Matahari pagi itu begitu hangat. Menyibak rimbunan dedaunan hutan yang amat lebat. Cahayanya menyeruak melewati celah-celah kecil dan memberikan sinar yang semakin terang. Tampak bunglon berkulit coklat menempel di ranting pohon lalu berjalan menuju bagian daun, seketika saja ia berubah menjadi hijau. Sebuah keajaiban Tuhan yang nyata.
Anggara terus melajukan mobilnya menuju tempat yang semakin mendekati desa. Selalu ia memantau benda pipih miliknya. Gambar apel yang sudah digigit menjadi ikon. Kata orang, benda itu amat mahal dengan warna hitam yang sangat megah. Di tangan Anggara, benda itu hanya alat biasa karena baginya tidak bisa membuat hidupnya menjadi lebih istimewa. Seperti ada sisi yang kosong dan sebagiannya lagi hilang. Meninggalkan guratan luka juga rasa sepi yang mendera. Merasakan kesepian dalam keramaian, bukankah itu pertanda sedang putus asa?
Handphone-nya memberikan tanda ada sinyal yang bisa ditangkap. Tapi baru satu. Tidak cukup. Anggara pelan-pelan mencari spot yang lebih tepat. Yaps... sudah dua. Sebenarnya cukup tapi ia masih ingin satu lagi. Ia terus mengemudi mobilnya dengan perlahan dan dapat!
Anggara berhenti. Ia mengaktifkan paket datanya dan menunggu pesan apa saja yang sudah masuk setelah dari kemarin menghilang. Ia khawatir Nyonya Anita menunggu kabarnya. Dia sudah berjanji tidak akan membuat wanita yang dihormatinya itu menjadi risau. Benar saja, deretan pesan dari Nyonya Anita berdenting terus menerus seperti sedang berlomba.
[Angga, sudah sampai ke klien?]
[Lancar,Nak?]
[Angga lagi dimana? Gak mau makan siang sama ibu dulu baru pergi?]
[Tadi ibu ditelpon, kliennya puas. Angga mau ditranferkan atau mau ambil langsung sama ibu?]
[Anak nakal! Awas yaaa kalau pulang] Nyonya Anita membubuhkan emoticon marah.
Anggara tersenyum membaca pesan-pesan yang terus masuk ke gawainya. Ia merasa sangat beruntung menjadi bagian dari keluarga kaya raya dan baik hati. Mungkin kalau Nyonya Anita tidak memungutnya dari kelam hidupnya yang dulu, lambat laun pasti ia sudah menjadi bagian preman-preman yang bisa menghalalkan segala cara untuk kehidupan yang menyenangkan.
Anggara masih ingat bagaimana ia terseok-seok, membawa luka di sekujur tubuhnya terus berjalan mencari aman dan berharap di depannya ada tanda kehidupan. Sebab ia tahu, jika ia kembali maka teman-temannya yang sedang dalam angkara akan langsung melenyapkannya dalam sekejap. Ia tahu betul karakter mereka. Mereka buas dan tak punya belas asih.
Di depannya sekarang, ia melihat semak belukar lebat yang mungkin saja itulah yang sempat melukai sekujur tubuhnya. Baru ia sadari ternyata dulu ia telah berjalan cukup jauh ke dalam hutan hingga menemukan rumah kosong yang tidak terurus. Segala perabotan dan perkakas sederhana masih ada walau diselimuti debu tebal. Sepertinya rumah itu dibangun oleh seseorang yang ingin menikmati hari-hari yang jauh dari kebisingan kehidupan manusia pada umumnya.
Dulu berminggu-minggu ia di sana menunggu pemiliknya, namun tak ada yang berkunjung. Selama itu, buah-buahan yang tumbuh bebas di sana menjadi makanannya. Kadang ia bisa menangkap kelinci dengan tombak kayu buatannya. Juga keahliannya bermain ketapel sejak masih kanak-kanak memudahkannya untuk menangkap burung. Di rumah itu ada sumur yang cukup dalam dan dapur berbahan kayu bakar juga lengkap dengan alat memasaknya walau masih sangat sederhana.
Pertanyaannya sampai sekarang yang selalu menanti jawaban. Siapakah pemilik rumah di tengah hutan itu? Kemana mereka? Anggara tahu pemiliknya adalah "mereka" karena ia juga menemukan pakaian dewasa laki dan pakaian dewasa perempuan. Tidak ada pakaian anak-anak. Besar kemungkinan mereka adalah pasangan suami istri.
"Hallo Nyonya...Iya, saya baik-baik saja. Maafkan, Nya. Sering tidak ada di sinyal di sini."
Anggara menarik nafasnya dalam-dalam. Ia berusaha jujur walau masih dalam rahasia. Terdengar dari seberang, Nyonya Anita mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
"Wah, itu berita gembira. Siap Nyonya. Empat hari lagi? Iya, janji. Baik, Nyonya juga hati-hati."
Anggara mengakhiri perbincangannya. Ia berusaha tidak mengecewakan Nyonya Anita. Saat ini, dia hanya mengabdikan dirinya pada keluarga itu. Rupanya Nyonya Anita mengabarkan bahwa Minggu depan, Desta kembali dari pendidikannya. Tidak ada yang spesial, hanya untuk berlibur. Biasanya satu minggu, bisa lebih. Itu dugaannya.
Dia melihat gawainya kembali dan merasa cukup untuk hari ini. Saatnya untuk kembali ke tengah hutan. Tiba-tiba benda itu bergetar kembali. Pasti dari Nyonya pikirnya. Tapi kali ini sangkanya salah. Desta. Nama itu muncul di notifikasi gawainya. Ia sedikit ragu untuk membukanya namun ia harus siap dengan apa yang akan dibacanya.
[Jangan jemput gua. Nakjis]
Deegh...
Begitu menyakitkan kalimat Desta untuknya. Ia menelan salivanya dan oksigen di hutan itu tiba-tiba terasa menusuk di hidungnya. Ia sudah berusaha berlaku baik dengan semua anggota keluarga Nyonya Anita, lebih-lebih pada kedua anaknya. Namun hanya Desta yang tidak bisa menerimanya. Berbeda dengan Rena. Walaupun bukan saudara kandung, namun Rena sangat manja padanya.
Anggara mengabaikan pesan itu dan mematikan gawainya. Laki-laki berjaket hitam itu melajukan mobilnya dengan garang. Ada emosi yang ia pendam namun ia berusaha untuk menahannya. Pesan Desta membuat suasana hatinya makin kacau.
***
Kita sebut saja rumah itu rumah hutan. Anggara berusaha menjadikan rumah itu lebih nyaman lagi untuk ditempati. Ia sudah stress dengan sikap Almaira, tidak mau ditambah lagi dengan pemandangan yang berantakan. Setiap hari ia merapikan dan membersihkan perkakas yang ada. Yang masih layak pakai ia cuci dan simpan. Yang sudah terlalu rusak dan usang ia sisihkan. Hawatir pemilik aslinya kembali dan mencarinya. Namun, akankah?
Sudah hampir dua tahun ia sering mengunjungi rumah itu namun tidak ada tanda-tanda ada orang yang mengunjunginya. Dan saat ini, ia memutuskan untuk menjadikannya layak huni. Anggara melihat jam di tangannya dan sudah menunjukkan pukul 09.05 dan saatnya ia mengantarkan sarapan untuk Almaira.
"Jadi semalam kau tidak makan?" Anggara menatap sajian semalam masih utuh tak berkurang secuilpun.
"Tak selera," ketus Almaira.
"Kalau begitu, aku bawa kembali saja sarapan yang sekarang. " Anggara berlalu.
"Tunggu!"
Anggara berhenti. Tanpa menoleh. Ia benar-benar tidak ingin melanjutkan pertengkaran semalam.
"Aku...butuh... sesuatu," ucap Almaira sedikit tertahan.
Anggara berbalik dan mendekat. Ingin rasanya ia mengorek kupingnya agar ia yakin apa yang baru saja dia dengar. Gadis itu membutuhkannya?
"Aku...aku...hmmm...aku..." Almaira merasa seperti ada tulang kedondong tersangkut di tenggorokannya. Begitu sulit untuk mengungkapkan apa yang saat ini dia butuhkan.
"Katakan. Kau butuh apa? Bukankah semalam aku melengkapi peralatan mandimu dan pakaianmu. Juga peralatan make up." Terlihat wajah pemuda itu canggung.
"Aku tidak tahu apa seleramu dan merek yang kau pakai. Aku hanya meminta kepada pegawai toko untuk menyiapkannya. Aku tidak pernah membukanya apalagi menyentuhnya." Anggara gugup.
Almaira melirik kotak hitam besar di dekat kaki ranjang. Sepertinya ia tidak bisa menolaknya karena biar bagaimanapun tubuhnya harus tetap ia rawat.
"Aku sudah melihatnya namun ada yang kurang," lirihnya.
"Apa?" selidik Anggara cemas.
"Pembalut."
Sudut mulut Anggara terangkat. Ia melebarkan matanya menatap langit-langit. Ada cicak di sana, mengerakkan kepala seolah meyapanya yang sedang gamang. Seumur hidup ia tidak pernah berurusan dengan benda itu. Hanya pernah beberapa kali melihat iklan di internet.
"Bagaimana? Hari ini aku datang bulan. Aku butuh pembalut. Jika tidak, seluruh kasur ini akan tertutupi ol--"
"Cukup! " potong Aggara.
"Tunggulah. Aku akan segera kembali. "
Anggara melesat menuju pintu.
Kegamangannya saat ini mulai berlipat tapi kepalang basah, ia harus menghadapinya.
"Tunggu!" Suara Almaira kembali menyeru.
"Apa lagi?" Anggara mulai geram.
"Sarapan itu. Biarkan di sini. Aku akan memakannya. " Almaira tergagap namun ia pun tak punya pilihan. Perutnya meronta ingin diisi.
Anggara mendengus. Ia kembali menyimpan nampan yang berisi nasi dengan sop bakso. Terdengar suara piring sedikit beradu sebab yang meletakkannya sedang kesal.
*Aprilmart
"Apakah itu yang dimaksud?" batin Anggara memencingkan matanya memastikan benda yang ia sedang cari.
Anggara mendekat lalu membaca bungkusannya. *Pembalut Wanita*
"Iyah ini dia," desisnya. Setelah cukup lama ia berkeliling mencari di setiap etalase, akhirnya ia menemukannya. Segera ia memasukkannya ke dalam keranjang belanjaan. Ia mengambil cukup banyak. Tak mau lagi dia berurusan dengan benda ini lagi.
"Wanita, kebutuhannya banyak sekali. Lebih lama lagi aku bersamanya, bisa bangkrut aku, " gerutunya sambil menuju mobil dan melaju secepat kilat.