Sejak sore itu, Ava tidak lagi berani membahas tentang Raffa. Pun dengan Snow yang memilih untuk sama sekali tidak bercerita. Keduanya sama-sama menganggap bahwa Raffa tidak pernah ada.
Bahkan, setelah keesokan harinya ada seorang paparazi yang mempublikasi foto Snow sedang duduk bersama Raffa di cafe bandara, Ava tetap tidak berani menyinggung hal itu. Memang wajah Snow tidak kentara. Namun, teman dekat Snow pasti tahu kalau itu adalah dirinya. Termasuk, Feyra.
'Setelah bertahun-tahun mengembara, Raffaele De Carlo akhirnya menentukan pilihannya.'
'Putus dari pemain cello, kini Raffa sudah memiliki pengganti.'
'Sang penabuh drum terbaik Eropa tertangkap kamera tengah menggandeng tangan seorang wanita. Siapakah sosok paling beruntung itu?'
Sederet headline di sosial media cukup menggemparkan dunia maya. Tepat ketika baru saja datang dari Jerman, hal pertama yang Feyra tanyakan adalah tentang kebenaran berita dan foto itu. Tentu Snow tidak bisa menyangkal. Tanpa Snow jelaskan, Feyra pasti sudah bisa mengambil kesimpulan kalau wanita yang sedang dibicarakan pengguna internet memanglah dirinya.
Sama halnya dengan Ava, dokter berdarah asli Indonesia itu juga tampak terkejut. Tentu masih ada banyak tanda tanya di benak Feyra tentang kelanjutan cerita Snow dan Raffa yang terkesan mengambang. Namun, setelah melihat ekspresi Ava yang sedikit mengancam, Feyra lantas paham. Feyra bisa tahu kalau Snow tidak ingin membahas masalah satu itu.
Hingga larut malam, ketiganya benar-benar tak lagi membawa serta nama Raffa dalam setiap obrolan. Mereka justru lebih terfokus pada undangan ulang tahun anak pertama Feyra yang akan dirayakan di Italia. Thank God, walau sempat ada rasa kaku karena pembahasan mengenai Raffa, tapi pada akhirnya pertemuan mereka bertiga berakhir bahagia dan penuh tawa.
Selaras dengan malam itu, hari-hari Snow setelahnya juga berjalan dengan tenang. Bekerja, bermain bersama Gio, antar jemput ke daycare, dan dua hari sekali mengunjungi kedua orang tua Leo. Semuanya benar-benar berjalan dengan tentram tanpa ada gangguan.
Sempat ada rasa takut jika saja Raffa kembali mencari keberadaan Snow. Namun, beruntung, setelah Snow memblokir nomornya, Raffa tidak melakukan percobaan dengan menghubunginya melalui nomor lain. Snow harap, setelah penolakannya beberapa waktu lalu, Raffa sudah benar-benar menyerah.
"Mama," panggil Gio seraya membawa sebuah kotak hadiah yang sudah dihias pita berwarna merah muda.
"Halo, anak mama. Udah selesai bikin kado buat Janine?" tanya Snow.
"Jane."
"Ok, Jane," balas Snow seraya terkekeh pelan. Gio memang sedikit kesulitan menyebutkan nama anak pertama Feyra. Alih-alih memanggil dengan nama aslinya - Janine Schneider, Gio justru membuat nama baru, yaitu Jane.
"Gio, udah mau berangkat?" Suara seorang wanita tua ikut meramaikan obrolan Snow dan Gio.
"Udah, Nonna."
Nonna, panggilan dari Gio untuk neneknya, Isabella Bianchi.
Malam tadi, Snow dan Gio sengaja menginap di rumah kedua orang tua Leo. Hubungan mereka sangat akrab. Jarak rumah yang dekat juga membuat ikatan di antara mereka semakin lekat. Walau Leo sudah meninggal, tapi Snow tidak akan membuat hubungan Gio dengan kakek neneknya merenggang.
Gio. Giorgio Bianchi. Selamanya, anak semata wayangnya itu akan selalu menyandang nama Bianchi, nama belakang mendiang suaminya, Leonardo Bianchi.
"Nanti hati-hati ya. Cuaca lagi nggak bagus. Udah masuk winter," ucap Isabella seraya menyerahkan sebuah coat kepada Snow.
"Sì. Grazie, Nonna."
"Ini yang ulang tahun tu anak temen kamu yang dokter itu kan?"
Snow mengangguk. "Iya, yang dari Jerman."
"Kok pestanya malah si Napoli?"
Deretan gigi putih milik Snow seketika tampak di balik bibirnya yang melebar. Ini adalah pertanyaan yang sama seperti apa yang dirinya dan Ava tanyakan kepada Feyra.
Perayaan ulang tahun satu ini memang sedikit berbeda. Bagaimana tidak? Warga Jerman itu justru memilih Italia sebagai tempat perayaan pesta.
"Jadi, ulang tahun Jane barengan sama ulang tahun Alessandro. Tanggal lahir mereka sama persis, cuma beda tahun. Jane sekarang udah 6 tahun. Kalo Alessandro masih 5 tahun," terang Snow.
"Siapa lagi itu Alessandro." James Bianchi, ayah Leo ikut menyahut.
Sambil tertawa, Snow lantas menjelaskan kalau Alessandro adalah sepupu Jane. Dua anak kecil itu sangat dekat. Jane sendiri yang memaksa ayah ibunya untuk merayakan pesta ulang tahun bersama Alessandro di Napoli.
"Jadi, Alessandro itu anaknya adik Dokter Feyra?" tanya Isabella.
"Eeemmm lebih tepatnya adik ipar Dokter Feyra. Namanya Sascha Schneider, adiknya Heinrich Schneider."
"Oh, Rich itu dulu kapten kapalnya Leo," sahut James.
"Ya kapten kapal aku juga, Nonno."
"Oh iya juga ya," balas James seraya tergelak.
"Jadi, yang ulang tahun bareng Jane itu anaknya Sascha?" tanya Isabella.
"Iya, yang dulu aku sama Ava datang ke nikahannya itu," jawab Snow.
"Yang suaminya orang Italia itu?" tanya James.
"Iya, Nonno."
"Elio De Luca?" Isabella ikut bertanya memastikan.
Snow mengangguk. "Iya. Alessandro itu anaknya Elio."
"Oh, I see," sahut Isabella dan James hampir bersamaan.
Bibir Snow melebar. Akhirnya selesai sudah penjabaran silsilah keluarga yang cukup rumit ini.
"Ya udah, hati-hati ya kesayangan Nonna," ucap Isabella seraya memeluk Snow dan Gio.
"Have fun," Kali ini giliran James yang bicara.
Snow mengangguk seraya beranjak berdiri dan membawa dua buah tas. Sebentar lagi, Ava akan datang menjemputnya.
Perjalanan darat dari Roma akan memakan waktu sekitar dua jam. Jadi, mereka akan tiba di Napoli seputaran pukul satu siang. Artinya, tiga jam lebih awal dari pesta yang akan terselenggara pukul empat.
Sebenarnya, kedatangan mereka akan terlalu cepat. Namun, tak apa. Feyra dan Sascha memang mengundang mereka untuk datang sebelum para tamu lain hadir.
***
Napoli hari ini cukup cerah. Walau masih terasa dingin, tapi pemandangan alam sedikit mampu memberikan penghiburan kepada Raffa yang sedang tidak baik-baik saja.
Setelah beberapa hari Snow menegaskan kalau hubungan mereka berakhir, Raffa menjadi seperti hampir gila. Ingin kembali menuruti kata hati untuk bergerak mendekati Snow lagi. Sialnya, keberuntungan sedang tidak memihak ke arah Raffa.
Lelaki itu memang sudah menemukan rumah sakit tempat Snow bekerja. Rencananya, Raffa ingin menemuinya dengan menunggu Snow di seputaran pintu keluar parkiran mobil karyawan. Namun, sial. Sejak beredarnya foto mereka berdua saat di bandara, hidup Raffa seketika berubah tidak tenang. Paparazi ada dimana-mana.
Raffa yakin, Snow tidak akan nyaman dengan semua berita ini. Alhasil, Raffa harus menekan ego untuk tidak terlebih dahulu menemui Snow. Dia akan diam hingga keadaan aman. Yaaa... walau hatinya sendiri yang kini berubah tidak aman.
Pergi berlibur ke beberapa pantai di daerah Bari sudah Raffa lakukan. Setelah selesai tour, Raffa memang sengaja mengambil satu bulan libur. Sialnya, pemandangan pantai tidak juga mampu memperbaiki suasana hati Raffa.
Hampir satu minggu sudah, dia tampak uring-uringan. Daripada semakin tidak waras, Raffa akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya di Napoli. Semoga saja Andrea De Carlo dan Lexie Harlow tidak membuat suasana hatinya semakin buruk.
"Nah, pas banget kamu kesini. Anterin Papa ke rumah Elio sekarang," ucap Andrea ketika Raffa baru saja memarkirkan mobilnya.
"Elio De Luca?"
"Iya."
"Ngapain?" Raffa tampak enggan dan justru mematikan mesin mobilnya.
"Ayo, buruan. Urgent. Mobil Papa soalnya Papa tinggal di sana."
"Lah! Gimana ceritanya," balas Raffa seraya menyerahkan kunci mobil. "Papa nyetir sendiri aja."
"Kan Papa ntar bawa mobil sendiri."
Walau sangat malas, tapi pada akhirnya Raffa menurut. Setelah terlebih dahulu memeluk dan mencium Lexie, Raffa lantas kembali ke kursi kemudi.
"Ada kerjaan di sana?" tanya Raffa ketika melihat ayahnya membawa beberapa kotak alat.
"Iya."
Keluarga mereka memang berdarah seni. Andrea adalah seorang pekerja seni rupa yang dulu dipercaya oleh keluarga De Luca untuk membuat beberapa patung dan hiasan di mansion megah milik mereka.
Rumah Elio memiliki beberapa karakter Dewa Matahari berupa patung dan lukisan tiga dimensi. Semua itu adalah hasil karya tangan Andrea. Sesekali, istrinya, Lexie juga terlibat. Mereka adalah sepasang suami istri yang memang menggeluti bidang yang sama. Lucunya, Raffa justru memilih terjun di dunia seni musik.
"Patung yang kemarin jatuh, Raff. Udah hancur yang bener-bener hancur," ucap Andrea.
"Ulah Alessandro?" tebak Raffa.
Andrea langsung tertawa seraya mengiyakan.
Ini bukan kejadian yang pertama. Raffa sudah tahu kalau Alessandro memang cukup unik. Anak kecil itu sudah menggeluti beberapa olah raga bela diri, berkuda, dan juga suka memanah. Ada saja tingkahnya, mulai dari membuat target panah berupa orang-orangan di belakang rumah, hingga beraksi bersama patung-patung di rumahnya bak aktor yang sedang syuting film laga.
"Ini Papa abis bikin patung baru lagi?" tanya Raffa.
"Enggak. Yang ada ntar bakalan hancur lagi. Elio cuma minta ganti pakai lukisan tiga dimensi."
"Belum selesai?"
"Udah, tinggal poles, tapi ini alatnya ketinggalan," jawab Andrea. "Tadi Papa dianter Nathan. Sekarang Nathan lagi Papa suruh beli cat. Daripada nunggu dia lama, mending sama kamu. Ntar Nathan biar nyusul ke rumah Elio langsung."
Raffa hanya manggut-manggut. Andrea tampak buru-buru sekali karena ternyata proyeknya harus selesai dalam satu jam. Sore nanti, pesta ulang tahun Alessandro akan dilangsungkan.
Walau sedang malas bertemu dengan orang, tapi setibanya di rumah Elio, Raffa tetap berkenan turun. Dia memeluk singkat tubuh Donna, ibu kandung Elio, yang merupakan teman baik Andrea, lalu segera ikut masuk menemui Elio dan Sascha.
Napas panjang Raffa buang begitu masuk ke mansion megah di hadapannya. Malas sekali rasanya. Sudah ramai orang di dalam sana yang Raffa pikir adalah keluarga Elio dari Milan dan keluarga Sascha dari Jerman.
"Raff, tumben nongol," sapa Elio yang baru saja mengobrol dengan Andrea.
"Ciao, El."
Mereka berdua lantas bertukar kabar. Jujur saja, walau sudah saling mengenal sejak lama, tapi keduanya sangat jarang bertemu. Elio sibuk dengan urusan perusahaan, sementara Raffa sibuk menggeluti dunia hiburan.
"Tangan ayah kamu ajaib, Raff," puji Elio.
Raffa mengangguk setuju. Karya seni di hadapannya memang luar biasa. Tidak semua orang bisa membuat sebuah karakter yang tampak bernyawa dan penuh aura magis.
Beberapa menit sudah Raffa menatap lekat Dewa Matahari di hadapannya. Cukup hanyut dengan Sang Dewa, hingga Raffa seperti melihat sosok Dewi cantik yang berada di sisi kiri dinding. Posisinya cukup jauh. Sang Dewi itu sedang tertawa sambil berlari kecil menuju taman belakang.
"Holy shitt!" lirih Raffa tanpa sedikit pun berkedip.
Susah payah Raffa menahan diri untuk tidak menemuinya untuk sementara, tapi wanita itu kini justru muncul dengan sendirinya. Diam-diam Raffa berterimakasih kepada Andrea karena telah memaksanya ikut kesini. Berkah anak yang berbakti kepada orang tua memang nyata adanya.
Sungguh, Raffa tidak hentinya melihat wanita bergaun putih dengan tawa yang sangat manis. Dia merasa seperti ada di sebuah istana surga. Ciptaan Tuhan di hadapannya itu sangat indah. Terlalu indah.
"Raff, kalo mau pulang dulu nggak papa. Nanti Papa pulang sama Nathan," ucap Andrea.
"Non. Aku suka di sini."
Suka. Sangat suka. Sampai-sampai, rasanya tidak mau kemana-mana.