55. Berbagi Pada Orang Terdekat

1007 Words
Setelah selesai menghadiri kelas satra, Xuan Yi dan Xiao Pingjing pun memutuskan untuk pergi ke pasar menghabiskan waktu bersantainya dengan menikmati berbagai hidangan dari salah satu kedai yang terlihat ramai. “Sepertinya kau tadi benar-benar membuat Murid Li merasa kesal, Xuan Yi,” celetuk Xiao Pingjing di sela-sela makannya. “Entahlah. Aku hanya menjawab sesuai dengan permintaan Tetua Besar Xiao. Lagi pula puisi anehku malah menjadi sorotan karena terlalu rapi,” balas Xuan Yi mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Kau benar. Memang Murid Li yang terlalu mempersulitmu. Padahal dia bisa melakukan lebih daripada itu,” timpal Xiao Pingjing mengangguk beberapa kali. “Tapi, sepertinya dia akan benar-benar marah karena merasa tersaingi,” balas Xuan Yi menghela napas panjang, lalu menaruh sepasang sumpit tersebut di atas mangkuk kosong. “Sudahlah. Lupakan saja orang-orang seperti itu. Karena itu bukan salahmu, Xuan Yi.” Xiao Pingjing tersenyum lembut membuat pemuda yang berada di hadapannya terdiam sesaat. “Kalau begitu, kita harus segera kembali, Pingjing. Aku takut kau akan dipersulit oleh Murid Li ketika mengetahui kau bersahabat baik denganku,” ajak Xuan Yi bangkit dari tempat duduknya. Sejenak pemuda tampan itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat duduknya. Ia memang tidak mengatakan apa pun, tetapi jelas terlihat dari raut wajahnya yang begitu kecewa. Karena Xiao Pingjing masih ingin menghabiskan banyak waktu bersama Xuan Yi. Setelah itu, keduanya pun melenggang keluar dengan meninggalkan tiga tael perak di atas meja membuat salah satu pelayan di kedai tersebut mendekat. Kemudian, mengambil alat pembayaran tersebut dengan tersenyum senang. Karena Xuan Yi meninggalkan banyak sekali tip untuk pelayan tersebut. Sebenarnya, Xuan Yi sangatlah murah hati terhadap siapa pun. Karena pemuda itu tumbuh di lingkungan yang cukup baik. Apalagi selama ini Xuan Yi menghabiskan banyak waktu di kedai dengan berbaur berbagai macam orang. Bahkan ketika ada pengemis pun Xuan Yi dengan murah hati memberikan makanan dan menyajikan berbagai keperluan untuk mereka. Hanya saja kebaikan itu terkadang membuat Kakek Gu merasa terlalu berlebihan sehingga Xuan Yi sering kali diperintahkan untuk tetap berada di kediaman. Sebab, kalau pemuda itu berada di kedai terus-menerus, maka jangan harap akan ada keuntungan dalam penjualan. Memang cukup meresahkan untuk para pemilik kedai seperti Kakek Gu. Apalagi beliau harus menggaji beberapa orang pekerjanya. Ketika keduanya melangkah, tanpa segaja mereka melihat sebuah kue jahe merah yang masih terjual di dekat salah satu pedagang kain. Membuat Xuan Yi tersenyum lebar dan langsung berlari menghampiri pedagang kue jahe merah tersebut. “Laoba, berap harga satu kue jahe merah?” tanya Xuan Yi. “Satu tael, Tuan Muda,” jawab pedagang tersebut. “Baiklah, aku ingin dua kue saja,” pinta Xuan Yi sembari mengambil dompet miliknya yang berada di dalam pakaian. Sedangkan Xiao Pingjing melihat hal tersebut hanya menghela napas panjang. Kemudian, ia menggeleng tidak percaya. Terkadang Xuan Yi memang melakukan hal-hal di luar dugaan. Bahkan bisa dikatakan bahwa pemuda itu mudah sekali tertarik akan sesuatu. Beberapa saat kemudian, dua buah kue jahe merah milik Xuan Yi pun telah siap dengan dibungkus sebuah kertas berwarna cokelat cukup besar. Membuat pemuda itu tanpa menunggu lama langsung menerimanya dengan senyuman lebar. “Lihatlah, Pingjing! Aku benar-benar menemukan kue yang baru saja aku sebutkan tadi,” ucap Xuan Yi memamerkan kue berbentuk bunga tersebut dengan sedikit menyombongkan diri. “Baiklah. Aku percaya kau memang sangat menyukainya,” balas Xiao Pingjing tersenyum geli, lalu melanjutkan kembali langkahnya menyusuri pasar. Sedangkan Xuan Yi terlihat mengangkat bahunya acuh tak acuh, lalu ia langsung mengambil salah satu kue tersebut. Tentu saja ia hendak membaginya pada Xiao Pingjing. Satu-satunya orang yang menjadi sahabat Xuan Yi selama ini. Memang bisa dikatakan mereka berdua tumbuh bersama dengan sangat baik. Meskipun tidak dapat dipungkiri terkadang keduanya bertengkar. Namun, hal tersebut malah memperkuat hubungan sehingga tidak mudah terhasut akan sesuatu. Apalagi selama ini Xuan Yi jarang sekali melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan dirinya. Walaupun terkadang pemuda itu menghabiskan banyak waktu bersama dayang-dayang ketika di pasar. Dua pemuda gagah nan tampan itu pun kembali melanjutkan langkahnya menuju Akademi Tangyi. Tentu saja mereka berdua harus segera pulang sebelum hari gelap. Sebab, pintu masuk akan segera tersegel dengan gerbang penjaga buatan Tetua Besar Xiao. Demi mencegah beberapa penyusup yang akan datang. Akademi Tangyi memang dikenal dengan keamanannya yang begitu kuat. Sehingga tidak mudah penyusup masuk ke dalam sana, kecuali ia menyamar sebagai murid. Karena masuknya orang asing ke dalam pasti akan terjadi pencegahan tidak terduga. Memang selama ini Akademi Tangyi terhindar dari banyak sekali masalah. Membuat beberapa orang tua jelas lebih menginginkan anaknya berada di sana. Hanya saja ketika masuk memang tidak mudah. Maka dari itu, banyak sekali pemuda-pemudi yang berlomba-lomba ingin masuk ke Akademi Tangyi. Tak lama kemudian, keduanya pun sampai di sebuah pintu masuk yang terlihat masih dijaga oleh dua prajurit berpakaian rompi perang. Mereka tampak berdiri tanpa lelah menatap lurus ke depan. “Xuan Yi, apa kau akan langsung ke kamarmu?” tanya Xiao Pingjing menoleh pada Xuan Yi sesaat. “Iya. Aku ingin menghampiri Chang Qi,” jawab pemuda itu mengangguk pelan. “Baiklah. Aku juga akan kembali ke kamar,” pungkas Xiao Pingjing. Setelah itu, keduanya pun berpisah di lorong Akademi Tangyi yang memang disekatkan oleh beberapa halaman kecil. Tentu saja Xiao Pingjing memiliki kamar jauh lebih dekat daripada Xuan Yi. Sebab, ia harus kembali melangkah beberapa saat lagi untuk segera sampai di kamarnya sendiri. Sedikit melelahkan memang, tetapi Xuan Yi juga tidak bisa melakukan apa pun. Karena dirinya belum mendapatkan giliran pergantian teman kamar. Sehingga rasanya sangat mustahil memiliki kamar yang lebih dekat. Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah karena Xuan Yi menerima apa pun yang sudah diberikan pada dirinya. “Xuan Yi!” panggil seseorang dari belakang pemuda itu. Sontak mendengar namanya dipanggil, Xuan Yi pun menghentikan langkah. Kemudian, ia terlihat mengalihkan pandangannya bingung. “Kau dari mana, Jia’er?” tanya Xuan Yi pada seorang gadis yang membawa baskom di tangannya. “Aku baru saja membersihkan diri,” jawab Shen Jia. “Apa berlatih bela diri cukup melelahkan?” tanya Xuan Yi mengernyit penasaran. Shen Jia menggeleng. “Tidak. Hanya saja tubuhku tadi benar-benar berkeringat sehingga butuh dibersihkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD