bc

Your Dangerous Touch

book_age18+
403
FOLLOW
2.7K
READ
HE
blue collar
drama
bxg
bold
superpower
like
intro-logo
Blurb

Meski tanpa suami, Snow tetap bisa bahagia bersama buah hatinya. Semenjak Leo meninggal dunia, Snow tak pernah berpikir untuk mencari pengganti. Sialnya, hidupnya berubah setelah bertemu dengan Raffa.

Snow memiliki kelebihan membaca pikiran hanya dengan satu sentuhan. Namun, ternyata Raffa memiliki sentuhan yang jauh lebih berbahaya. Sejak pertama kali mereka berjabat tangan, Snow sudah langsung terperangkap dalam hubungan penuh hasrat.

Sempat terpikir kisah mereka akan berakhir dengan indah. Namun, Snow justru dikejutkan dengan keterkaitan Raffa dalam kasus kematian suaminya.

Raffa ternyata tidak sebaik yang Snow kira.

chap-preview
Free preview
1. Mind Reader
'Damn! She's so hot. Pasti menyenangkan jika bisa menghabiskan malam dengan wanita se-sexy ini.' Kalimat kurang ajar itu terdengar dari seorang lelaki tua yang sedang menatap lurus ke arah Snow. Namun, ucapan itu tidak keluar dari mulutnya langsung. Si lelaki tua hanya merangkai kata di dalam kepala. Magically, Snow memang diberi kemampuan untuk bisa membaca pikiran seseorang hanya melalui sebuah sentuhan. Buku setebal sekitar tiga ratus halaman baru saja terjatuh tepat di bawah kaki Snow. Dia ingin sekedar berbaik hati mengambilkan dan mengembalikannya kepada si lelaki tua. Namun, ketika menyerahkan buku itu, Snow tidak sengaja menyentuh tangannya. Dari situlah Snow bisa membaca pikiran kotor dari lelaki tua yang wajahnya tampak sangat alim. Kelebihan membaca pikiran memang sangat menguntungkan. Snow bisa mengerti isi pikiran seseorang tanpa perlu bimbang apakah dia berkata sebenarnya atau sedang berdusta. Sialnya, walau sering mendapat manfaat, kelebihan ini juga terkadang menjadi sebuah kekurangan. Seperti halnya sekarang. "Terimakasih, Nona muda. Anda baik sekali." Si lelaki tua berucap dengan sopan seraya mengulurkan tangan. "Saya Mattia." Snow menahan diri untuk tidak berdecih sebal. Orang normal mungkin akan beruntung karena mereka hanya akan melihat manusia dari sisi luar yang selalu tampak baik. Berbanding terbalik dengan Snow yang harus rela mendengar berbagai pikiran buruk, menjijikan, dan bahkan bernada melecehkan. Tak hanya bayangan tentang bagaimana rasanya bisa bercinta dengan Snow, Mattia juga dengan liarnya mengkhayalkan untuk menjadikan Snow sebagai wanita simpanan. Kulit Snow yang putih, rambut yang pirang, mata biru yang indah, tubuh yang langsing, dan … bentuk d**a yang sempurna, semuanya adalah tipe wanita yang Mattia suka. Snow mendadak mual dan ingin muntah. Tak pernah ada di benak Snow untuk membiarkan tubuhnya menjadi bahan imajinasi orang asing. Ingin sekali murka. Sialnya, ini bukan kejadian yang pertama. Hampir semua lelaki yang Snow temui selalu memiliki pemikiran yang serupa. Melawan tentu hanya membuang tenaga. Akan percuma jika Snow meladeni manusia semacam ini. Mereka justru akan semakin senang ketika melihat Snow geram. Terlebih lagi, Snow tidak memiliki bukti. Hasil dari membaca pikiran tetap akan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal untuk dikemukakan di jaman sekarang. 'Tiga puluh empat.' Isi kepala Mattia kembali berhasil Snow baca. Lelaki itu tengah menebak ukuran dadanya. Tak cukup sampai di situ, Mattia bahkan kembali berpikir untuk menyentuh dan mendaratkan kecupan di kedua sisi yang sedang dia pandang. Ah, sial! Udah bau tanah, masih aja mikir yang begituan, rutuk Snow dalam hati. Ingin memaki, tapi Snow tidak mungkin tega melakukannya. Ada seorang nenek dengan jaket rajut yang tengah duduk di samping Mattia. Mungkin dia adalah istrinya. Sungguh miris. Sang istri tidak tahu saja kalau suami yang sedang dia usap punggungnya tengah mengkhayalkan sebuah hal hina. Alhasil, seperti yang sudah-sudah, Snow hanya memilih undur diri dan duduk di kursi yang letaknya cukup jauh. Saat ini, dia sedang berada di ruang tunggu bandara. Jadwal penerbangan mundur satu jam karena cuaca buruk di awal musim dingin. Sedikit menyebalkan, tapi Snow tidak punya pilihan lain selain menunggu bersama para penumpang lain. Setelah menaruh tas di atas kursi, Snow sengaja memakai hoodie oversize demi menutupi bentuk tubuhnya. Seingatnya, Snow tidak pernah menggunakan pakaian yang terlalu terbuka. Namun, entah mengapa, tetap saja ada mata keranjang yang menatap tubuhnya dengan sorot kelaparan. "Always be a shity thing," gumam Snow pelan. Snow pikir, derita hari ini sudah berakhir. Sungguh naas, ketika dia sudah berpindah tempat duduk pun, masih ada saja gangguan yang datang. "Permisi," ucap seorang lelaki dari arah belakang. "Ini punyamu." Snow menoleh. Lelaki muda berusia dua puluhan tengah tersenyum kepadanya. Bentuk wajahnya terlihat proporsional dan terbilang tampan. Berbekal ekspresi ramah, dia menyerahkan selembar boarding pass milik Snow yang tidak sengaja terjatuh. "Terimakasih." Snow membalas seraya tersenyum tipis. Sudah sangat berhati-hati agar jangan sampai ada kontak secara fisik. Snow sedang malas mendengar sesuatu yang seharusnya tidak dia dengar. Sayangnya, lelaki itu sepertinya tak sengaja menyentuh ujung jemari Snow. Dan ... . 'Oh, God. She's so hot.' Sial! Lagi-lagi Snow bisa membaca isi kepala manusia di hadapannya. Sialnya lagi, pikiran lelaki muda ini sama persis dengan lelaki tua yang baru saja Snow hindari. Wajah bak malaikat memang tidak menjamin kalau seseorang memiliki hati yang bersih. Walau tergolong eye catching dan good looking, tapi Snow hanya bisa mendengus kesal ketika berhasil membaca apa yang sebenarnya dia pikirkan. Sungguh, apa yang terlihat dan apa yang lelaki itu simpan di benaknya itu sangat bertolak belakang. "Mau ke Italy? Kita satu pesawat," ucapnya. Tanpa berkenan menjawab, Snow hanya menganggukkan kepala satu kali, lalu beranjak pergi. "Ya Tuhan. Ini terlalu memuakkan," lirih Snow seorang diri. Kamar mandi adalah satu-satunya tempat kabur yang paling aman. Biarlah dirinya menunggu di dalam sana hingga setengah jam ke depan. Tidak akan ada lelaki, dan wanita pun sepertinya tidak ada. Tempat ini sangat sepi. Namun, ... tunggu dulu. Sepertinya ada satu penghuni. Pintu paling depan kamar mandi tampak tertutup, dan Snow juga bisa mendengar suara flush. Tak sampai lima detik setelah itu,... . "Aaaaaaaa!" Snow memekik kencang ketika melihat siapa yang keluar dari dalam sana. Tubuh Snow mundur satu langkah. Satu tangan memegang mulut, sementara tangan yang satu mengusap d**a. Ini terlalu mengejutkan. Bagaimana bisa ada seorang lelaki di dalam kamar mandi wanita. "Merda!" pekik lelaki di hadapan Snow. Dia tampak sama terkejutnya. "What's going on?" "Ini kamar mandi wanita," jawab Snow. Lelaki itu langsung membelalakkan mata. Kepalanya menoleh dari kiri ke kanan, dan barulah dia sadar kalau ucapan Snow memang benar. "Oh, maaf. Tadi saya buru-buru," ucap lelaki itu dengan raut bersalah sekaligus malu. "Pantesan nggak ada urinoir." Snow meringis. Dia masih mengamati lelaki yang terlihat sedikit panik dan salah tingkah. Setelah lewat dua detik kemudian, barulah Snow sadar kalau dia sepertinya tahu siapa lelaki itu. "Maaf sekali lagi," ucapnya. Snow mengangguk. "Raffaele?" tanyanya kemudian. Ekspresi yang semula berantakan, kini berubah tercengang. Lelaki bermata hazel itu lantas menatap dalam ke arah Snow. Alisnya sedikit berkerut. Mulut yang terbuka separuh, perlahan mulai menampakkan sebuah senyuman. "Iya," jawabnya dengan lengkungan bibir yang belum juga memudar. Snow ikut melebarkan kedua bibirnya. Tentu Snow tidak mungkin salah menebak. Dia tahu betul lelaki yang sejak masa kuliah dia kagumi. Saat bertatap muka secara langsung seperti ini, Snow akhirnya mengerti kalau Raffa jauh lebih tampan daripada yang dia lihat dari balik layar kaca. Kaos hitam dan celana panjang dengan warna yang sama tampak cocok membalut tubuhnya. Tangan Raffa baru saja menyugar rambutnya yang cokelat. Setelahnya, tangan itu terulur ke depan untuk mengajak Snow berjabat tangan. "Raffaele De Carlo," ucapnya. Tanpa perlu memperkenalkan diri, sebenarnya Snow sudah tahu siapa dia. Seorang solo drummer terkenal asal Italia yang namanya sudah mendunia. Tidak mungkin Snow tidak tahu, karena selama bertahun-tahun, Snow sudah hapal di luar kepala segala sesuatu tentang lelaki satu itu. Snow cukup ragu untuk menerima uluran tangan Raffa. Ada rasa takut jika saja Snow akan dapat membaca pikiran Raffa yang macam-macam. Namun, di sisi lain, bukankah tidak sopan menolak orang yang mengajaknya bersalaman? Jadi, ya sudahlah. Kebimbangan dalam dirinya berusaha Snow tepis jauh. Dia hanya berharap semoga tidak mendengar apapun dari isi kepala Raffa. Sayangnya, di detik yang sama ketika tangan mereka beradu, Snow mendengar dengan jelas sebaris kalimat. 'I'm still loving you, Snow.' O Dio mio. Snow refleks menarik kencang tangannya. Kedua matanya membelalak. Ini tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Snow belum sampai menyebut namanya. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, dan Raffa juga tidak mungkin tahu nama Snow. Apa yang Snow dengar teramat tidak masuk akal. Terutama kalimat tentang ungkapan cinta. Ini mustahil. "Ada yang salah?" Raffa bertanya seraya melihat telapak tangannya. Cukup aneh bagi Raffa ketika Snow melepas jabatan tangannya secara tiba-tiba. "Tangan saya bersih." "Oh, enggak." Snow menggeleng dengan canggung. "Nggak ada." Raffa tersenyum. "Saya keluar dulu. Nice to meet you, ... eeeee maaf siapa namanya?" "Snow." "Ok, nice to meet you, Snow." Snow mengangguk. Selang tak lebih dari tiga detik, Raffa sudah menghilang dari balik pintu. "See? Pasti yang tadi aku denger salah. Barusan dia baru aja tanya siapa nama aku." Snow berbicara sendiri di hadapan cermin. Walau sedikit janggal, tapi Snow memutuskan untuk lebih baik mengabaikan apa yang sempat dia baca dari pikiran Raffa. Snow yakin kalau ini hanya sekedar halusinasi. Mungkin saja Snow terlalu kagum dengan sosok yang dia tatap dengan terlalu dekat. Hati yang terpesona bisa jadi membuatnya berpikir dan mendengar yang tidak-tidak. Hingga pesawat meninggalkan Swiss dan mulai terbang ke Italia, Snow tidak lagi memikirkan tentang Raffa. Memang, ada sedikit rasa senang saat dia bisa bertemu secara langsung dengan idolanya. Namun, hal itu tidak lantas menyita fokus dan perhatian. Snow memilih menyibukkan diri dengan sebuah buku bacaan. Penerbangan kali terbilang nyaman. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, Snow akan mendarat di Roma. Namun, ketika memasuki menit ke tiga puluh, suara berisik mulai terdengar. Sepertinya, ada sesuatu yang terjadi hingga membuat beberapa penumpang memiringkan kepala untuk menatap ke arah depan. Awalnya, Snow memilih tidak peduli. Dia mendapat kursi di sebelah jendela, dan memilih untuk kembali fokus pada lembaran di hadapannya. Namun, kepalanya seketika mendongak begitu mendengar suara salah seorang pramugari. "Adakah dokter atau tenaga medis di sini? Ada salah seorang penumpang yang membutuhkan bantuan." Otak Snow langsung siaga. Matanya memindai seisi pesawat, barangkali ada dokter yang lebih berwenang. Namun, setelah tidak menemukan seorang pun yang mengangkat tangan, Snow lantas berdiri. "Thank God, anda dokter?" tanya pramugari itu kepada Snow. "Bukan. Saya perawat. Saya harap, saya bisa memberikan bantuan." "Pasti. Terimakasih," balasnya seraya menuntun Snow melewati deretan kursi. Snow mengekor wanita berseragam biru muda di hadapannya. Mereka terus berjalan menuju ke bagian depan pesawat. Pramugari itu bilang, penumpang yang dia maksud berada di business class. Setelah melewati sebuah pembatas, Snow bisa melihat beberapa orang berkerumun di sekitar kursi. Snow segera diberi ruang ke arah penumpang yang merupakan seorang lelaki. Ketika bersiap memeriksa, baru Snow sadar kalau seseorang yang ada di hadapannya ternyata adalah... . Raffaele De Carlo.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tergoda Rayuan Mantan

read
24.8K
bc

Istri Tuan Mafia

read
17.6K
bc

Pembalasan Istri Tersakiti

read
8.6K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
4.8K
bc

CINTA ARJUNA

read
14.0K
bc

Ayah Sahabatku

read
26.1K
bc

Dipaksa Menikahi Gadis Kecil

read
22.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook