1.Zahira
Di sinilah Zahira berada, menghabiskan malam di sebuah bar yang tidak terlalu ramai di kota Jakarta. Kejadian beberapa hari ini sungguh membuat gadis berambut segi layer oval ini memutuskan untuk datang ke bar. Suara lenguhan lolos dari bibir tipis gadis itu seperti mewakili kekesalannya pada hari ini.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Iren. Wanita dengan rambut sebahu menatap Zahira.
"Entahlah, aku bingung. Penghasilan dari bakeryku tidak cukup untuk membiayai pengobatan kakek," keluh Zahira.
"Kau hanya perlu bersabar!"
Zahira memutar bola matanya. "Aku sudah cukup sabar menghadapi ini semua!"
Zahira Isvara. Gadis cantik dengan rambut kecoklatan, berkulit putih, bola mata berwarna coklat dengan postur tinggi badan yang semampai. Orang tua Zahira berpisah sejak dia masih di dalam kandungan. Zahira bahkan tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri secara langsung.
Setelah berpisah, Gendhis pulang ke kediaman orang tuanya. Gendhis merupakan ibu kandung Zahira, Gendhis berprofesi sebagai Pramugari di salah satu maskapai kenamaan di Indonesia. Setelah resmi bercerai Gendhis tinggal bersama ayahnya Aryo. Dan adik perempuannya bernama Laras yang pada saat itu masih berumur 15 tahun.
Setelah lahir Zahira dirawat oleh Laras dan Aryo karena Gendhis yang harus kembali bekerja menjadi Pramugari setelah beberapa bulan meminta cuti. Zahira hanya bertemu Gendhis satu tahun hanya dua atau tiga kali karena jadwal Pramugari yang sangat padat.
Hal itu membuat Zahira lebih akrab dengan bibinya sendiri daripada dengan ibu kandungnya, hingga Zahira yang seharusnya memanggil Laras dengan sebutan bibi malah memanggil ibu. Dan Zahira memanggil Gendhis ibu kandungnya dengan sebutan mama. Di saat Zahira berumur empat tahun. Hal tak terduga terjadi, ia ditinggalkan oleh ibu kandungnya. Gendhis mengalami kecelakaan pesawat. Pada saat itu pesawat yang ditumpangi hilang kontak dan jatuh di laut. Dan itu membuat seluruh penumpang serta awak kabin tewas.
Kehidupan Zahira berubah drastis setelah ditinggalkan oleh Gendhis. Yang Zahira inginkan adalah kebahagiaan dan ketenangan. Tetapi Laras, orang yang selama ini ia panggil ibu tidak memperlakukan Zahira dengan baik. Berkali-kali Zahira sering disakiti, dikasari, bahkan sampai di pukuli. Zahira kecil hanya bisa menangis dan menangis, hanya itu yang bisa Zahira lakukan. Saat ini Zahira berumur 21 tahun.
Iren menatap Zahira dengan sendu. Ia bingung harus membantu apalagi kepada sahabatnya itu.
"By the way, apa tante Laras itu masih menjadi sugar baby?"
"Zahira menatap Iren sejenak kemudian menghela nafas. "Dia bahkan sudah menikah siri dengan sugar daddy-nya itu."
Iren membelalakkan matanya. "Apaaa?!"
Zahira berdecak kesal. "Ren, please deh!"
Iren hanya nyengir dan mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Apa istri dari sugar daddy-nya itu diam saja ketika tahu suaminya menikah siri dengan wanita lain?" tanya Iren.
"Istrinya bahkan sudah pernah melabrak ibu empat kali. Tapi tetap saja beliau bergeming. Uang yang dia dapatkan dari sugar daddy juga buat foya-foya bersama teman-temannya sendiri," jelas Zahira.
"Kau tahu siapa nama sugar daddy-nya?"
Zahira menggelengkan kepalanya. "Aku tak tahu."
Tiba-tiba bunyi ponsel Iren berdering, dengan segera Iren mengangkatnya. "Baiklah kalau begitu," ucap Iren pada seseorang dan memutuskan panggilan dari ponselnya.
"Aku harus pergi, kita bertemu lagi besok ada hal yang harus aku urus. Kau jangan pulang malam-malam!"
Zahira menghela nafas kasar dan mengangguk mempersilahkan Iren pergi.
Kemudian Zahira berdiri dan duduk ke kursi yang ada di meja bartender.
"Tequila," ucap Zahira.
"Berapa gelas?"
"Satu gelas aja."
Bartender itu tertawa kecil. "Sendirian aja?"
"Seperti yang kau lihat."
Bartender memberikan minumannya ke Zahira sambil berdecak. "Kau seperti punya banyak sekali masalah!" ucap bartender menebak.
Zahira tersenyum tipis sambil menyesap minumannya. "Aku bingung, kakekku masuk rumah sakit dan membutuhkan biaya yang besar. Dan penghasilan bakeryku tidak cukup untuk membiayai pengobatan kakek," jelas Zahira.
"Kakek Aryo sakit?"
Zahira menganggukkan kepalanya pelan.
"Kenapa?" tanya Zahira ke bartender kenalannya yang bernama Dante karena sedari tadi menatapnya.
Dante mengernyitkan dahi nya. "Apa kau benar-benar butuh uang?"
"Apa kau bisa membantuku untuk mendapatkan uang? Aku benar-benar membutuhkannya saat ini!"
"Memangnya kau butuh uang berapa?" tanya Dante.
"Sekitar dua ratus juta."
Dante sontak terkejut. "Aku mana punya uang sebanyak itu. Aku bisa meminjamimu uang tapi tidak banyak."
"Tapi jika memang kau benar-benar butuh uang aku akan berusaha membantumu!" ucap Dante.
***
Derap langkah terdengar begitu nyaring di sepinya malam. Gadis cantik berambut segi layer oval itu berlari kecil di sebuah koridor rumah sakit dan berhenti pada ruangan ICU.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Zahira sambil memejamkan matanya dan bersandar pada dinding dekat pintu ICU.
Tak lama dokter pun keluar dari ruangan ICU tersebut. Suasana tiba-tiba terasa dingin.
"Bagaimana keadaan kakek saya dok?" tanya Zahira.
Dokter menghela nafas kemudian menatap Zahira sendu.
"Keadaannya sekarang kritis dan harus mendapatkan perawatan yang intensif."
"Berikan yang terbaik untuk kakek saya dok!"
"Tentu, anda tidak perlu khawatir kami para dokter dan perawat akan melakukan yang terbaik untuk pasien."
Tentu saja Zahira sedih. Dari kecil ia dirawat oleh kakeknya. Zahira tidak mau Aryo meninggalkannya. Ia akan melakukan berbagai cara agar kakeknya sembuh.
Setelah dokter berlalu meninggalkan Zahira dengan segala ketakutannya, ia sudah tidak tahan lagi menahan tangisnya. Tangis Zahira pun pecah begitu saja. Air mata terus mengalir dengan deras membasahi pipinya. Dalam situasi seperti ini Zahira tidak bisa melakukan apa-apa.
Setelah dirasa cukup tenang, Zahira melangkahkan kakinya ke sebuah taman yang berada di rumah sakit. Zahira duduk di sebuah bangku taman berwarna putih. Taman di rumah sakit ini terasa sejuk dengan beberapa pepohonan dan tanaman yang tidak begitu tinggi. Setidaknya dapat membuat hati Zahira tenang saat ini.
Zahira merenung sejenak. Berfikir kapan takdir akan memihak nya. Dari kecil dia tidak pernah hidup dengan tenang dan bahagia.
Zahira memutuskan kembali ke apartemennya. Zahira terdiam di atas ranjang kecil apartemen miliknya sambil menatap langit-langit kamar, pikirannya menerawang entah kemana. Setelah lulus dari salah satu sekolah menengah atas di Jakarta, Zahira memutuskan untuk bekerja. Ia menjadi barista di sebuah cafe. Laras mengatakan kalau Zahira harus mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Maka dari itu Zahira tinggal sendiri di apartemen yang tidak terlalu mewah. Ia tahu sebenarnya Laras mengusirnya secara halus.
Sudah tiga tahun lamanya Zahira menjadi barista, dan sekarang kontrak kerjanya sudah habis. Dan tabungan selama ia bekerja digunakan untuk membuka bakery. Karena baru beberapa bulan membuka bakery uang yang Zahira dapatkan belum begitu banyak, tabungan yang ia punya juga belum cukup untuk membiayai pengobatan Aryo yang sakit jantung.
"Aku harus bagaimana?" gumam Zahira setelah duduk di ranjang apartemennya.