03. Rencana tak diduga

1193 Words
Kalau ada yang baik-baikin Sea, itu tandanya mereka ada maunya. - Asea Nacita Juana- >>>••• Waktu telah menunjukkan pukul 08.00 WIB dan aku masih tidur dengan nyenyak. Sea mah bebas, dong! Anak sultan, kata mama begitu. Masih dengan pangeran di dalam mimpi, hingga sebuah pukulan guling membuatku tergagap dan duduk dengan cepat. Mata melotot karena kaget dan kau tau siapa yang memukul? Mama. Jahat sekali ia, sangat tidak manusiawi. Rasanya ingin menangis, bukan karena apa, tapi kaget, jujur sangat kaget, bahkan jantung ini serasa ingin melompat dari dalam sana. "Mama apaan, sih? Kaget tau. Ini kan Hari Minggu," gerutuku seraya mengucek mata yang masih terasa berat. "Abisnya kamu dibangunin gak bangun juga. Ini udah jam 8 tahu gak? Anak perawan kok ngebo. Frustasi mama tu punya anak kayak kamu." "Yaudah kenapa dulu gak dibuang ke rawa aja," jawabku lagi sambil berjalan menuju ruang makan. "Ohh gitu, yaudah nanti abis makan, kamu mama buang." Mama duduk di samping papa. "Oke, Mah, oke, Hayati lelah dengan semua ini. Hayati lelah, lemparkan Hayati ke rawa, biar dimakan hiu." "Udah, deh! Kalian itu debat terus. Kamu juga Ma, sama anak sendiri kok jahat," sahut papa yang tengah mengunyah roti gandumnya. Sedangkan mama yang ditegur hanya nyengir tak bersalah. Aku heran, mengapa punya keluarga macam ini. Aku duduk di samping Bang Daniel yang sedari tadi fokus dengan laptopnya. Bahkan ia tak menoleh ketika kami berdebat. Atau bahkan ia tak menyadari keberadaanku di sampingnya? Sedang apa dia? Ide jahil muncul di kepala. Dengan hati-hati aku berdiri. Dan ,.. "BAAAA ...!" "KAMPRET!" Dengan seringai jahat aku memukul kedua pundak Bang Daniel seraya berteriak. Ternyata yang kaget bukan hanya Bang Daniel, namun juga mama dan papa. Mereka menatap dengan tatapan jengkel. Sedangkan aku yang di tatap hanya menyengir tak bersalah. Aku pun duduk, seraya menundukkan pandangan. "Ampun Ma, Pa, Bang," lirihku. "Jangan buang Sea ya, ampun. Sea janji gak nakal lagi." Kudengar mereka tertawa terbahak-bahak. Entah mengapa, memangnya ada yang lucu? Entahlah. Aku tetap menunduk seraya diam. Tak ingin membuat mereka tertawa semakin keras, merasa jengkel. Menyebalkan. Beberapa detik kemudian, tawa itu reda. Aku mengambil sepotong roti gandum yang tersaji di atas piring lalu menggigit dan mengunyah perlahan. Sambil sesekali meneguk s**u hangat yang telah berubah menjadi dingin. Tak ada suara lagi, hanya ada suara angin yang berhembus menerpa wajah kami. Hingga suara deheman bariton milik papa menginterupsi keheningan kami. "Sea," panggil papa, aku menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Iya Papa ganteng?" tanyaku, dengan roti yang memenuhi mulut. "Nanti kamu temenin Mama ke butik, ya?" Aku menoleh ke mama, karena itu tadi suaranya. Lalu aku menatap papa lagi, seperti ada pandangan tak terima yang terlihat di matanya. "Biar ada baju baru gitu, Pa, kan udah lama dia gak beli baju," jelas mama. Tentu saja aku senang sekali. Setelah sekian lama tak pernah pergi ke butik lagi, akhirnya sekarang aku akan diajak ke sana lagi. "Boleh, ya, Papa ganteng?" tanyaku pada papa dengan tatapan memohon. "Yaudah terserah, nanti Papa mau pergi sama Daniel." "Oke, Pa." Selesai makan, aku segera kembali ke kamar. Mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar mandi. Segera melakukan ritual mandi sambil bersenandung pelan. 15 menit berlalu, aku segera menghanduki tubuh yang basah. Aku berjalan menuju lemari pakaian, mengambil baju berwarna biru tua dan celana jeans. Lalu memoleskan sedikit bedak dan sedikit lipstik berwarna pink. "Ah, Sea cantik banget, deh!" gumamku seraya tersenyum. Aku meraih ponsel yang berada di atas nakas. Kau tau lah bagaimana cewek kalau habis dandan. Yap, benar sekali, apalagi kalau bukan selfie. Aku mengambil posisi. Membenahi rambut dan, Cekrek ... Cekrek ... Cekrek ... "Jelek ini, mah, ngeblur gini," gumamku sambil menghapus beberapa foto. Hemm, dari 10 foto yang bertahan hanya 3. Lima menitku terbuang sia-sia ternyata. "Post di IG, ah." Aku membuka aplikasi **, dan memilih foto yang menurutku paling bagus. Terakhir klik tulisan bagikan selesai. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana, mengambil flatshoes dan tas selempang berwarna senada dengan baju. Lalu menuju ruang tamu, di sana sudah ada mama yang menunggu. Menurutku mama memang sangat cantik, apalagi di usia yang sudah berkepala 4 ini. Terlihat awet muda. Pantas saja aku terlahir bak bidadari. Haha. "Yuk langsung ke butik." ●●●● Kami memasuki butik. Oh ya, butik ini milik Tante Erika, teman mama, dan aku sangat akrab dengannya. Kami menjadi langganan di sini, selain karena produk yang dijual bagus, kami juga mendapat potongan harga. Harga produk di sini pun tidak terlalu mahal seperti butik kebanyakan. Mungkin karena semuanya adalah buatan sendiri. Hari ini aku tidak bertemu Tante Erika. Biasanya ia akan menyambut kami. Tapi entahlah, mungkin ia sibuk. Aku berjalan menuju tempat dress. Menyisir satu persatu barisannya. Semuanya bagus, namun tak ada yang menarik perhatianku. Aku mencoba berfikir, dress mana yang akan kupilih. Mengulang dari barisan depan hingga belakang. Tak ada yang menarik. Ah, menyebalkan! "Hai, Cantik!" Aku menoleh kaget, dan mendapati Tante Erika tengah berdiri di belakangku. Tanpa aba-aba langsung memeluknya. "Tante, Sea kangen dong sama Tante," ujarku manja. "Iya, tante juga kangen sama kamu. Udah lama kita gak ketemu ya?" Aku mengangguk, tanda mengiyakan. "Kelly mana?" tanyanya lagi. "Gak tau, Tan, tadi sih Mama ke sana," jawabku seraya menunjuk ke arah jejeran tas. Tante Erika melepaskan pelukannya dan berkata akan menyusul mama. Aku menatap langkahnya yang perlahan menjauh. Aku melihat satu per satu koleksi di sini. Hingga mata tertuju pada salah satu sepatu berwarna pink dengan sedikit aksen bunga. Tanpa pikir panjang mengambil sepatu itu, lalu mencobanya. Namun, rasa kecewa muncul dalam diri. Ternyata sepatu itu terlalu besar. Aku membawa sepatu itu ke Tante Erika. "Tan, ini yang ukuran 38 ada?" "Ada sayang, nanti tante ambilin, ya," ujarnya padaku. Aku beralih pandang, melihat mama tengah menenteng sebuah dress yang menurutku sangat bagus. Jika bisa dideskripsikan, dress selutut itu berwarna pink dengan sedikit warna putih. Renda dibagian bawah dan pita besar dibagian perut. Ada juga 2 tali yang tenggantung dibagian pinggang. "Ma, itu punya siapa?" "Ini buat kamu." "Serius, Ma? Ini buat Sea?" "Iya serius." Aku meraih dress itu, lalu membawanya ke ruang ganti untuk mencoba. Sangat pas. Aku berjalan menghampiri 2 wanita sebaya itu dengan tersenyum. Mereka menatap tanpa berkedip. Semenawan apa aku ini? Sampai-sampai mereka pun terpesona. "Cantik banget, gak salah aku milih dia, Kel," ujar Tante Erika, membuatku mengernyit bingung. Memilih untuk apa? Ah, biarkan saja. Mungkin ia salah berbicara. "Iya, Er, emang cantik banget. Pasti anakmu suka banget. Oh, ya, kok dia gak pernah keliatan, sih? Terakhir ketemu pas masih TK." "Biasa lah anak muda, sekolah, main, bandel." "Oalah." Aku hanya tersenyum menanggapi pujian itu, tersipu dengan pujian kedua wanita di hadapanku ini. Namun, di sisi lain aku mengernyit karena tak tahu arah pembicaraan itu. Tanpa menunggu lama, kami membayar barang yang telah kami pilih. Berpamitan lalu pergi, sesampainya di rumah, papa sudah menunggu di ruang tamu, dengan kedua tangan yang memegang koran serta seduhan kopi hitam di atas meja. "Sea," panggil papa, aku menghampirinya. "Kenapa, Papa Ganteng?" "Nanti malam ikut Mama sama Papa ke acara makan-makan, ya? Sama keluarga Tante Erika. Pakai dress yang kamu beli tadi." "Tumben, Pa? Biasanya kan Papa sama Mama, Sea kalau mau ikut juga gak pernah dibolehin," protesku seraya mengerucutkan bibir sebal. "Papa mau jodohin kamu sama anaknya Tante Erika." "APA?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD