6.Brownies

1272 Words
Sore hari, saat dimana kita semua melepas penat setelah lelah beraktifitas seharian. Sore hari yang juga merupakan dimana kondisi terang menjadi gelap, senja yang terangkai lewat warna jingga di ufuk barat. Senja memang tak selalu indah di lihat, bahkan terkadang senja berwarna hitam pekat dan menyeramkan. Tapi indah maupun suramnya senja, langit akan selalu menerima dengan tulus, bagaimanapun itu rupa sang senja. Rafael menjalankan mobilnya dengan pelan. Klakson bersahutan memekakkan telinga Rafael. Rafael menengok ke kanan dan kiri membuang sedikit kesal. Jalanan sudah sangat padat, tidak ada celah untuk menerobos kemacetan. Rafael tersenyum hampa, pikirannya berkecamuk tidak paham akan perasaannya sendiri. Beberapa bulan lagi pernikahan sudah ada di depan mata. Tapi ia tidak merasakan bahagia. Rafael ragu apakah Jelena orang yang tepat dengannya menemani hingga masa tua nanti. Tiba-tiba dari kejauhan ada seseorang yang menarik perhatian Rafael. Tidak begitu jelas, namun Rafael yakin pernah melihat orang itu. Postur tubuh yang tidak terlalu tinggi dengan dress selutut dan rambut curlynya. Rafael bertanya-tanya apa yang dilakukan wanita itu sambil menenteng kotak makanan. Ada beberapa anak-anak jalanan yang mengikutinya di belakang. Tak lama kemudian mereka berhenti dan duduk di dekat taman jalan yang terdapat bangku berwarna putih dan panjang. Mata Rafael terus melihat gerak-gerik wanita itu sampai terlihat wajah yang sangat ia kenali. Rafael tersenyum samar. Dengan segera ia mencari celah memarkirkan mobilnya di taman tersebut. Dengan segera Rafael keluar dari mobilnya dan menghampiri wanita itu. "Zahira!" panggil Rafael. Zahira menoleh ke sumber suara dan melonjak terkejut. Rafael tepat di belakangnya. "Rafael?" "Kau sedang apa disini?" tanya Rafael tersenyum ramah. "Wah, itu pacar kak Zahira ya?" celetuk salah satu anak jalanan. "Bukan-bukan ini teman kakak," sanggah Zahira. "Teman kakak?" Zahira tersenyum hangat. "Anak-anak kenalin, ini namanya kak Rafael. Dia itu teman kakak." "Hai, kak Rafael!" sapa mereka serentak. Rafael tersenyum tulus. "Hai!" "Ayo kumpul sini. Panggil yang lain juga!" pinta Zahira. Tak lama Zahira pun mengeluarkan kotak besar berisi makanan. Kemudian membuka kotak tersebut yang berisi beberapa brownies keju dan coklat. Dengan telaten Zahira membagikan browniesnya satu persatu. Zahira mendekati Rafael. Tangannya menyodorkan beberapa brownies. "Ayo Raf, dimakan," tawar Zahira. Akhirnya Rafael mengambil satu brownies itu dan melahapnya. "Gimana kak enak nggak kue buatan kak Zahira?" tanya salah satu anak jalanan. "Mau nambah?" Kembali Zahira menyodorkan browniesnya. "Tidak, terima kasih," tolaknya. Padahal dalam hati ia ingin menambah brownies coklat. Sungguh Rafael yang tidak menyukai brownies rasa coklat ingin memakannya lagi. Dan apa kata anak jalanan tadi. Ini buatan Zahira? Zahira melihat wajah kebingungan Rafael. Kemudian Zahira mengajak Rafael duduk di rerumputan. "Aku sedang bagi-bagi brownies buat para anak-anak itu," ucap Zahira tersenyum. Seketika hati Rafael berdesir melihat ketulusan Zahira. "Padahal mereka cuman aku kasih brownies tapi mereka terlihat bahagia banget." "Memang ya sekecil apapun itu harus kita syukuri," ucapnya lagi. Rafael merasa bersalah, ia sudah diberi kehidupan yang cukup dari orang tuanya tapi terkadang ia tidak mensyukurinya. Rafael selalu melihat ke atas tanpa tahu masih banyak orang yang di bawahnya. Melihat anak-anak jalanan tersebut Rafael yakin selain hidupnya tidak berkecukupan mereka juga pasti tidak mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Kebanyakan orang pun memandang rendah anak jalanan. Tapi tidak untuk sosok wanita di sampingnya, Zahira. Ya. Zahira bahkan turun tangan membantu anak-anak jalanan tersebut. Tanpa sadar senyum Rafael terbit. "Itu brownies buatanmu ya? Enak banget," puji Rafael. "Iya, terima kasih. Kalau kau suka datang saja ke bakery, di sana ada beberapa kue, ambil saja gratis." Rafael terkekeh geli. "Serius nih gratis? Dimana bakery-nya?" "Di jalan xxxx, namanya Morning Bakery." "Baiklah, besok aku mampir kesana." *** Matahari mulai terbit memancarkan sinarnya. Sesuai janjinya kemarin, pagi yang cerah ini Rafael menemui Zahira di Morning Bakery. Tanpa sadar Rafael tersenyum mengingat-ingat kejadian kemarin. Dimana ia merasa penat setelah bekerja, tanpa sengaja bertemu Zahira dan dapat dengan cepat melupakan rasa lelahnya. Zahira sedang berada di balik kasir untuk mengecek keuangan ketika kemudian bunyi lonceng di atas pintu bakery berdenting pada pagi hari ini. Seorang lelaki tampan dengan kemeja santainya yang berwarna hitam masuk mengunjungi bakery dan tersenyum ke arahnya. "Rafael?!" "Hai, Zahira!" sapa Rafael tersenyum. Kemudian Zahira keluar dari meja kasir dan tanpa sadar Rafael memeluknya dengan hangat. Zahira membalas pelukan dari Rafael. Setelah cukup lama berpelukan Zahira lalu melepaskan pelukannya dari Rafael. Beberapa staf memandang mereka dan bertanya-tanya dalam hati siapa lelaki tampan tersebut. "Sesuai janjiku kemarin untuk datang kemari," ucap Rafael. "Kau mau kue yang mana?" Rafael menggelengkan kepalanya pelan. "Aku mau yang punya toko kue ini saja," goda Rafael. Pipi Zahira tiba-tiba bersemu merah semerah tomat. Ia tersenyum malu saat Rafael menggodanya. "Duduk dulu sini," ucap Zahira mengalihkan pembicaraan. "Ini kantong plastik buat apa?" tanya Rafael. "Ini makanan buat anak-anak yang kemarin." Rafael menyunggingkan senyumannya. "Kau mau kesana?" "Iya, setelah ini aku kesana." "Aku ikut ya." "Memangnya kau tidak bekerja?" Rafael menggelengkan kepalanya. "Ayo kesana sekarang, tapi aku juga mau beli beberapa makanan dulu buat mereka." Kemudian mereka bersiap untuk menemui anak jalanan kemarin. Rafael mengulum senyum sambil menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang setelah keluar dari bakery. "Zahira, kita ke KFC dulu ya beli crispy box." "Iya." Rafael melajukan mobilnya dengan cepat menuju ke outlet KFC terdekat. Ia membeli beberapa crispy box. Setelah membeli beberapa crispy box, Rafael kembali dan mengemudikan mobilnya langsung ke taman kota tempat kemarin mereka bertemu. Begitu mereka sampai dan keluar dari mobil, anak-anak itu langsung menyerbu Zahira dan Rafael. "Kak Rafael," sapa salah satu anak lelaki tersebut. Rafael tersenyum lembut. Tangannya terulur mengelus rambut anak lelaki tersebut. "Siapa namamu?" tanya Rafael. "Arka kak," ucapnya dengan suara yang menggemaskan. "Anak-anak kakak punya sesuatu buat kalian," ucap Zahira. Kemudian Zahira membagikan crispy box-nya dibantu dengan Rafael. Mereka pun memilih duduk di rerumputan hijau sebagai alas duduk untuk makan bersama. "Sudah lama membagikan makanan kepada anak jalanan?" tanya Rafael. "Ya, sekitar empat tahun yang lalu." "Berarti setiap hari sering kemari ya?" "Tidak setiap hari, tapi hampir setiap hari." "Tidak heran, mereka akrab sekali denganmu." "Terkadang kalau ada waktu senggang aku bermain dengan mereka." "Dulu aku menganggap remeh anak jalanan, tapi ternyata mereka anak-anak yang baik, ceria, dan murah senyum." "Making other people smile is the actual another level of happiness," ucap Zahira. Rafael tersenyum. "Kau sudah lama membuka toko kue?" "Baru sekitar delapan bulan." Kemudian setelah mereka menghabiskan crispy box, Zahira pun membagikan kue bolu dari bakery-nya dibantu dengan Rafael. Lalu mereka duduk kembali dengan tertib sambil memakan kue bolu. Suasana hari ini sungguh cerah, secerah hati Rafael saat ini yang melihat ketulusan dari Zahira. *** Rafael terbangun dengan tubuh tengkurap di rumah megahnya. Rumah Rafael sangat luas, ia tinggal di Jakarta sendirian. Orang tua Rafael tinggal di Pekanbaru, Riau. Rafael tinggal di Jakarta sesekali ikut mengurus perusahaan orang tuanya sekaligus mengurus perusahaan dia yang baru saja ia bangun di Jakarta. Ponselnya tak henti-hentinya berdering sejak tadi. Mau tak mau Rafael bangun dan mengambil ponselnya di atas nakas. Kemudian Rafael kembali merebahkan tubuh di ranjang king size miliknya. "Selamat pagi sayang," sapa seseorang lembut di seberang sana. "Pagi sayang." "Aku baru saja sampai di bandara." "Ahh, iya, aku lupa. Sebentar aku akan menjemputmu." "Tidak perlu sayang, aku sudah menelpon sopirku untuk menjemputku. Kau pasti lelah karena bekerja." "Maafkan aku." Jelena tertawa kecil. "Tidak apa-apa sayang. Kalau begitu sore nanti kau harus mengantarku belanja." "Apa kau tidak lelah baru saja pulang dari New York?" "Tidak sayang, aku rindu padamu. Sudah lama kita tidak jalan berdua karena kesibukan masing-masing." "Baiklah sayang." Rafael kemudian menutup telponnya. Kembali memejamkan matanya, Jelena baru saja pulang melakukan fashion show di New York. Dan seharusnya pagi ini Rafael menjemputnya di bandara. Tapi karena kelelahan Rafael bangun kesiangan. Rafael merasa bersalah kepada Jelena. Disaat Jelena membutuhkan, Rafael tidak ada di sampingnya. Pikirannya berkecamuk tak karuan, Rafael bingung ada apa dengan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD