**2 itu Loro**

1029 Words
Semua menjadi gelap bagi Reres. Kini ia duduk di ruang tengah belum melepaskan kebaya yang ia kenakan sejak pagi tadi sampai siang ini saat kedua jasad orang tuanya tekah terbaring, tertutup kain jarik lusuh milik almarhum Mbok Mar. Juna, Luna dan Leon masih berada di sini. Sejak tadi Reina bahkan duduk di samping Reres menjadi tempat bersandar bagi gadis yang tak bisa berhenti menangis. Reina ingat saat dulu sang ayah meninggal dunia secara tiba-tiba ia hancur, hatinya sakit sekali. Namun, apa yang terjadi pada reres berbeda. Ia bahkan tak tau apa masih bisa bertahan jika berada di posisi Reres saat ini. Wanita yang kini berusia setengah abad itu membelai lembut kepala Reres, mengusap air mata yang tak berhenti menetes. "Ganti baju dulu yuk, Nak."' Reina meminta Reres mengganti pakaiannya. Gadis itu menggeleng. "Kemarin malam ibu bilang ingin foto sama Reres Mi. mau lihat Reres jadi sarjana, sekarang malah pergi berdua Ayah. Terus reres sama siapa nanti?" Reina tak kalah sedihnya sebagai seorang ibu ada luka yang juga ia rasa melihat Reres saat ini. Apalagi ia mengenal gadis itu sejak ia berusia empat tahun. Sejak dulu Reres cengeng dan mudah sakit, selalu diganggu sang kakak tapi, Reres gadis penurut juga anak yang selalu bisa membuat Nina dan Toto tertawa dengan polahnya. "Reres nanti tinggal sama mami ya." Reres menggeleng. "Res udah banyak nyusahin mami." "Ibu sama ayah pasti lebih tenang kalau kamu tinggal sama mami." Tak ada sanak saudara di Jakarta. Hanya kakak yang entah sekarang ada di mana. Bagus suka berjudi dan mabuk terkahir kali dua tahun lalu ia kabur setelah berhutang lebih dari dua puluh juta. Lalu, Reina yang membantu Nina melunasi hutang-hutang Bagus. Seorang ibu menghampiri Reina dan Reres. "Udah sore Neng, di solatin sekarang aja ya?" Reina mengangguk, sementara Reres memeluk Reina. Ia semakin sedih mengetahui jika sebentar lagi akan berpisah dengan kedua orang tuanya, tak akan bisa lagi menyentuh, memeluk atau bercanda bersama sang ayah dan ibu. Yang paling menyakitkan adalah keinginan terakhir sang ibu yang bahkan tak bisa ia kabulkan. Ingin berfoto bersama anak bungsunya yang sarjana. Leon menatap dari luar melihat Reres yang sejak tadi terus saja menangis. Ia lalu menatap Juna. "Terus nanti Reres sama siapa mas? Si Bagus aja enggak tau dimana sekarang. Lagian Yon enggak rela kalau Reres tinggal sama Bagus. Bisa-bisa dijual nanti biar bisa judi," kesal Leon. "Mami pasti minta Reres tinggal di rumah. Mami enggak mungkin diam, apalagi Mas tau mami sayang banget sama Reres." Juna menjawab tak kalah ibanya. Sahabatnya sejak kecil kini telah menjadi yatim piatu. Juna kehilangan sosok ibu sejak ia berusia empat tahun. Ia telah lupa rasanya, meski kadang terasa perih juga karena ingat tak lagi bersama sang bunda. Ia beruntung bertemu sosok Reina dalam kehidupannya. Seseorang yang membesarkannya dengan penuh perhatian, mengajarkan tanggung jawab dan banyak hal. Yang paling Juna ingat adalah pesan Reina untuk terus berbuat baik. Jangan menyesal berbuat baik ya Jun. Terkadang yang kamu dapat hanya kecewa. Tapi, kebaikan buahnya manis sekali nanti. Setelah disolatkan keduanya segera di makamkan tak jauh dari rumah. Kini Yogi telah ada di sana menemani sang istri. Berdiri di belakang Reres yang bersimpuh di pusara. Satu makan dengan dua jasad di dalamnya. Dipersatukan bahkan setelah kematian. Satu persatu pergi meninggalkan tempat setelah semua prosesi di akhiri. Hari kelabu saat itu mendung namun tak juga hujan. Hari dimana Reres telah mengabulkan harapan Nina dan Toto; hari dimana ia juga kehilangan keduanya. Juna mendekati Reina, Luna dan Yogi meminta kedua orang tuanya masuk ke dalam mobil. Ia takut jika hujan turun tiba-tiba. Juna berjanji akan membawa Reres ke rumah malam ini. Leon dan Juna yang tersisa di samping gadis yang seolah enggan berpijak dari tanah merah yang bahkan telah membuat pakaiannya kotor penuh tanah. Leon kini di samping Reres menyamakan tubuhnya, memberikan botol air mineral yang ia pegang. "Minum nih, minum dulu ya Res." Leon membukakan botol untuk gadis itu. Reres menerima dan meneguknya. "Kalian pulang gih." "Kita di sini kalau Lo masih di sini," tegas Juna. "Gue—masih mau di sini." "Mau hari ini, besok atau lusa mereka akan tetap ada di sana Res. Lo cuma bisa kirim salam dan rindu lewat doa." Lagu Juna berujar ketus, hingga Leon hadiahi sebuah pukulan di kaki sang kakak. Juna paling mengerti cara menghadapi sahabatnya itu. Kadang ia harus di sadarkan dengan tegas dan menyakitkan. Bukan Juna kejam, Juna hanya terlalu mengerti cara menghadapi Reres. Reres melirik kesal pada Juna. Ia tau itu, bahwa tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dan sampaikan salam rindu pada Tuhan hanya saja. Ia masih tak rela lepas kedua ayah dan ibunya. "Udah mau hujan, yuk Res. Lo butuh istirahat. Seharian ini pasti berat banget." Leon bertutur lembut penuh perhatian. Leon si jahil, pemilik mulut pedas itu memang selalu menjadi lembut pada Reres. Juna memegangi tangan Reres. "Ayo bangun Redut-ku." Reres bangun dibantu Juna lalu melirik Juna lagi. "Makasih—" ia lalu menatap Leon. "Leon juga makasih." Leon tersenyum dengan senyum semanis sang ayah. Senyum yang buat mami Reina kesemsem. Leon lalu mengacak rambut Reres. "Sama-sama." Reres memukul tangan Leon. "Gue lebih tua dari Lo ish!" Senyum Leon makin lebar, melihat Reres kesal padanya. "Gue seneng Lo udah bisa marah." Juna hanya tersenyum menyaksikan keduanya. Lalu ketiganya berjalan menuju mobil Juna tang terparkir tak jauh. Di sana juga ada mobil Luna dan Yogi. "Leon sama Kak Luna sana." Usir Juna. "Enggak ah, gue sama mobil Lo aja Mas." Leon menolak sambil menatap Reres yang sejak tadi berjalan sambil menggandeng tangan Juna. "Kesian Luna sendirian Leon. Sana Leon sama Luna ya," pinta Reres lembut segera dijawab anggukan oleh Leon. "Kalau sama Reres nurut sama Mas Juna enggak?" Juna protes sering kali Leon tak menurut pada permintaannya. "Ya, Mas Juna kurang effort aja." Sahut Leon sambil melenggak masuk ke dalam mobil sang kaka perempuan. "Reres ke rumah kan?" Pertanyaan terlontar dari Luna setelah melihat adik laki-lakinya masuk. "Iya." Jawab Leon sambil memasang sabuk pengaman. "Enggak kebayang kalau gue jadi Reres." Luna mengusap bulir air mata di pipinya. Sejak tadi Luna coba tahan tangis. Leon melirik. "Jangan nangis dih Kak!" "Gue sedih." Leon tak peduli ia lalu menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil setelah melihat mobil milik Juna melaju di depannya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD