Laura yang masih percaya diri dan tidak takut karena ancaman Dominus melangkahkan kakinya dengan begitu ringan ke dalam gerbang Hario's High School. Dagunya mendongak dengan begitu sombong. Mumpung masih anak baru dan banyak diperhatikan, Laura memanfaatkan situasi dan membayangkan jika dirinya benar-benar artis yang masuk ke sekolah milik rakyat kecil.
Sialan. Padahal kenyataannya Laura terlihat seperti rakyat kecil sekarang. Semua anak Hario's membicarakan dirinya. Berita tentang dirinya diseret Dharma dan hari ini menjadi hari pertamanya di-bully sudah menyebar luas.
Bahkan ketika dirinya masuk ke dalam kelas, Selly sudah duduk bersama siswi lain. Mejanya kosong menjadikan dirinya duduk sendirian. Ah, ketua OSIS dan anak pemilik sekolah yang sangat berpengaruh. Mereka benar-benar membuat Laura kesal setengah hidup sekarang.
Eh, tidak papa. Laura tetap tersenyum, apalagi ketika menatap Liam yang belum datang. Gadis itu dengan pedenya malah ingin berjalan ke meja Liam sambil membawa tasnya. Sayangnya, langkah Laura terhenti karena Arta si ketua kelas mencegahnya dengan wajah galak. Jadilah, Laura tetap duduk di mejanya kemarin dengan keadaan sendirian.
Wajahnya tersenyum manis begitu mendapati Liam masuk ke dalam kelas. Dengan riang dia berniat menghampiri Liam, namun tubuhnya mendadak tidak bisa lepas dari kursi kayunya.
Dia panik sendiri, apalagi saat menatap teman-temannya meminta penjelasan tentang kursinya. Tidak ada yang menatapnya, mereka pura-pura tidak tahu, tak terkecuali juga Selly. Meski Laura sempat memergoki Selly menatapnya khawatir, namun gadis itu langsung berbalik begitu matanya bertemu dengan milik Laura.
"Anjir emang, ini kalau gue paksa pasti robek roknya," gerutu Laura. Oh tapi gadis itu tidak masalah. Malah dengan kencangnya dia berdiri dan menimbulkan bunyi robekan yang cukup nyaring. Buktinya seluruh penghuni kelas menatapnya terkejut.
"Apaan lihatin gue kaya gitu?!" tanyanya galak. Mereka pun buru-buru kembali fokus pada kegiatan mereka, sedangkan Laura mengumpat sambil menatap potongan rok seragamnya menempel di kursi.
Matanya melirik ke pojok kelas di mana Liam duduk sambil menutup telinganya dengan earphone. Dengan berjalan seperti kepiting dan kedua tangan mencoba menutupi lubang di roknya, Laura mendekati Liam.
"Liam ... pinjem jaket dong!"
Sayangnya, Liam memilih memejamkan mata. Laki-laki itu bahkan terlihat memperbesar volume lagu yang diputarnya.
Laura mendengus. Apalagi ketika ada yang mencuri-curi lirik kearahnya. Dia jadi bertambah sebal.
"Apa?! Sok-sokan lihatin gue, tapi nggak mau bantu. Cih, nggak guna!"
Wajah sebal Laura seketika berubah begitu tangan Liam mengulurkan jaket miliknya, walaupun matanya terpejam dan telinganya tersumpal earphone. Laura tetap menerimanya dengan senyum dan mengucapkan terima kasih.
Jika ada penobatan wanita paling bodoh, pasti Laura juaranya. Gadis itu bahkan tersenyum lebar dan bangga karena Liam mulai merespons dirinya. Bahkan dia beranggapan bahwa Liam perhatian kepadanya.
*•*•*•*•*•*
Niat Laura pada istirahat pertama adalah membeli rok baru di koperasi. Gadis berambut kucir kuda itu sudah berjalan dengan begitu santai, mengabaikan kusak-kusuk atau bahkan kedatangan tiba-tiba dari para Dominus.
Laura memasuki koperasi, senyumnya yang merekah seketika luntur begitu mendapati Gama berdiri di balik etalase. Mampus rasanya, laki-laki itu biang kerok rok sobeknya dan sekarang menjadi penjual rok barunya?
"Waw, ada malaikat penolong?" tanya Gama dengan senyum miring.
Gama sebenarnya ganteng kok, asal dia nggak kaya iblis aja. Sayang, Laura terlanjur sukanya sama Liam.
"Beli rok satu ukuran M." Laura memilih menyebutkan keperluannya daripada menanggapi ucapan Gama.
Sudut bibir Gama tertarik sebelah karena Laura yang tidak menunjukan wajah takut atau malunya. "Lo nggak tahu? Lo nggak boleh beli rok baru saat gue jaga koperasi."
Laura berdecak. Matanya menatap sudut-sudut ruangan yang sialnya tidak ada CCTV.
"Gue bawa uang, nggak ngutang. Rok gue sobek gara-gara lo sama geng nggak jelas lo."
