Hujan yang menyapa

1649 Words
Hujan turun perlahan, menutup jalan-jalan kota dengan selimut air yang dingin. Aira menatap jendela kecil di kamarnya, membiarkan tetes-tetes hujan menari di kaca. Hatinya terasa berat—rindu pada seseorang yang tak pernah benar-benar hadir dalam hidupnya. Di kafe kecil di sudut kota, Farel menatap secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia baru saja meninggalkan Aira di bawah gerimis sore itu, namun bayangannya tetap menghantui setiap detik pikirannya. “Kenapa rasa ini selalu datang ketika hujan?” gumamnya pelan. Hujan tidak hanya membasahi jalan, tapi juga menghidupkan kenangan. Setiap tetes membawa aroma rindu yang menempel di udara. Tanpa sadar, kedua hati itu, Aira dan Farel, berjalan di arah yang sama, hanya terpisah oleh hujan dan waktu. Tiba-tiba, Aira melihat bayangan seseorang di luar jendela kafe. Ia mengenali sosok itu—Farel, yang membawa payung besar, berdiri menatap kafe seolah mencari sesuatu. Hatinya berdebar. Apakah ini kebetulan atau memang takdir yang ingin mempertemukan mereka lagi? Farel melihat Aira di dalam, tersenyum kecil. Ia melangkah masuk, payung meneteskan hujan, dan udara di antara mereka seketika dipenuhi getaran yang tak bisa dijelaskan. “Lama tak bertemu,” ucap Farel, suaranya lembut namun tegas. Aira tersenyum, mencoba menenangkan hatinya yang berdegup kencang. “Ya… sudah lama sekali,” balasnya. Hujan di luar tetap turun, seolah menjadi saksi bisu dari pertemuan yang tak direncanakan ini. Dan di kota hujan itu, dua hati yang rindu akhirnya menemukan cara untuk saling menatap, meski kata-kata masih tersekat di bibir mereka. --- Hujan masih turun ketika Farel dan Aira duduk berseberangan di kafe itu. Suasana hangat dari aroma kopi seolah menahan dinginnya hujan di luar, tapi hati mereka tetap terasa tegang. Ada sesuatu yang belum terucap, sesuatu yang membuat pertemuan ini terasa begitu… berat. “Farel… kenapa tiba-tiba datang?” tanya Aira, suaranya pelan, hampir terselip di antara suara hujan. Farel menatap Aira sejenak, lalu menghela napas. “Aku… aku tidak bisa terus diam. Ada hal yang harus kau tahu,” ucapnya. Matanya tampak gelisah, tapi ada keteguhan yang membuat Aira tak bisa berpaling. Aira menunduk, jantungnya berdebar. Ia merasa ada sesuatu yang akan mengubah semuanya. “Aira… waktu itu aku pergi bukan karena tidak peduli. Aku… harus pergi untuk keluarga. Tapi selama ini, aku terus memikirkanmu,” Farel melanjutkan. Kata-katanya menetes seperti hujan yang membasahi lantai kafe. Aira menatap Farel dengan mata berkaca-kaca. Semua rasa rindu dan kehilangan yang ia simpan selama ini akhirnya menemukan jawaban. “Aku… aku selalu menunggumu, Farel. Setiap hujan turun, aku berharap kau akan datang,” bisiknya. Farel meraih tangan Aira, menggenggamnya hangat. “Aku di sini sekarang. Tidak akan pergi lagi,” ujarnya. Di luar, hujan terus menimpa kota. Tapi kali ini, hujan terasa berbeda—seolah ikut merayakan pertemuan mereka. Rindu yang selama ini menjadi beban kini perlahan berubah menjadi kebahagiaan yang sederhana, namun begitu nyata. Namun, meski pertemuan ini membawa kelegaan, sebuah rahasia kecil dari masa lalu Farel masih tersimpan. Rahasia itu, jika terbuka, bisa mengubah segalanya. Dan hujan, seperti selalu, akan menjadi saksi perjalanan hati mereka selanjutnya. --- Beberapa hari setelah pertemuan di kafe, Aira dan Farel mulai sering bertemu. Kota hujan tetap setia menurunkan rintiknya, menjadi saksi bisu percakapan mereka yang penuh kehangatan. Namun, di balik senyum Farel, ada sesuatu yang masih tersembunyi. Suatu sore, di bawah payung berwarna hijau tua, Farel membawa Aira ke sebuah taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga basah oleh hujan. Ia terlihat gelisah, seperti menimbang kata-kata yang akan diucapkan. “Aira… ada sesuatu yang harus kau ketahui sebelum semuanya terlalu jauh,” ucap Farel akhirnya, menatap mata Aira dengan serius. Aira menahan napas. “Apa itu, Farel?” tanyanya lembut, hatinya berdebar tak menentu. Farel menunduk sebentar, lalu melanjutkan, “Dulu, sebelum aku pergi, aku… membuat kesalahan besar. Kesalahan itu… berhubungan dengan seseorang yang pernah sangat dekat denganku. Aku takut jika kau tahu, kau akan… meninggalkanku.” Aira tersentak. Kata-kata itu membawa rasa takut sekaligus penasaran. “Kesalahan besar? Apa maksudmu?” Farel menggenggam tangan Aira lebih erat. “Aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin kau tahu sekarang, sebelum semuanya menjadi terlalu rumit. Aku pernah… menyakiti seseorang yang sangat berarti bagiku. Dan itu membuatku harus pergi saat itu. Aku berharap kau bisa mengerti.” Aira menunduk, mencoba mencerna semua itu. Hatinya berperang antara rindu yang selama ini terpendam dan ketakutan akan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Hujan turun semakin deras, menutupi suara dunia, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara jujur. “Farel… aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku ingin mencoba mengerti. Aku ingin tetap bersamamu,” Aira akhirnya berkata, suaranya bergetar. Farel menatapnya, lega tapi tetap waspada. “Terima kasih, Aira. Aku janji, aku akan jujur padamu. Tidak ada lagi rahasia yang aku sembunyikan darimu.” Hujan di kota itu tetap turun, tapi kali ini membawa harapan. Dua hati yang penuh rindu mulai belajar untuk saling percaya, meski bayangan masa lalu Farel masih menunggu di suatu sudut. --- Beberapa hari setelah pertemuan di kafe, Aira dan Farel mulai sering bertemu. Kota hujan tetap setia menurunkan rintiknya, menjadi saksi bisu percakapan mereka yang penuh kehangatan. Namun, di balik senyum Farel, ada sesuatu yang masih tersembunyi. Suatu sore, di bawah payung berwarna hijau tua, Farel membawa Aira ke sebuah taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga basah oleh hujan. Ia terlihat gelisah, seperti menimbang kata-kata yang akan diucapkan. “Aira… ada sesuatu yang harus kau ketahui sebelum semuanya terlalu jauh,” ucap Farel akhirnya, menatap mata Aira dengan serius. Aira menahan napas. “Apa itu, Farel?” tanyanya lembut, hatinya berdebar tak menentu. Farel menunduk sebentar, lalu melanjutkan, “Dulu, sebelum aku pergi, aku… membuat kesalahan besar. Kesalahan itu… berhubungan dengan seseorang yang pernah sangat dekat denganku. Aku takut jika kau tahu, kau akan… meninggalkanku.” Aira tersentak. Kata-kata itu membawa rasa takut sekaligus penasaran. “Kesalahan besar? Apa maksudmu?” Farel menggenggam tangan Aira lebih erat. “Aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin kau tahu sekarang, sebelum semuanya menjadi terlalu rumit. Aku pernah… menyakiti seseorang yang sangat berarti bagiku. Dan itu membuatku harus pergi saat itu. Aku berharap kau bisa mengerti.” Aira menunduk, mencoba mencerna semua itu. Hatinya berperang antara rindu yang selama ini terpendam dan ketakutan akan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Hujan turun semakin deras, menutupi suara dunia, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara jujur. “Farel… aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku ingin mencoba mengerti. Aku ingin tetap bersamamu,” Aira akhirnya berkata, suaranya bergetar. Farel menatapnya, lega tapi tetap waspada. “Terima kasih, Aira. Aku janji, aku akan jujur padamu. Tidak ada lagi rahasia yang aku sembunyikan darimu.” Hujan di kota itu tetap turun, tapi kali ini membawa harapan. Dua hati yang penuh rindu mulai belajar untuk saling percaya, meski bayangan masa lalu Farel masih menunggu di suatu sudut. --- Beberapa minggu berlalu. Aira dan Farel mulai terbiasa dengan kebersamaan mereka, meski hujan tak pernah berhenti mengiringi hari-hari mereka. Setiap langkah di kota basah itu terasa ringan ketika mereka berjalan berdua, tapi bayangan masa lalu Farel perlahan mulai muncul ke permukaan. Suatu sore, Farel menerima pesan dari seseorang yang tak asing baginya. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat wajahnya berubah pucat. Aira yang melihatnya langsung bertanya, “Farel… apa itu?” Farel menelan ludah, lalu menunjukkan layar ponsel itu pada Aira. “Dia… orang yang dulu pernah aku sakiti. Dia ingin bertemu.” Aira menatap Farel, hatinya campur aduk. Rasa cemburu, takut, tapi juga ingin memahami semuanya. “Apakah… kau ingin menemuinya?” tanyanya pelan. Farel mengangguk. “Aku harus menghadapi ini, Aira. Supaya aku bisa benar-benar bersamamu tanpa rahasia lagi.” Hujan turun semakin deras saat mereka pergi ke pertemuan itu. Di bawah rintik hujan yang membasahi rambut dan jaket mereka, Farel bertemu dengan sosok yang selama ini menghantui masa lalunya—seorang wanita yang pernah ia sakiti tanpa sengaja. Percakapan mereka berlangsung tegang, tapi Farel tetap tenang. Ia meminta maaf dan mencoba memperbaiki yang bisa diperbaiki. Sementara itu, Aira menunggu, hati berdebar, menatap dari kejauhan. Ia melihat ketulusan di mata Farel, dan meski rasa takutnya ada, ia tahu—percaya adalah satu-satunya jalan. Ketika pertemuan itu selesai, Farel berjalan kembali ke arah Aira, basah kuyup karena hujan. Tanpa kata, ia menggenggam tangan Aira erat. “Aku selesai dengan masa lalu. Sekarang, hanya ada kita,” ucapnya. Aira tersenyum, menitikkan air mata bahagia. Hujan yang selama ini terasa menyiksa kini berubah menjadi saksi kebahagiaan mereka. Dua hati yang sempat tertunda akhirnya menemukan cara untuk tetap bersatu, meski badai dan hujan selalu menjadi teman mereka. --- Hujan turun lebih lembut kali ini, seperti menyapa pagi dengan hangat. Kota hujan tampak berbeda—lebih tenang, lebih damai. Aira dan Farel duduk di bangku taman yang basah, tangan mereka saling menggenggam, seakan tak ingin terlepas. “Aira… aku tidak pernah menyangka bisa sampai di titik ini,” kata Farel, menatap mata Aira dengan penuh arti. Aira tersenyum, menepuk tangan Farel pelan. “Aku juga… semua rindu, semua hujan, akhirnya membawa kita di sini.” Mereka berdua tertawa kecil, membiarkan suara hujan menjadi musik latar bagi kebahagiaan mereka. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan lega dan bahagia yang memenuhi hati mereka. Hujan yang dulu terasa sepi dan menyakitkan kini menjadi teman setia, simbol perjalanan cinta mereka yang tidak mudah, tapi nyata. Farel memeluk Aira, dan untuk pertama kalinya, mereka membiarkan hujan membasahi mereka tanpa rasa takut. Air hujan menetes di rambut, jaket, dan pipi mereka, tapi hati mereka hangat. “Ini… rasanya sempurna,” ucap Aira, tersenyum di tengah pelukan. “Karena kita menemukan satu sama lain, meski melalui hujan dan rindu,” balas Farel lembut. Di kota hujan itu, dua hati yang sempat terpisah kini bersatu, belajar untuk percaya, mencintai, dan menerima. Hujan tidak lagi menjadi saksi kesepian, tapi menjadi saksi cinta yang tumbuh, tulus, dan abadi. Dan ketika hujan mulai reda, kota pun kembali cerah. Tapi bagi Aira dan Farel, cinta mereka akan selalu seperti hujan—membasahi, menenangkan, dan hadir di setiap detik kehidupan mereka, selamanya. --- Sekian dan terima kasih ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD