terdiam. Ia tak ingin memandang gadis itu. Di keluarkannya kembali kunci kecil borgol dan kembali ia menautkannya dengan besi ranjang itu. Almaira tidak bereaksi.
"Istirahatlah. Aku akan kembali nanti malam." Anggara melangkahkan kakinya menuju pintu.
Almaira hanya diam tanpa ekespresi. Entah kapan semua ini akan berakhir...