"Gue tahu." Gama menyeringai. "Tapi gue nggak peduli. Betah-betahin aja rok sobek lo itu."
"Bangs*t!" maki Laura membuat Gama terbelalak kaget. Dia kira gadis pendek di depannya ini tidak akan mampu mengumpat atau berkata kasar.
"Lo ngehina gue?"
"Iya!"
"Mau roknya?" tawar Gama dengan tawa geli.
Laura jelas mengangguk dengan gaya sok angkuh dan wajah yang mendongak tinggi.
"Asal lo jahuin Liam, gue kasih."
Wajah angkuh Laura seketika berubah kesal. "Liam mulu, lo iri sama kegantengan dia huh?!"
Gama berdecak, laki-laki itu memutari etalase hingga berdiri di depan Laura. "Gue iri sama Liam? Pembunuh nggak patut diiriin."
*•*•*•*•*•*•*
Laura akhirnya memilih meninggalkan ruang koperasi tanpa mendapatkan rok baru. Dia malas sekali harus berhadapan dengan Gama yang tingkahnya menyebalkan. Benar-benar kejam seperti iblis. Harusnya dia merasa simpati sedikit saja dengan Laura. Apalagi Laura 'kan perempuan, masa iya perempuan pake rok yang bolong?
Kaki Laura pun berbelok menuju UKS yang kemarin sempat Selly tunjukan kepadanya. Dulu di sekolah lama Laura ada baju ganti di lemari UKS, jadi dia berharap ada rok yang pas untuk dirinya.
Laura pun memasuki UKS yang sepi, gadis itu mulai membuka satu lemari besar yang terlihat untuk menyimpan baju dan selimut. Matanya terbelalak begitu menemukan setumpuk seragam yang masih terlihat bagus, mana wangi lagi.
Segera saja Laura mengambil rok-rok itu dan mencocokkan dengan ukurannya. Sepertinya hari sial memang jatuh kepadanya, rok-rok itu pinggangnya terlalu besar, mana dia tidak memakai ikat pinggang.
Laura pun mendengus mengambil satu-satunya rok yang tersisa. Pekikan terdengar begitu dia menemukan ukuran M di sisi rok itu. Tentu saja dia segera mencobanya. Namun, begitu terpasang, Laura mengumpat.
Sepertinya pemilik rok sebelumnya sudah mengubah ukuran panjang rok ini. Buktinya aturan lima sampai sepuluh senti di atas lutut menjadi lima belas senti di atas lutut. Kalau begini jadinya ajang pamer paha!
Ketika tangannya berniat ingin melepas rok itu, Laura terdiam karena onggokan rok bolongnya yang kini tampak mengenaskan di bawah kakinya. Gadis itu mengurungkan niat melepas rok yang kini dipakainya dan memilih kembali merapikan lemari. Tangannya mengambil jaket dari Liam dan meningkatkan di pinggang untuk menutupi pahanya. Setelah selesai, Laura pun berbalik menuju ke kelasnya karena bel istirahat habis baru saja berbunyi.
*•*•*•*•*•*
Pulang sekolah seperti biasa Laura tetap menghampiri Liam. Suasana kelas yang sepi membuat gadis itu dengan tenang menghampiri Liam. Kali ini laki-laki itu sibuk memasukan buku ke dalam tas, wajahnya yang putih dan masih terlihat segar membuat tangan Laura ingin mengusapnya.
"Liam, gue mau balikin jaket."
Liam melirik dirinya sebentar, kemudian menatap jaket yang Laura ulurkan.
"Gue dapet rok dari UKS, kekecilan sih, tapi nggak papa. Soalnya rok cadangan gue di rumah."
Laura menjelaskan dengan senyum canggung, tangan gadis itu bahkan berusaha menurunkan roknya yang dirasa terlalu pendek.
"Makasih, ya, jaketnya. Ini lo pakek aja nggak papa," ucap Laura masih dengan mengulurkan jaket itu. Sedangkan Liam memilih menutup resleting tasnya, kemudian meninggalkan Laura tanpa mengambil jaketnya.
Laura lantas mengejar Liam. Gadis itu bahkan berteriak mencoba mengembalikan jaket Liam. Napasnya memburu begitu dia sampai di depan motor Liam.
"Jaket lo, ish!" Laura mengulurkannya dengan kesal.
Lagi-lagi Liam menatapnya dari atas hingga bawah membuat tangannya refleks menarik sedikit ujung roknya.
"Buat lo," ucap Liam cuek setelah itu dia memakai helmnya tanpa berkata apa pun lagi. Wajahnya menatap datar pada Laura yang masih berdiri di depan motor Liam. Begitu sadar, Laura segera bergeser dan untuk ketiga kalinya Liam meninggalkan Laura di parkiran. Namun, kali ini gadis itu tersenyum girang karena Liam berbicara kepadanya.
"OMG! Bisa-bisanya gue syok dan nggak nyahut saat dia ngomong!"
*•*•*•*•*•*