Di Balik Rintik yang Menyimpan Nama

2189 Words
Esok harinya, hujan kembali turun sejak pagi—lebih lembut dari kemarin, tetapi cukup untuk membuat kota terbungkus dalam kabut tipis yang menenangkan. Raina menatap jendela kosnya sambil memegang mug cokelat hangat, masih memikirkan pertemuannya dengan Nadeo. Setiap kali ia memejamkan mata, tatapan lelaki itu muncul lagi: tenang, penuh rasa, seolah bisa membaca kegelisahan yang tidak pernah ia bagi kepada siapa pun. Pikiran Raina buyar ketika ponselnya berbunyi. Pesan dari Arman. Ada sesi foto sore ini di taman. Kamu ikut? Raina mengetik cepat. Ikut. Hujan masih turun, bagus buat ambience. Tak lama, Arman membalas. Oke. Jam tiga. Dan… mungkin kamu ketemu DIA lagi. Raina mendesah, mencubit lengan Arman dalam pikirannya. Iya, iya. Sampai nanti. --- Sore itu, taman kota masih basah namun penuh kehidupan. Anak-anak berlarian sambil menerjang genangan, beberapa pasangan menikmati suasana lembap sambil berbagi payung kecil. Raina tiba dengan langkah ringan, membawa kamera yang sudah ia bersihkan sejak siang. Namun saat ia mencari Arman, langkahnya terhenti. Nadeo sudah ada di sana. Di bawah pohon flamboyan yang sama, ia kembali melukis. Kali ini tanpa payung. Hujan sudah berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang pekat. Wajahnya tampak fokus, tetapi ketika ia menoleh, tatapan mereka langsung bertemu, seolah semesta sengaja mengatur momen itu. Raina cepat-cepat menunduk, pura-pura memotret bunga liar. Arman datang dari arah belakang. “Woi, kamu udah datang—oh, dia ada di sana lagi.” Nada meledeknya terdengar jelas. “Aku tidak peduli dia ada atau tidak,” ujar Raina datar, meski wajahnya hangat. “Yakin?” Arman menyipitkan mata. “Kamu senyum tadi.” “Apa?” Raina menoleh cepat. “Kapan?” “Pas lihat dia.” Raina memukul lengan Arman pelan. “Sssh!” Arman tertawa kecil. “Sudahlah. Kalau kamu mau ngobrol lagi dengannya, aku tidak akan ganggu.” “Aku cuma mau foto. Tidak lebih.” Arman menaikkan alis. “Terserah.” Sementara Arman mengambil foto landscape, Raina mencari objek lain—pohon basah, batu yang tertutup lumut, titisan air di rumput. Namun, matanya terus kembali kepada sosok yang sedang melukis itu. Akhirnya, ia memutuskan mendekat. Setiap langkah membuat jantungnya berdetak lebih kuat, tetapi ia mencoba bersikap normal. Ketika ia sampai pada jarak dua meter, Nadeo menghentikan kuasnya. “Kamu datang lagi,” katanya tanpa menoleh. “Kamu tahu?” Raina terkejut. “Aku dengar langkahmu.” Ia menatap Raina, tersenyum kecil. “Langkah kamu ringan, tapi khas.” Raina merasakan pipinya memanas. “Aku… sedang latihan fotografi.” “Dan kamu memilih hujan.” “Kamu juga.” Nadeo tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Hujan membuat warna lebih jujur.” “Jujur?” Raina memiringkan kepala. “Hujan menghapus hal yang tidak perlu. Menyisakan yang benar-benar ingin bertahan.” Raina terdiam. Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam. Nadeo melanjutkan, “Boleh aku lihat fotomu hari ini?” Raina mengangguk. Ia menunjukkan beberapa jepretan: dedaunan yang menetes, jalan basah, langit kelabu. Nadeo memperhatikan dengan serius, bukan basa-basi. “Kamu punya cara melihat hal kecil yang tidak dilihat orang lain,” ujar Nadeo. “Ini bukan sekadar foto. Ini cara kamu bicara tanpa kata.” Aira menahan napas sejenak. “Kamu… bisa melihat sejauh itu?” “Bisa. Karena aku melakukan hal yang sama dengan lukisan.” Ia menunjuk kanvasnya. “Aku melukis apa yang orang lain tidak sempat perhatikan.” Raina akhirnya bertanya hal yang sejak kemarin mengganggunya. “Kenapa kamu melukis setelah hujan? Kenapa bukan saat langit cerah?” Nadeo menatap awan yang bergerak pelan. “Karena aku punya kisah yang selalu muncul ketika hujan pertama turun.” Raina mengerutkan kening. “Kisah apa?” Nadeo tersenyum samar—senyum yang menyimpan sesuatu yang belum ingin ia buka. “Nanti. Kalau kamu masih ingin mendengar di pertemuan berikutnya.” Jawaban itu seperti garisan halus yang menggantung di udara, membuat Raina ingin tahu lebih banyak. “Hujan pertama kemarin,” lanjut Nadeo, “membuatku menggugah sesuatu yang sudah lama tertidur. Dan aku rasa… kedatangan kamu ada hubungannya.” Raina membeku. Ia tidak sempat membalas karena Arman memanggil dari kejauhan. “Raina! Sesi terakhir di ujung taman!” Raina menoleh. “Iya!” Sebelum pergi, ia menatap Nadeo sekali lagi. “Aku… mungkin kembali besok.” “Aku tidak akan ke mana-mana,” jawab Nadeo tenang. “Kecuali hujan memanggilku ke tempat lain.” Raina tertawa kecil—ringan, namun tulus. Lalu ia berlari kecil menyusul Arman, sambil membawa d**a yang berubah hangat secara misterius. Dan pada sore itu, di taman yang baru saja ditinggalkan hujan, sesuatu kembali tergugah—bukan hanya dalam diri Nadeo, tetapi juga dalam hati Raina yang mulai membuka pintunya perlahan. Hujan turun lebih deras pada sore itu, seperti sengaja menutupi seluruh kota dengan tirai kelabu. Langit menggigil, jalanan berubah menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu kendaraan. Di balik jendela perpustakaan, Nara memandangi rintik-rintik yang tak henti jatuh. Ada sesuatu tentang hujan yang selalu berhasil membuka kembali ruang hatinya yang paling rapuh. Ia menutup buku pelajaran, berdiri, dan menarik napas panjang. Sudah waktunya pulang, tapi ia tidak membawa payung. Tergesa-gesa berangkat pagi tadi membuatnya lupa banyak hal, termasuk hal sekecil itu. Ketika ia hendak melangkah keluar dari pintu perpustakaan, seseorang memanggil pelan dari belakang. “Nara.” Ia menoleh. Raka berdiri di sana, payung hitam terlipat di tangannya, wajahnya sedikit basah terkena gerimis yang tertiup angin. “Kamu mau pulang? Hujannya tambah deras.” Nara mengangguk pelan. “Iya… tapi aku nggak bawa payung.” Raka tersenyum kecil. “Aku tahu.” Nara mengerutkan kening. “Tahu dari mana?” “Setiap kali kamu terburu-buru, kamu selalu lupa sesuatu. Kemarin buku catatan. Hari ini payung.” Nada suaranya ringan, tapi ada kehangatan yang membuat hati Nara bergetar pelan. Raka membuka payungnya dan memiringkannya sedikit ke arah Nara. “Ayo. Kita pulang bareng.” Nara ragu sebentar, tapi kemudian mengangguk. Begitu payung terbuka, dunia di bawahnya terasa lain: lebih hangat, lebih tenang, seakan hujan yang menggila di luar tidak bisa menyentuh mereka. Langkah mereka berjalan pelan menyusuri trotoar. Jarak bahu hanya beberapa sentimeter, namun cukup membuat jantung Nara berdetak lebih cepat dari biasanya. “Kamu selalu suka hujan, kan?” tanya Raka tanpa menoleh. “Suka,” jawab Nara. “Hujan bikin aku merasa… dekat dengan sesuatu yang nggak bisa aku jelasin.” “Dekat dengan kenangan?” tebak Raka. Nara terdiam. Pertanyaan itu tepat sasaran. “Mungkin.” Raka tersenyum tipis. “Aku juga begitu.” Hening jatuh di antara mereka, tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti hening yang memberi ruang bagi perasaan untuk berbicara sendiri. Ketika mereka hampir sampai di perempatan, angin kencang bertiup, membuat payung Raka terdorong. Refleks, ia meraih bahu Nara agar payung tetap melindungi keduanya. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Nara menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Mereka berhenti di depan rumah Nara. Lampu teras menyala lembut. “Terima kasih, Rak,” ucap Nara pelan. “Dengan senang hati,” jawab Raka. Tapi sebelum Nara melangkah masuk, Raka memanggilnya lagi. “Na… kalau besok hujan lagi, boleh aku jemput kamu?” Nada suara Raka tidak memaksa, tapi penuh harapan yang jujur. Nara menggigit bibir. Hujan selalu membawa kenangan, tetapi kali ini—untuk pertama kalinya—hujan juga membawa sesuatu yang baru. Ia tersenyum. “Boleh.” Raka mengangguk, tersenyum samar, dan perlahan berbalik. Namun, ketika ia sudah berjalan beberapa langkah, ia berhenti. Ia menatap payung di tangannya, lalu menoleh kembali. “Nara.” “Iya?” “Aku tinggalin payung ini di sini, ya. Biar kamu nggak lupa bawa besok.” Nara terkekeh kecil, lalu menerima payung itu. “Terima kasih.” Raka berjalan pergi, sementara Nara memegang payung itu erat-erat. Payung sederhana yang tiba-tiba terasa seperti jejak pertama dari sebuah cerita yang baru saja mulai menetes bersama hujan. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nara berharap hujan turun lagi besok. Hujan mulai turun dengan perlahan, menetes di jendela kamar Laila seperti tetes air mata yang ingin menceritakan sesuatu. Aroma tanah basah memenuhi udara, mengingatkannya pada masa kecilnya di desa, ketika ia dan Raka berlari-larian di halaman rumah neneknya sambil tertawa tanpa beban. Hari itu, Laila berjalan di sepanjang trotoar yang basah. Payung birunya menutupi sebagian wajahnya, tapi matanya tetap mencari-cari sosok yang sama yang selalu hadir di pikirannya. Ia menutup mata sebentar, membiarkan hujan menyentuh pipinya. Ada rasa rindu yang lembut namun menusuk, seakan hujan itu sendiri membawa pesan dari Raka. Ia ingat bagaimana Raka pernah berkata, “Hujan pertama selalu punya cerita sendiri. Kadang ia membawa tangis, kadang tawa.” Laila tersenyum pahit. Benar, hujan pertama di musim ini bukan sekadar tetesan air; ia membawa kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan. Di kafe kecil di sudut jalan, Raka duduk menatap jendela yang sama. Ia memesan secangkir kopi hangat dan menatap hujan dengan tatapan kosong, seolah menunggu seseorang yang tahu rasa rindu yang sama. Setiap tetes hujan mengingatkannya pada Laila. Ia ingin menulis, tapi kata-kata terasa hilang di tengah riuhnya rintik hujan. Ketika mata mereka secara tak sengaja bertemu di kaca kafe dan jendela seberang jalan, dunia terasa berhenti sejenak. Ada kilatan yang sama—rasa yang tak terucapkan—yang membuat keduanya sadar bahwa meski waktu dan jarak memisahkan, hujan ini mempertemukan mereka kembali, setidaknya dalam sekejap. Laila menarik napas dalam, merasakan hangatnya kenangan yang perlahan menenangkan hatinya. Raka menatapnya lagi, dan kali ini ia tersenyum, penuh pengertian tanpa perlu kata. Hujan pertama itu menjadi saksi bisu, mengikat dua hati yang tak pernah benar-benar terpisah. Dan di tengah hujan itu, mereka akhirnya tahu: rindu bisa menemukan jalannya, meski melalui tetes-tetes air yang jatuh dari langit. --- Hujan turun semakin deras, membasahi seluruh kota dengan ritme yang tak kenal henti. Laila berdiri di trotoar, menatap hujan yang seakan menari di jalanan basah. Setiap tetes seolah membawa kenangan lama, tapi kali ini ada rasa berbeda: ada harapan yang tumbuh di dalam dadanya. Di kejauhan, Raka berjalan pelan, payungnya tertiup angin. Ia menghentikan langkah, menatap Laila yang berdiri sendiri, dan seketika rasa takut dan rindu bercampur menjadi satu. Tanpa pikir panjang, ia berlari menembus hujan, tak peduli basah kuyup. “Laila!” panggilnya, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan. Laila menoleh, dan mata mereka bertemu. Ada kehangatan yang muncul di tengah dingin hujan, seperti mereka menemukan satu sama lain kembali setelah lama terpisah. Tanpa kata-kata, Laila membuka payungnya dan Raka menunduk untuk melindunginya dari hujan, tapi tetesan yang jatuh tetap membasahi rambut dan bahu mereka. “Raka…” suara Laila lembut, tapi penuh emosi. Raka menggenggam tangan Laila. Basah, dingin, tapi terasa nyata dan hidup. “Aku menunggumu di setiap hujan, Laila. Aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Mereka berjalan bersama di bawah hujan, langkah demi langkah, membiarkan dunia seolah berhenti. Hujan yang deras menjadi saksi, membasuh segala ragu dan luka lama, meninggalkan hanya perasaan yang murni dan tulus. Di sebuah taman kecil, mereka berhenti. Raka menatap Laila, hujan membasahi wajah mereka, tapi senyum yang tercipta lebih hangat daripada matahari. Tanpa ragu, ia meraih wajah Laila dengan lembut dan menatap matanya. “Hujan pertama ini… terasa seperti awal yang baru, bukan hanya untuk musim, tapi juga untuk kita,” kata Raka. Laila mengangguk, menahan air mata yang jatuh bersamaan dengan hujan. “Ya, aku percaya… kita bisa mulai lagi, Raka. Bersama.” Hujan malam itu tidak hanya menetes dari langit. Ia menetes dari hati mereka, mengikat rindu, cinta, dan harapan yang baru. Dan di tengah derasnya hujan, dua hati yang lama terpisah akhirnya bersatu, menemukan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh hujan pertama yang penuh cerita. --- Hujan mulai mereda, tinggal rintik-rintik yang menetes pelan di daun-daun. Kota yang basah itu tampak tenang, seakan memberi ruang bagi Laila dan Raka untuk menyelesaikan percakapan hati mereka yang tertunda selama ini. Mereka duduk di bangku taman, masih basah kuyup, tapi tak peduli. Hujan telah membasuh segala keraguan, meninggalkan hanya kehangatan yang tumbuh di antara mereka. “Laila,” kata Raka, menatap mata Laila dengan sungguh-sungguh, “aku ingin kau tahu… tidak ada hujan yang bisa memisahkan kita lagi. Aku berjanji, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.” Laila tersenyum, rasa rindu dan lega bercampur menjadi satu. “Aku percaya, Raka. Hujan ini, hujan terakhir sebelum musim berganti, akan menjadi awal baru kita. Kita akan berjalan bersama, melewati hujan maupun terik matahari.” Mereka saling menggenggam tangan, merasakan hangatnya satu sama lain di tengah dinginnya udara. Di langit, cahaya matahari mulai menembus awan gelap, memantulkan kilau di tetes-tetes air yang menempel di ranting dan daun. Seolah dunia ikut merayakan janji mereka. Raka menarik Laila lebih dekat, dan tanpa ragu mereka berciuman di bawah sisa rintik hujan. Ciuman itu bukan hanya tentang cinta, tapi tentang janji, tentang keberanian untuk kembali percaya, dan tentang sebuah masa depan yang kini bisa mereka bayangkan bersama. Hujan pertama yang dulu membawa rindu kini berubah menjadi hujan terakhir yang mengikat janji abadi mereka. Kota tetap basah, aroma tanah basah tetap harum, tapi di hati mereka, ada kehangatan yang tak bisa hilang. Dan saat hujan benar-benar berhenti, Laila dan Raka berdiri, menatap langit yang mulai cerah. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka sudah menemukan satu sama lain lagi. Dalam setiap hujan yang akan datang, mereka akan selalu mengingat momen ini—momen hujan terakhir yang menjadi awal dari selamanya. --- Sekian dan terima kasih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD