Cahaya matahari yang menerobos jendela kamar Rafael semakin terang.
Rafael menggeliat. Tubuhnya berkeringat hebat, ia terbangun sayup-sayup mendengar suara pintu terbuka.
"Hai, sayang sudah bangun rupanya," sapa Jelena.
"Aku baru saja membuatkanmu bubur," ucap Jelena sambil membawa nampan berisi bubur dan air mineral.
Rafael kemudian duduk dibantu Jelena.
"Kau harus makan lalu minum obat," ucap Jelena.
Rafael menggeleng. "Aku sudah baik-baik saja."
Jelena tidak menjawab. Ia mengambil mangkuk berisi bubur dan membalik-balik bubur nasi agar panasnya hilang.
"Ayo, makan!" Jelena menyendok bubur itu dan menyodorkan ke mulut Rafael.
"Sedikit saja," bujuk Jelena.
Rafael menurut, ia membuka mulutnya.
Setelah beberapa suapan, Rafael terus menolak. "Sudah, aku sudah kenyang Jelena."
Jelena menghela napas kemudian memberikan obat dari dokter tadi malam.
Akhirnya Rafael menenggak obat itu dengan air mineral.
"Hari ini aku sebenarnya ada rapat dengan kolega bisnis."
"Kau harus istirahat!" perintah Jelena.
"Tapi ini rapat penting sayang."
"Bahkan setelah sakit saja kau masih mementingkan pekerjaanmu?!" omel Jelena tak habis pikir.
"Suruh saja Emran untuk menggantikanmu!"
Rafael mengalah, walau keadaannya sudah membaik. Rafael belum yakin bisa memimpin rapat dengan baik.
Kemudian Rafael menelpon Emran-selaku tangan kanan Rafael untuk menggantikan memimpin rapat untuk sementara.
"Apa? Baiklah," ucap Rafael dengan seseorang di seberang sana. Kemudian Rafael menutup telponnya.
"Bagaimana bisakan?" tanya Jelena.
"Bisa sayang, Emran bilang kalau berkasnya tidak ada di kantor. Sepertinya masih di rumah, coba cek di lemari ada map berwarna kuning apa tidak? Itu isinya berkas penting," pinta Rafael.
Jelena mencari berkas di lemari seperti apa yang dikatakan Rafael. "Ada sayang, kalau begitu aku saja yang membawanya ke kantor."
"Tidak apa-apa kan di tinggal sebentar?" tanya Jelena.
"Maaf merepotkanmu," ucap Rafael.
Jelena mengecup pipi Rafael. "Get well soon baby, aku akan segera kembali."
Sesampainya di kantor Jelena memberikan langsung map berwarna kuning ke Emran di lantai empat puluh tujuh.
Jelena kemudian turun menaiki lift, sesampainya di lobi ia tidak sengaja bertabrakan dengan salah satu karyawan yang sedang membawa beberapa dokumen dan akhirnya jatuh di lantai.
"Mmaaf, tadi saya kurang fokus," ucap seseorang dengan setelah kerjanya.
"Iren?!"
Iren tersentak setelah melihat siapa yang ia tabrak.
"Kau tidak apa-apa?" Maaf aku tak sengaja menabrakmu," ucap Jelena.
Dengan segera Jelena mengambil dokumen yang berserakan di lantai.
"Tidak perlu Bu, maafkan saya. Saya tidak sengaja." Iren dengan segera berjongkok dan membantu Jelena mengambil dokumen yang berserakan di lantai.
Jelena tersenyum geli. "Iren, tak perlu memanggilku 'bu' panggil saja Jelena," pinta Jelena.
"Tapi Ibu tunangan Pak Rafael," ucap Iren menundukkan kepalanya.
"Aku lebih suka dipanggil nama. Tidak perlu terlalu formal denganku," ucapnya tersenyum.
Ya lord. Sumpah nih orang baik banget.
batin Iren.
"Maafkan aku Jelena," ucap Iren dengan kaku.
Jelena menganggukkan kepala sambil tersenyum hangat.
"Kalau begitu saya permisi," ucap Iren tersenyum.
Betapa cantik Jelena dengan wajah yang dewasa serta gayanya yang anggun dan elegan. Dia tersenyum ramah kepada semua orang yang berpapasan dan menegurnya.
Banyak karyawan yang menyukai Jelena karena keramahannya. Cantik dan terkenal tidak membuat Jelena sombong. Ia tetap rendah hati kepada siapapun. Tidak sedikit juga yang iri dengannya karena kecantikannya.
Jelena masuk kembali ke dalam mobil. Melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dari kejauhan Jelena melihat Zahira turun dari taxi dan masuk ke sebuah toko.
"Itukan Zahira?" gumamnya sambil memperhatikan Zahira dari dalam mobil. Jelena melihat jam di pergelangan tangannya. "Tidak apa kali ya sekedar mampir kesana."
Jelena kemudian memutar arah dan memarkirkan mobilnya ke Morning Bakery.
"Jadi, ini toko kue Zahira," gumamnya.
Jelena kemudian masuk dan disambut oleh staf yang ada di sana.
Terlihat Zahira yang baru saja keluar dari ruangan pribadinya.
"Zahira." Jelena mendekati Zahira.
"Jelena ada apa kau kesini?"
"Aku baru saja pulang dari kantor Rafael dan tak sengaja melihatmu masuk ke toko kue ini."
"Jadi ini toko kue kamu ya?" tanya Jelena.
Zahira menganggukkan kepalanya pelan.
"Kesini sama siapa?"
"Aku kesini sendiri. Rafael sakit, tadi aku baru saja mengantarkan beberapa berkas ke kantornya Rafael."
"Rafael sakit?" tanya Zahira refleks panik.
"Dia demam. Tapi sekarang keadaannya sudah membaik."
"Oh, syukurlah."
"Mmm, maaf maksud aku-"
"Tidak apa-apa, kau kan teman Rafael, jadi tidak ada salahnya kalau kau khawatir," potong Jelena.
Zahira merutuki kebodohannya yang tiba-tiba panik.
"Aku mau beli beberapa kue."
"Mau beli kue yang mana?"
"Bentar, mau lihat-lihat dulu." Jelena kemudian berkeliling bakery, melihat beberapa jenis kue.
"Aku mau strawberry chiffon noel," celetuk Jelena.
"Lima ya," ucap Jelena sambil mengangkat kelima jarinya.
Zahira tersenyum lembut. "Baiklah."
Setelah selesai membayar ke kasir Jelena pun masuk ke mobil porsche warna putih miliknya.
Beberapa menit kemudian Jelena sampai di rumah Rafael.
Jelena kemudian masuk ke kamar Rafael.
Rafael yang mendengar suara pintu terbuka pun menoleh mengalihkan tatapannya dari layar televisi.
"Kau sudah pulang?"
"Maaf kalau lama aku baru saja mampir ke bakery Zahira."
"Mampir?" Rafael memastikan.
"Iya. Aku membawakan strawberry chiffon noel kesukaanmu. Ini aku beli di bakery Zahira."
Rafel memejamkan matanya. Entah kenapa ia sedang di dekat Jelena tapi pikirannya tak lepas dari Zahira.
Jelena kemudian membuka kotak strawberry chiffon noel lalu mengambilnya dan menyuapkannya ke Rafael.
Rafael menerima suapan itu dan sesuai tebakan Rafael, kue milik Zahira memang selalu enak tiada duanya.
"Enak."
"Iyakah? biar kucoba," sahut Jelena.
Lalu Jelena pun mencoba strawberry chiffon noel-nya dan tanpa sadar memujinya enak.
"Baby, kalau kita menikah nanti pesan kue nya di Zahira aja ya. Benar katamu kue nya enak."
Rafael terbatuk dan tenggorokannya terasa tercekat.
"Sayang." Jelena yang panik langsung menyodorkan air mineral ke Rafael.
"It's ok it's ok," ucap Rafael.
Mendengar kalimat itu Rafael sontak menelan salivanya dengan susah payah.
***
Selepas pulang dari kantor Iren meluangkan waktunya sejenak mampir ke Morning Bakery.
"ZAHIRA!" Teriak Iren heboh. Kemudian memeluk erat Zahira dari belakang.
Zahira tersentak. "Arghh Iren!"
Iren melepaskan pelukannya. Teriakan Iren memekakkan telinga Zahira. Zahira lalu mengusap-usap telinganya.
Iren menyengir. "Are you okay?"
"Gimana mau oke kalau kau saja selalu ngagetin gini. Bisa-bisa belum tua aku kena serangan jantung karena di kagetin mulu," gerutu Zahira.
"Maaf-maaf kaya nggak tahu aja kalau aku ini orangnya heboh."
"Ck, dasar kau itu perempuan nggak ada anggun-anggunnya!" ketus Zahira.
"Heleh apaan anggun-anggun. Nggak anggun aja banyak yang suka apalagi kalau anggun."
Zahira hanya bisa mengelus d**a melihat sahabatnya yang percaya dirinya terlalu tinggi.
"Kau sudah buka group alumni SMA belum?"
"Ada apa?"
"Satu kelas kita ngadain reuni."
"Buat apa ngadain reuni?" tanya Zahira dengan wajah polos tak berdosa.
"Buat pesugihan."
"Ha … a." Zahira menatap Iren cengo.
"Ya, buat menyambung silaturahmi lah," sentak Iren.
Iren berdecak kesal. "Kau ini kenapa sih semenjak kenal Rafael jadi kurang fokus gini."
"Kenapa jadi bawa-bawa Rafael sih," kesal Zahira.
"Ya, lagian di ajak ngomong ha-ha-ha-ha mulu," gerutu Iren.
"Iya, maaf, back to topic!"
"Terus rencananya mau reuni dimana?" tanya Zahira.
"Katanya sih di hotel puncak Bogor."
"Terus menginap sehari. Gimana ikutkan?" tanya Iren.
"Sehari? Oke deh."
"Nah, gitu dong. Sudah jam lima nih nggak ditutup bakery-nya?"
"Oh, iya. Kau mau bawa apa brownies, cake, atau apa?" tawar Zahira.
"Nggak usah. Tadi pagi juga udah bawa."
Kemudian Zahira pun segera menutup bakery-nya.
"Kau langsung pulang kan?"
"Aku mau ke rumah sakit dulu. Kakek dah di bolehin pulang."
"Serius? Kalau gitu aku anterin."
"Memangnya nggak capek baru pulang dari kantor?"
"Kaya sama siapa aja," cibir Iren.
Zahira terkekeh geli, basa basi juga perlu.
Kemudian mereka berdua masuk ke mobil. Mobil mewah berwarna merah itu pun melaju dengan kecepatan sedang.
Suasana sore ini terlihat mendung. Mendung selalu menghasilkan udara yang sejuk, angin yang bertiup pelan dengan awan gelap yang menutupi matahari. Suasana yang dihasilkan mendung begitu tenang. Begitu menyejukkan walaupun tidak jelas akan hujan atau terik kembali.
Zahira menghela nafas menatap keluar kaca mobil.
"Zah, kenapa sih kaya resah banget."
"Tadi Jelena ke bakery," lirih Zahira.
"What?" Iren pun melirik Zahira.
"Katanya baru saja mengantar berkas di kantor Rafael, terus pulangnya mampir ke bakery." Zahira masih menatap keluar kaca mobil.
"Ngapain?"
"Ya, sekedar mampir. Tapi aku khawatir sama Rafael."
"Rafael kenapa?"
"Dia bilang Rafael demam."
"Pantas saja tadi Pak Rafael nggak ke kantor," gumam Iren.
"Sudah nggak bisa ditutupi lagi. Kau itu memang suka sama Rafael."
Zahira mengusap wajahnya gusar.
"Kalau kau khawatir kenapa nggak telpon aja tanyain gimana keadaannya."
"Ihh, buat apa entar kalau yang angkat telpon Jelena gimana?" ucap Zahira memicingkan matanya.
"Kau pikir Jelena bodyguard yang dua puluh empat jam di samping Rafael?!"