54. Sastra Klasik

1086 Words
Memiliki kelas bela diri yang terjun langsung di dalam kemiliteran istana membuat banyak sekali murid Akademi Tangyi memenuhi lapangan panah bersama beberapa komandan kepercayaan Yang Mulia Kaisar. Pembelajaran kali ini memang lebih melakukan banyak di luar akademi dibandingkan kemarin. Mungkin dikarenakan mereka sudah tenggat waktu melakukan peperangan dua puluh tahun lalu. Membuat Klan Manusia dipenuhi berbagai kecemasan. Terlihat Shen Jia sudah berganti pakaian menjadi rompi perang dibaluti dengan seragam perang berwarna merah ala Kekaisaran Mouyu. Sedangkan Chang Qi terlihat tengah mengenakan topi perangnya sembari sesekali melirik ke arah gadis sekamarnya yang kesusahan ketika memasang berbagai pakaian logam membaluti lengan. Tentu saja hal tersebut membuat Chang Qi menghampiri gadis itu, lalu berkata, “Apa kau membutuhkan bantuan?” Shen Jia menoleh dan mendapati seorang pemuda tampan yang sudah lengkap berpakaian perang. Entah kenapa pemuda itu terlihat sangat gagah membuat Shen Jia tersenyum lebar sembari mengangguk. “Tolong bantu aku memasang ini, Chang Qi. Berat sekali sampai aku tidak kuat,” pinta Shen Jia mengerucutkan bibirnya kesal. Chang Qi mengangguk pelan. Kemudian, pemuda itu meraih benda yang akan ia pasangkan ke tubuh Shen Jia secara perlahan. Karena pakaian perang memang benar-benar sangat berat sehingga tidak mudah mengenakannya dalam posisi tidak melakukan apa pun. Dalam sekejap benda yang tadi berserakan di bawah mulai terpasang satu per satu di tubuh Shen Jia membuat gadis itu langsung tersenyum senang. “Terima kasih, Chang Qi. Tapi, aku merasa bingung. Mengapa pakaian ini begitu ringan ketika dikenakan, tidak seperti tadi yang benar-benar terasa berat,” celoteh Shen Jia mengernyit bingung sembari membenarkan letak berbagai perhiasan logam di tubuhnya. “Itu karena seluruh tubuhmu merasakan hal yang sama sehingga rasa berat itu wajar saja menghilang seiring tubuhmu menyesuaikan diri dengan berat pakaian perang tersebut,” balas Chang Qi mengangguk singkat, lalu kembali berkata. “aku pamit dulu. Kita berdua tim yang berbeda.” Shen Jia mengangguk singkat membuat Chang Qi benar-benar melenggang pergi dari sana. Tentu saja hal tersebut membuat keduanya berpisah dengan kelompok yang berbeda. Sesuai dengan pembagian dan kemampuan mereka berdua. Setelah itu, murid Akademi Tangyi tampak berbaris rapi membentuk barisan lumayan panjang membuat seorang komandan bertubuh kurus, tegap dengan tatapan tajam nan serius itu menatap berisan dengan ekspresi menyeramkan. “Ha!” teriak komandan tersebut memberikan aba-aba agar mereka berbaris dengan rapi. Salah seorang pemuda tampak maju ke depan sembari memberikan hormat singkat. “Lapor, Komandan! Semua murid Akademi Tangyi sudah siap.” “Baik, laporan diterima!” balas komandan tersebut mengangguk tegas. Semua murid Akademi Tangyi terlihat antusias melihat pelatihan kali ini benar-benar terasa berbeda daripada biasanya. Sebab, mereka semua akan berlatih langsung dengan kemiliteran Kekaisaran Mouyu. Sementara itu, di sisi lain terlihat sebuah pavilium mengambang berisikan beberapa murid dan salah satu lelaki paruh baya yang berdiri membelakangi sebuah papan berisikan puisi dari aksara han. Kaligrafi indah dari pahatan itu menghiasi pavilium yang berubah menjadi tempat mengajar. Semua murid Akademi Tangyi terlihat tengah sibuk membaca buku dalam diam. Mereka sama sekali tidak bersuara seiring dengan lembar demi lembar terselesaikan sembari menunggu persiapan dari Tetua Besar Xiao. Meja yang berisikan satu per satu murid itu terlihat berdampingan membentuk empat berisan dengan Xuan Yi berada tepat di samping karpet merah yang meminjam di sepanjang jalan tengah tempat melangkah. Sedangkan di belakangnya terlihat Xiao Pingjing tengah sibuk memainkan dua buah kayu yang menjadi penyanggah kertas kaligrafi buatan hari ini. Sebab, mereka memang lebih sering membuat kaligrafi indah daripada mempraktekkannya sendiri. “Dalam pertempuran dua puluh tahun lalu, sastra memang tidak pernah digunakan untuk bertarung, tetapi tidak boleh juga sampai melupakannya. Karena sastra mempelajari banyak hal seperti memainkan musik kecapi, dan ajaran klasik (puisi). Hari ini kalian bisa membuat puisi dengan topik ‘Kenikmatan Dunia’ yang berartikan angin, bunga, salju, dan bulan,” ucap Tetua Besar Xiao melebarkan kipas lipatnya dengan menampilkan sebuah lukisan elegan yang menggambarkan sebuah angsa putih terduduk di tepi air. Mendengar hal tersebut Xuan Yi hanya memperhatikan tanpa menyela sedikitpun. Sedangkan Xiao Pingjing terlihat mengangkat tangannya. “Tetua Besar, bukankah kita memiliki lima bidang keterampilan?” tanya Xiao Pingjing. Xuan Yi mengernyit bingung. “Dalam pemuda ada enam keterampilan, yaitu musik, memanah, berkuda, sastra, dan matematika. Lantas, apa itu lima bidang keterampilan?” “Memainkan kecapi bukankah hanya untuk menarik hati perempuan? Maka dari itu, Tetua Besar ingin kalian semua membuat puisi yang telah disebutkan tadi,” ucap Tetua Besar Xiao tersenyum tipis. Sontak wajah-wajah antuasias terlihat dari Xuan Yi dan Xiao Pingjing, Mereka seperti sahabat dekat dengan rasa saudara kandung. Karena saking kompaknya mereka berdua. “Setiap orang memilih satu kata. Terlepas dari lima kata atau enam kata dan terlepas dari bagaimana bentuk puisinya. Yang terpenting adalah irama sajaknya,” lanjut Tetua Besar Xiao menatap satu per satu anak muridnya. “Baiklah. Kita mulai dari Murid Zhao.” Seorang gadis mungil terlihat bangkit dari tempat duduknya. Sebelum itu, ia membungkuk hormat, lalu berkata, “Aku memilih ‘Bunga’. Tidak bisa mekar selamanya dalam seketika menjadi kosong.” Awalnya semua terlihat antusias melihat giliran yang akan menghampiri mereka, tetapi kehabagiaan itu lenyap begitu saja tergantikan dengan ekspresi tidak enak ketika mendengar puisi bernada menyedihkan tersebut. Tetua Besar Xiao menghela napas pelan. “Dalam segala hal memang ada pendapatan dan ada pula kehilangan. Jangan terlalu pesimis dalam menjalani kehidupan.” Murid Zhao mengangguk pelan, lalu kembali duduk seperti semula tepat di seberang Xuan Yi. Membuat pemuda itu diam-diam menatap sendu. Entah kenapa ia bisa merasakan kesedihan gadis itu meskipun tidak melihatnya langsung. “Murid Gu, silakan!” titah Tetua Besar Xiao membuat Xuan Yi mengalihkan perhatiannya dengan cepat. Sejenak pemuda itu tergugup, lalu bangkit dari tempat duduknya. Tak lupa ia memberikan hormat singkat pada lelaki paruh baya yang ada di hadapan. “Aku memilih Bunga,” ucap Xuan Yi menghela napas pendek. “Kue kering, buah, jahe merah, teh xiang ming, anggur berkualitas.” Bagaikan diberikan aba-aba seluruh murid Akademi Tangyi kompak mengernyit bingung sembari memperhatikan ekspresi Xuan Yi. Entah mengapa tidak ada yang mengerti akan maksud dari perkataan pemuda itu. “Lolos!” celetuk Tetua Besar Xiao setelah beberapa saat terdiam. “Tetua Besar, mana yang bisa disebutkan bunga?” tanya Murid Li dengan ekspresi mengejek. Ia memang dikenal sebagai musuh terbesar Xuan Yi. Namun, Xuan Yi dengan cepat menjawab, “Kue kering, buah, dan jahe merah biasanya dibuat menjadi bentuk bunga. Sedangkan teh xiang ming, embun bunga, dan anggur bunga. Sudah tidak perlu jelaskan lagi, bukan?” Xiao Pingjing yang mendengar hal tersebut pun langsung menyahut, “Dari semua ungkapan Murid Gu mengandung makanan lebih rapi dibandingkan ungkapan bunga. Inilah yang dimaksud dengan sastra sebenarnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD