47. Pengorbanan Sesuatu

1034 Words
Di sebuah Pavilium Penglai, terlihat sebuah meja yang berada di sudut ruangan tampak dipenuhi tiga pemuda tampan dan satu orang gadis berpakaian mewah sekaligus elegan. Membuat beberapa pengunjung di sana terlihat sesekali melirik ke arah meja tersebut. Salah satu pelayan yang sudah dekat dengan Xuan Yi pun membawa nampan berisikan makanan sembari tersenyum lebar. “Makanan datang, Tuan Muda Gu!” Xuan Yi mendengar hal tersebut langsung bangkit dari tempat duduk, lalu membantu pelayan itu menaruh satu per satu piring berisikan makanan lengkap dengan sumpit yang ditaruh di samping piring. “Laoba, apa masih ada makanan di belakang?” tanya Xuan Yi melirik ke arah beberapa pelayan yang terlihat sibuk. “Masih ada, Tuan Muda Gu. Sebentar lagi akan datang,” jawab pelayan itu dengan cepat. Xuan Yi mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku akan membantumu saja. Lihatlah, keadaan begitu ramai aku tidak ingin mengganggumu lagi.” “Jangan, Tuan Muda Gu,” cegah pelayan itu langsung menahan tubuh Xuan Yi. Namun, sisi baik pemuda itu sudah mendarah daging membuat Xuan Yi menggeleng pelan. Kemudian, ia melepaskan tangan pelayan itu yang berada di lengannya, lalu berkata, “Sudah tidak apa-apa. Aku melakukannya sendiri. Jangan mencemaskan apa pun lagi.” Sedangkan Shen Jia yang mendengar hal tersebut pun menyenggol lengan Xiao Pingjing, lalu berbisik, “Kau cepatlah bantu, Xuan Yi! Dan kau juga Chang Qi.” Chang Qi menukikkan alis kanannya bingung, lalu tak urung ia mengangguk. “Baiklah.” Sementara itu, Xiao Pingjing bangkit sembari menarik lengan Chang Qi yang masih duduk di meja. Membuat Xuan Yi melihat hal tersebut langsung tersenyum lebar, lalu melenggang dengan santai menuju dapur. Kini tinggallah Shen Jia yang berada di meja tersebut menikmati suasana ramai dari Pavilium Penglai. Jujur saja, ini kedua kalinya ia bisa datang ke tempat legendaris milik Keluarga Gu yang sering kali mendapatkan pujian dari banyak orang. Selain itu, tidak hanya enak. Pavilium Penglai menyediakan banyak sekali keperluan banyak saudagar kaya yang datang hanya untuk memberi kunjungan. Meskipun memberikan banyak fasilitas dengan harga relatif murah. Tak lama kemudian, terlihat tiga pemuda yang datang membawa banyak nampan berisikan berbagai piring sayur dan daging buatan koki khas dari Keluarga Gu. Sebab, koki itu bukan hanya membuat makanan di sini, melainkan memasak juga untuk Keluarga Gu. Walaupun sering kali dibantu dengan Nenek Gu. “Makanan datang!” seru Xuan Yi tersenyum lebar. Kemudian, Shen Jia bangkit dan menaruh banyak piring serta mangkuk kosong ke atas meja. Sampai semua makanan sudah terhidangkan membuat Xuan Yi mengkode pada salah satu pelayan untuk mengambil nampan bawaan mereka. Kini keempatnya tersenyum lebar melihat banyak sekali hidangan sudah tersedia di atas meja. Setelah itu, Shen Jia yang merasa satu-satunya gadis di sana pun langsung mengambil mangkuk kosong dari hadapan Xuan Yi, Xiao Pingjing, dan Chang Qi secara bergantian. Perlakuan manis itu tentu saja membuat tiga pemuda yang ada di sana merasa benar-benar diistimewakan, terlebih perlakuan Shen Jia tidak membeda-bedakan. Bahkan Chang Qi pun merasa dihormati pada Shen Jia sebagai ukuran seorang putri berkelas. “Aku sengaja mengundang kalian ke sini untuk merayakan keberhasilanku dalam kompetisi,” celetuk Xuan Yi membuka percakapan di sela mereka semua menyantap hidangan. “Iya, aku tahu,” balas Shen Jia mengangguk pelan, lalu meletakkan sepasang sumpit miliknya tepat di atas mangkuk. “Kau juga dinobatkan menjadi Pelindung Negara, bukan?” Xiao Pingjing menghentikan kunyahannya, lalu berkata, “Benarkah? Apa Xuan Yi benar-benar menjabat sebagai Pelindung Negara?” “Iya. Aku dinobatkan sebagai Pelindung Negara,” pungkas Xuan Yi mengeluarkan sebuah lencana pengenal berbentuk kuda terbang berwarna perak. Lencana pelindung negara itu benar-benar istimewa dan bisa digunakan untuk melakukan apa pun, termasuk mengunjungi tempat terlarang. “Kau sangat hebat! Bagaimana rasanya?” Xiao Pingjing terlihat menggebu-gebu. “Jelas aku terharu karena disaksikan banyak orang, termasuk Ayahku sendiri,” jawab Xuan Yi tersenyum tipis. “Ayahmu ada di sana?” beo Shen Jia mengernyit bingung. “Iya, aku tidak berbohong. Ayahku benar-benar ada di sana menyaksikan diriku mendapatkan lencana kuda ini,” balas Xuan Yi mengangguk mantap. “Lantas, apa yang Jenderal Gu katakan?” tanya Shen Jia menggebu-gebu. “Tidak ada. Karena kita berdua memang tidak mendapatkan waktu untuk berbincang. Sebab, aku sudah diperintahkan untuk kiembali agar tidak mengganggu waktu belajarku di Akademi Tangyi,” jawab Xuan Yi menghela napas kecewa. Padahal ia bisa menangkap dengan jelas bahwa sang ayah begitu memperhatikan dirinnya. Namun, lelaki gagah nan tampan itu selalu saja tertutupi dengan rasa tidak ingin kehilangan yang menjadikannya sesosok begitu kejam melarang apa pun pilihan Xuan Yi. Larangan tak mendasar itu memang selalu Gu Sheng Jun suarakan pada dirinya sendiri agar tidak terlampau membiarkan Xuan Yi mengejar bakat dan kemampuannya sendiri. Karena ia tidak ingin kalau pemuda itu membalaskan dendam yang pernah hinggap di hatinya. “Aku rasa Jenderal Gu memiliki alasan begitu jelas terhadap larangannya padamu, Xuan Yi. Karena siapa pun tahu dan mengenal bagaimana sikap bijaksana Ayahmu terhadap keselamatan banyak orang. Rasanya sedikit tidak masuk akal ketika Jenderal Gu selalu memperlakukanmu dengan semena-mena,” celoteh Shen Jia tersenyum menenangkan. “Apa yang dikatakan Jia’er benar, Xuan Yi,” timpal Xiao Pingjing mengangguk mantap. “Sepertinya Ayahmu memang memiliki alasan lain, tapi dia tidak bisa mengatakannya.” “Tapi, apa alasan itu terlalu berat hanya untuk mengatakannya padaku?” sinis Xuan Yi mendecih pelan. “Tidak ada yang mudah dalam hidup. Bahkan melahirkanmu ke dunia saja membutuhkan pertaruhan nyawa, Xuan Yi. Kau tidak bisa mengatakan apa pun yang seakan-akan menjadikanmu orang paling menderita di dunia,” balas Shen Jia terdengar sinis. Tidak ada yang tahu bahwa di balik perkataan sinis Shen Jia terdapat seseorang membeku di baliknya. Sesosok lelaki yang bersembunyi di balik jubah hitam tidak jauh dari mereka. “Mungkin yang kau katakan itu benar,” gumam Xuan Yi tersenyum tipis, lalu kembali memakan hidangan di depannya tanpa minat. Sedangkan Shen Jia merasa perkataannya cukup kelewatan pun meringis pelan. Jujur saja, ia hanya bermaksud menyadarkan Xuan Yi agar tidak terlalu memikirkan semuanya dengan pikiran pendek. Sebab, pemuda itu tidak ada yang tahu bahwa di balik perjuangan akan ada pengorbanan begitu besar. Lahirnya Xuan Yi memang lambat laun akan membuat kehidupan dua klan berbeda itu menjadi sedikit terguncang. Apalagi sang ibu yang selama ini Xuan Yi cari entah berada di mana tidak ada yang mengetahuinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD