Sesuai janjinya, sore ini Rafael menjemput Jelena di rumahnya. Terlihat Jelena baru saja keluar dari rumah. Jelena memakai backless dress berwarna hitam yang memperlihatkan punggung mulusnya.
"Hai, sayang!" sapa Jelena yang kemudian duduk di samping kemudi.
Rafael mencium pipi Jelena. "Maafkan aku."
"Sudah cukup sayang, tidak perlu meminta maaf. Kau mau mengantarku belanja saja aku sangat senang," ucap Jelena terkekeh geli.
"Kita mau kemana?"
"Ke Mall xxxx."
"Baiklah."
Kemudian Rafael melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Beberapa menit kemudian mereka sampai di Mall. Suasana ramai sudah tidak mengejutkan bagi Rafael. Beberapa kali pengunjung Mall yang melihat mereka berdua meminta foto. Tak heran karena Jelena seorang model papan atas asal Singapura yang melebarkan sayapnya di tanah air. Memiliki pasangan seorang model sudah menjadi konsekuensinya karena jika kemanapun mereka pergi pasti tidak luput dari fans Jelena.
"Sayang, aku mau belanja lingerie."
"Oke!" Setelah baru saja beberapa pengunjung meminta foto. Saat ini Rafael dan Jelena pergi ke outlet lingerie. Rafael kemudian menunggu Jelena yang sedang memilih-milih lingerie.
"Bagus yang hitam atau yang merah sayang?" tanya Jelena sembari memperlihatkan lingerie di hadapan Rafael.
"Bagus semua. Beli saja dua-duanya."
"Kalau begitu aku coba dulu ya di ruang ganti."
Rafael menganggukkan kepalanya. "Aku tunggu disini."
Tanpa sengaja Rafael melihat Zahira dengan seorang wanita memilih-milih pakaian. Outlet lingerie bersebelahan dengan pakaian bermerek yang sedang mengadakan diskon besar-besaran.
"Bukankah itu Zahira?" gumam Rafael.
"Zahira!" panggil Rafael yang kemudian mendekat ke arah Zahira.
Rafael melihat jika yang bersama Zahira adalah Iren. Mahasiswi yang magang di perusahaannya.
"Bapak …," gumam Iren.
"Iren?"
"Kalian saling kenal?" tanya Zahira dengan wajah polosnya.
"Pak Rafael ini CEO perusahaan di tempat aku magang Zahira," bisik Iren pelan yang suaranya masih terdengar oleh Rafael.
Zahira sontak terkejut. Tak menyangka jika Rafael adalah seorang CEO. Dengan selalu memakai kemeja rapinya membuat Zahira memang pernah beberapa kali menanyakan dimana Rafael bekerja. Hanya saja Rafael mengatakan jika dia bekerja di kantor sebagai karyawan.
"Sayang!" Suara dari belakang membuat mereka menoleh.
"Siapa sayang?" tanya Jelena.
Terlihat keterkejutan di wajah Zahira. Belum cukup dengan terkejutnya pekerjaan Rafael. Saat ini ada seorang wanita muncul dari belakang Rafael memanggil lelaki tampan itu dengan sebutan sayang.
"Ini Zahira teman aku. Dan ini Iren mahasiswi yang magang di perusahaan ku," ucap Rafael.
"Hai, jadi ini yang namanya Zahira? Perkenalkan, aku Jelena," ucap Jelena ramah memberikan tangan kanannya ke Zahira.
"Zahira." Zahira membalas uluran tangan Jelena.
"Jelena," ucap Jelena kembali memberikan tangan kanannya ke Iren.
"Iren," ucapnya nyengir.
"Salam kenal Zahira, Iren," ucapnya tersenyum ramah.
"Salam kenal," ucap mereka berdua.
Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Bagaimana tidak, saat ini yang di hadapannya adalah seorang model yang sedang naik daun. Dan rasanya Zahira seperti mimpi karena bisa bertemu langsung bahkan berjabat tangan dengan Jelena.
"Jangan sungkan Zahira, Iren. Aku sangat senang jika kalian menganggapku teman. Panggil saja aku Jelena."
Zahira dan Iren hanya membalas ucapan Jelena dengan senyuman.
"Kau sudah selesai?" tanya Rafael.
"Sudah sayang, sekarang aku lapar. Bagaimana kalau kita makan bersama?" ajak Jelena dengan senyum sumringahnya.
Iren menyenggol pelan lengan Zahira.
"Terima kasih tawarannya, tapi kita berdua baru saja makan. Mungkin lain kali saja kita makan bersama," tolak Zahira.
"Iya, benar. Kita baru saja makan. Hehe," timpal Iren.
Jelena tersenyum. "Kalau begitu kita pamit dulu ya."
Zahira menatap kepergian Rafael dan Jelena. Sepergian mereka tiba-tiba Iren menyenggol lengan Zahira membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Jangan bilang kalau Rafael yang kau maksud one night stand denganmu itu dia?"
Zahira mengusap wajahnya gusar lalu menganggukkan kepalanya.
"Siapa wanita yang bernama Jelena itu?"
"Astaga Zahira! Dia itu tunangan Rafael."
"Kau serius?"
Iren mencebikkan bibirnya. "Ngapain juga bercanda. Lagian aku kan pernah cerita waktu itu."
Sebuah benda seperti menusuk jantungnya, belum juga usai keterkejutannya saat ini Zahira lebih dikejutkan lagi jika Jelena merupakan tunangan Rafael. Zahira menelan salivanya dengan susah payah, ia menatap nanar pantulan kaca di depannya.
"Zahira, jadi yang mana nih dress-nya?" tanya Iren sambil memilih-milih dress selutut di depannya.
"Yaelah ngelamun mulu nih anak!" kesal Iren.
Iren langsung memegang kedua pundak Zahira dan mengguncangkan keras.
"Woy, Zahira. Gila! Kesambet apa ya?"
Guncangan keras di pundaknya menyadarkan Zahira dari lamunannya. Kemudian Zahira melepaskan tangan Iren di pundaknya.
"Sakit ihh," keluh Zahira.
"Yeee lagian ditanya diam aja. Mikirin apa sih?"
Zahira menghela napas. "Emangnya nanya apaan?"
Iren berdecak. "Ini dressnya mau yang mana?"
"Yang navy aja."
"Buat aku bagusan yang mana ya?"
"Katanya mau yang cream gimana sih?" protes Zahira.
"Iya, juga sih. Tapi bagusan yang putih deh."
"Terserahlah."
"Ya, udah, cream aja."
Kemudian Iren pergi ke tempat kasir untuk membayar belanjaannya. Iren sedang mentraktir Zahira membeli pakaian. Walaupun saat ini sedang diskon, Zahira paling anti dengan pakaian bermerek. Zahira gadis sederhana akan memikirkan beribu kali jika membeli pakaian dengan harga yang fantastis.
"Udah nih," ucap Iren sambil menenteng paperbagnya.
"Aku lapar …," rengek Iren.
"Gimana kalau makan di apartemen aku aja. Aku masakin ikan balado kesukaanmu," ajak Zahira.
"Oke!"
Sesampainya di apartemen Zahira, mereka berdua segera masuk. Iren meletakkan paperbagnya di sofa. Sejak kejadian di Mall tadi, Zahira menjadi lebih banyak diam. Zahira langsung menuju ke dapur untuk memasak.
Iren berjalan membuntuti Zahira dari belakang. Kemudian Iren membuka lemari pendingin yang ada di dapur. Iren mengambil sebotol air mineral dan meneguknya.
Zahira menggulung rambutnya ke atas dan mengikatnya asal. Kemudian mulai memanaskan penggorengan.
"Zahira, jujur deh sama aku. Kau suka kan sama Rafael?" celetuk Iren setelah sekian lama mereka berdua terdiam.
"Nggak, mana ada aku suka sama dia."
"Udah deh jujur aja. Kita itu udah sahabatan sejak lama."
Zahira membalikkan badan menatap dalam Iren. "Aku … nggak tahu juga."
Iren menghela napas. "Sudah ku tebak," gumam Iren.
"Ehh Zahira, sadar nggak sih waktu Jelena datang. Dia tiba-tiba bilang 'jadi ini yang namanya Zahira' itu berarti Rafael pernah menceritakanmu," papar Iren.
"Kau benar aku saja tak menyangka kenapa Jelena tiba-tiba mengatakan itu."
"Apa mungkin Rafael cerita ke Jelena kalau dia one night stand denganmu," tebak Iren.
"Nggak mungkinlah. Gila aja kali dah tunangan terus jujur one night stand sama orang lain."
"Iya, juga sih. Lagian nih kalau misal aku di posisi Jelena pasti marahlah kalau tunangannya terang-terangan bilang melakukan one night stand sama orang lain."
"Sayangnya bukan kau tunangannya," ejek Zahira.
"Ya, aku tahu, aku terlalu cantik kalau bersanding dengan Pak Rafael," kekeh Iren.
Zahira hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Iren yang percaya dirinya sangat tinggi.
***
Rafael dan Jelena memutuskan pergi ke restoran yang ada di Mall. Tak ada suara apapun yang terdengar dari Rafael sejak kejadian tadi. Rafael tidak bisa berhenti memikirkan wajah keterkejutan Zahira waktu bertemu dengan Jelena.
"Kau mau pesan apa sayang?" tawar Jelena.
Suara lembut membuyarkan lamunan Rafael.
"Seperti biasa."
"Sudah lama kenal dengan Zahira?" tanya Jelena.
Rafael menelan salivanya. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
"Mmm tidak apa-apa aku hanya penasaran saja."
Rafael tersenyum tipis. "Lebih lama kenal denganmu sayang."
"Zahira magang juga ya di perusahaanmu?"
"Tidak, dia patisserie. Aku tak sengaja mengenal dia di bar. Dia juga temannya Dante."
"Oh, begitu. Jadi dia punya toko kue?"
"Hmm." Rafael menganggukkan kepalanya.
"Dimana tempatnya?"
"Di jalan xxx, namanya Morning Bakery."
"Kapan-kapan aku mampir deh kesana."
Rafael tak menjawab, ia meringis lalu memejamkan mata sejenak sambil memijat dahinya.
"Kenapa sayang kau sakit?"
"Tidak apa-apa mungkin hanya kelelahan."
Jelena dengan cepat menempelkan telapak tangannya di dahi Rafael dan tersentak karena merasakan hawa hangat di tangannya.
"Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang." Jelena langsung panik.
Rafael meringis merasakan dahinya berdenyut. "Tidak perlu, pulang saja ke rumah."
Jelena menghela nafas, kemudian mengalungkan tangan Rafael ke pundaknya.
Rafael menurutinya, ia berusaha melangkah sambil di papah Jelena. Namun tubuh Rafael yang tinggi dan berat membuat Jelena terengah. Jelena akhirnya meminta tolong kepada staff yang ada di sana untuk memapah Rafael. Karena ia yakin tidak akan kuat memapah Rafael sendiri hingga ke mobil.
"Jelena kita pulang kerumah saja!" ucap Rafael mutlak setelah masuk ke mobil. Kini giliran Jelena yang menyetir karena kondisi Rafael yang tidak memungkinkan untuk mengemudi.
"Baiklah sayang," ucap Jelena pasrah.
Jelena langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Setelah sampai di parkiran rumah mewah Rafael, Jelena langsung meminta satpam untuk memapah Rafael dan membawanya ke kamar.
Kemudian satpam pun keluar setelah membaringkan Rafael di ranjang king size miliknya.
"Sayang, sepertinya kau demam. Aku panggilkan dokter pribadiku," ucap Jelena.
Rafael hanya menganggukkan kepalanya, lidahnya terasa kelu untuk menjawab ucapan Jelena.
Jelena menggenggam tangan Rafael yang panas. Jelena terdiam, menatap khawatir Rafael.
Tak lama dokter pun datang dan segera memeriksa keadaan Rafael.
"Dia hanya kelelahan. Saya berikan obat dan pastikan minum obatnya secara rutin," ucap dokter.
"Sebaiknya jangan terlalu stress," ucapnya lagi.
"Baik dok, terima kasih."
"Sama-sama kalau begitu saya permisi."