Ada telepon masuk di ponsel Snow dengan awalan kode +39. Snow langsung berpikir kalau ini adalah rekan kerja dari rumah sakit. Mungkin ada hal mendesak yang berkaitan dengan pekerjaan setelah dua hari Snow absen.
"Ciao." Snow mengangkat telepon tanpa sedikit pun curiga.
"Ciao, Snow."
Oh, shitt! Suara itu. Manusia itu. Makhluk berbahaya itu.
Tubuh Snow mematung dengan ponsel yang masih menempel di telinga. Dulu, Snow selalu mendengar suara ini setiap malam sebelum tidur. Jelas saja Snow hapal sekali siapa orangnya. Dugaannya tidak mungkin salah. Sudah jelas. Sudah pasti. Seratus persen. Seribu persen. Satu juta persen!
"Aku Raffa."
Snow tidak menjawab. Feeling-nya sangat amat tepat. Sempat ada niat untuk langsung mematikan panggilan ini. Namun, pada akhirnya Snow memutuskan untuk mendengarkan terlebih dahulu apa yang akan Raffa ucapkan.
"Bisa kita ketemu?"
"Untuk?" balas Snow.
"Masih banyak hal yang perlu kita obrolin."
"Itu menurutmu," sanggah Snow. "Menurut aku, udah nggak ada lagi yang perlu diobrolin."
"Kirim alamat rumahmu. Aku kesitu sekarang."
"Aku lagi nggak di rumah."
"Share lokasi. Aku kesitu."
Snow mulai mengetatkan giginya karena kesal. Raffa yang sebelumnya menjadi sosok sempurna di mata Snow, kini seketika berubah seratus delapan puluh derajat. Dulu, Raffa adalah sosok idola. Namun, mulai hari ini, kemunculan lelaki itu terasa seperti bencana.
"Raff, apapun yang mau kamu obrolin, udah nggak penting lagi. Kita emang dulu pernah punya cerita, tapi itu udah jadi masa lalu. Sekarang kita udah punya jalan masing-masing. Jadi, tolong berhenti."
"Kenapa harus berhenti kalo aku bisa jalan di samping kamu?"
"Enggak, Raff." Nada suara Snow mulai terdengar frustasi. Kepalanya menunduk dengan tangan menyangga kepala seraya meremas rambut.
"Kenapa enggak?"
"Kamu nggak akan pernah ngerti."
"Makanya kita ketemu dan bikin aku ngerti."
Kedua mata Snow sedikit memerah. Hanya sedikit. Mungkin karena terlalu bimbang, sedih, atau juga karena marah.
"Snow."
Tidak ada jawaban. Snow belum mematikan panggilan, tapi dia juga hanya memutuskan untuk diam.
"Hey. Say something."
Bibir yang masih tertutup rapat, kini semakin Snow bungkam dengan telapak tangan.
"Strawberry."
Hati dan jiwa Snow seperti digempur habis. Pertahanannya telah berhasil dikikis. Apalagi setelah Snow mendengar sebuah panggilan sayang yang dulu Balthazar-nya berikan.
Desir yang semula pelan, kini mulai terasa menyesakkan. Snow tidak sanggup. Dia harus mengakhiri percakapan ini sebelum semuanya semakin jauh.
"Raff, udah ya."
"Enggak, jangan." Suaranya terdengar rendah dan nada permohonannya sangat kentara.
"Maaf."
Setelah mengatakan satu kata itu, Snow langsung memencet tombol merah dan kembali memblokir nomor dengan akhiran 999. Tak sampai disitu, Snow juga lantas mematikan ponselnya.
Sungguh, Snow ingin lari. Ingin pergi. Kalau bisa, Snow bahkan ingin meninggalkan Italia. Memang terdengar berlebihan, tapi demi Tuhan, bagi Snow, Raffa memanglah ancaman terbesarnya.
"Snow," lirih Ava.
Wanita berambut terang itu terus menunduk sambil memeluk lutut. Snow sangat takut. Takut jatuh kepada lelaki itu lagi.
"Raffa?" tanya Ava.
Snow mengiyakan, lalu mengangkat kepala. "Dia tau nomor aku dari mana ya."
"Bukan aku Snow," pungkas Ava seraya mengangkat kedua tangan.
Mata Snow langsung memicing. Ketika Ava bereaksi seperti ini, justru membuat Snow yakin kalau sahabatnya itu adalah pelaku utama.
"Vaaaaa!"
"Sorry."
"Kamu udah bawa aku kabur dari dia, sekarang malah ngelempar aku ke dia lagi. Udah gila kamu, Va," gerutu Snow.
"Abisnya aku pikir ... kalian .... ." Ava melayangkan kalimat tidak lengkap.
"Kita kenapa?"
"Nggak tau ya. Aku ngerasa kalian beda aja."
Sejak Leo meninggalkan Snow, banyak sekali lelaki yang mendekatinya. Mulai dari seorang apoteker yang usianya lebih muda, hingga seorang lelaki pebisnis yang orang tuanya setiap tiga hari sekali menjalani hemodialisa di rumah sakit tempat Snow bekerja.
Di antara sederet lelaki itu, tak ada satu pun yang Snow tanggapi. Bahkan, Snow sama sekali tidak memusingkan mereka semua. Snow seperti menganggap mereka tidak ada. Namun, hanya beberapa menit saja Snow bertemu dengan Raffa, lelaki itu seperti sudah memporak-porandakan hidup Snow yang semula tentram.
"Kamu dulu nggak pernah galau gini dideketin cowok," ucap Ava.
"Ya ngapain aku galauin orang yang aku nggak ada hati ke mereka."
"Berarti kamu masih ada hati sama Raffa?"
Bahu Snow lantas terangkat. Kepalanya menggeleng, pertanda ketidak tahuan. Namun, Snow bisa menilik sendiri kalau di dalam hatinya, posisi Raffa jelas-jelas masih memiliki tahta. Memang tidak bisa disejajarkan dengan Leo. Namun, entah di sudut sebelah mana, Raffa memang memiliki ruang tersendiri.
"Kenapa nggak dicoba jalanin dulu aja sih? Kamu masih muda, Gio juga masih kecil banget, dan -"
"Enggak. Aku mau sendiri aja. Fokus cari duit buat gedein Gio, sekolahin dia, dan buat hidup dia layak," pungkas Snow.
"Snow, masa depan akan selalu jadi misteri. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Saranku, jalani aja dulu."
Snow menggeleng cepat. Ingatan sekitar dua jam yang lalu seketika kembali berputar di kepala Snow. Jika Snow mengizinkan dirinya mengikuti kalimat 'jalani aja dulu', maka sama saja Snow melempar dirinya sendiri untuk terperosok pada lubang yang sama. Sungguh, Snow tidak mau hal seperti tadi terulang lagi.
Sejak menikah, Snow menjadi sedikit muak dengan lelaki lain selain Leo. Dia juga seolah hilang rasa. Namun, seperti yang Ava bilang, Raffa membawa kesan yang berbeda. Segala sesuatu yang ada pada diri Raffa seperti menyihirnya. Atas dasar itulah, Snow memilih jalan untuk lebih baik tidak mengenal Raffa sama sekali.
Asalkan Ava tahu, hanya sekedar mencium aroma tubuh Raffa saja, Snow sudah langsung kehilangan orientasi waktu. Dia seperti terbang menuju kejadian lima tahun lalu ketika mereka melakukan percintaan hebat yang tidak bisa tergantikan oleh siapa pun, termasuk Leo.
Pelukan Raffa juga sama-sama ajaib. Jiwa Snow seperti direnggut paksa. Jika Snow lanjutkan kedekatan itu lebih lama, Snow yakin kalau bukan hanya dirinya saja yang bisa Raffa kuasai. Namun, juga hidupnya.
"Sedalam itu?" tanya Ava.
Snow hanya menatap sendu ke arah sahabatnya, tapi Ava sudah tahu betul kalau Raffa memang meninggalkan bekas yang kentara. Kedekatan mereka adalah kedekatan yang sangat intim walau tanpa pertemuan. Identitas yang anonim membuat Snow seperti tahu sisi Raffa luar dalam. Pun dengan Raffa yang sudah hapal segala sesuatu tentang Snow. Bahkan, hal detail yang biasanya Snow tidak utarakan kepada orang lain.
Tahun demi tahun memang sudah berganti. Antara dirinya dan Raffa sudah berakhir sejak lama. Namun, pertemuan singkat tadi cukup menyadarkan Snow kalau sebenarnya semua tentang mereka belum dan tidak akan pernah berakhir.
Raffa sudah berhasil memenangkan ego Snow dengan menemuinya walau hanya sebentar. And you know what? Seseorang yang berhasil memenangkan ego yang Snow punya adalah dia yang juga bisa memenangkan hatinya juga. Snow yakin, jika sampai Snow memberikan celah sedikit saja, Raffa akan sangat mampu mengubah jalan hidupnya. Jadi, jangan. Jangan sampai.
"Snow," lirih Ava.
Snow mendongak. Begitu kepalanya terangkat, matanya lantas tertuju pada sebuah notifikasi panggilan di akun Ava. Pelakunya, tidak lain tidak bukan adalah Raffa.
"Shitt!" umpat Snow pelan. "Va, aku nggak mau libatin kamu di hubungan ini. Tapi boleh aku minta tolong?"
Ava diam mendengarkan.
"Jangan. Please. Aku bener-bener nggak bisa. Aku udah bahagia sama Gio, dan aku rasa ini udah cukup," lanjut Snow.
Tangan Ava lantas memilih tombol reject. Dia mengembuskan napas panjang, lalu menjawab, "Ok."
"Thanks."
"Iya, tapi boleh aku tanya sesuatu? Dari dulu, kamu selalu nolak orang baru. Dan sekarang, kamu setakut ini waktu Raffa mau deketin kamu lagi. Sebenernya kenapa? Aku nggak pernah nemu jawaban yang masuk akal," papar Ava panjang lebar.
"Aku udah bilang kan, aku nggak mau kenal cowok lagi. Aku mau sendiri aja sama Gio."
"Why?"
"Aku takut, Va. Kamu tau aku dulu secinta apa sama Leo. Dan saat dia pergi, kamu juga tau aku sehancur apa. Apalagi Leo meninggal saat aku masih hamil Gio, dan aku harus membesarkan buah hati kita sendirian. Aku sendirian, Va. Nggak ada Leo sebagai ayahnya. It's not that easy."
Ava mulai mengusap punggung Snow yang mulai bergetar menahan sedu sedan.
"Va, pulih dari keterpurukan itu nggak gampang. Aku berjuang banget sampe bisa ada di titik ini. Dan sekarang, aku bener-bener nggak mau ngalamin hal kayak gini lagi. Aku nggak mau kehilangan orang yang aku sayang, makanya lebih baik aku nggak memiliki siapa pun," lanjut Sow.
"Snow, sorry to say. Tapi kamu nggak bisa sangkut pautin kehilangan Leo dengan menolak kehadiran orang baru," balas Ava penuh kehati-hatian.
"Va, kamu nggak ngerti!" Snow tiba-tiba memekik seraya menepis tangan Ava dan beranjak berdiri.
"Snow."
"I'm done, Va. Kamu nggak akan ngerti karena kamu nggak pernah ngerasain kehilangan Joe seperti aku kehilangan Leo."