COB - 1

1685 Words
“Penjualan kali ini berhasil lagi, Di. Gak nyangka penggemar lo banyak.” “God!, Gila sumpah! Ini novel beneran buat orang-orang penasaran.” “Bagus kalau gitu. Berarti penjualan novel yang kali ini juga untung banyak, kan? Jadi, gak usah lo *uber gua terus!” “Ya elah! Gua juga ngejar lo biar penjualan yang sekarang gak turun. Lagian susah banget bikin cerita romance? Ini juga cuman beberapa part doang. Sisanya kehidupan Rindanya doang, kan? Padahal gampang banget bikin adegan romantic—“ “Gak usah banyak omong! Udah selesai, kan?” “Div! Serius, deh! Lo tinggal liat drakor atau liat film romantic gitu. Lumayan, kan bisa buat—“ “Kalau masih mau cetak karya gua, gak usah banyak mau!” Ujar gadis yang kini tengah bangkit dari duduknya seraya menatap lelaki yang kini melihat ke arahnya dengan wajah memelas. Tidak merasa kasihan atau iba sedikitpun, gadis dengan hoodie hitamnya itu memilih mengambil kunci mobil yang ada di meja dan keluar dari restoran. Merasa tidak suka dan tidak nyaman dengan apa yang dibicarakan lelaki tadi. “Romantis, romantis, romantis, emang apa bagusnya sih?! Sebel banget! Dikira gampang bikin cerita romance?!” Gerutunya dengan tangan yang mengeluarkan sebuah kartu pada kasir. Menyugar rambutnya ke belakang, gadis itu lalu menolehkan kepala saat ada seseorang yang menepuk bahunya dengan cukup keras. “Bisa mengantre?” Ujar lelaki itu seraya menunjuk belakang tubuhnya. Tidak merasa bersalah sama sekali, gadis itu lalu memilih menekan beberapa angka pada sebuah alat yang disodorkan kasir sebelum kembali berbalik. “Maaf, tapi saya gak lihat. Jadi, boleh saya menyela?” Jawab gadis dengan nama Radiva yang tertera pada bagian d**a hoodienya itu. Tidak ingin membuat kerusuhan, lelaki di belakang Radiva hanya bisa mengedik mengalah. Lagipula kelihatannya Radiva bukan orang yang begitu baik untuk diajak bicara. Selain karena moodnya yang turun drastic, Radiva juga sedang malas berbicara dengan orang lain. Atau nantinya mereka akan terkena amukan Radiva. Setelah selesai dengan pembayarannya, Radiva langsung pergi begitu saja. Ia menyugar rambut dengan warna galaxynya itu ke pinggir. Memperlihatkan kedua mata sipitnya yang sejak tadi tertutup rambut. Tak lupa pipi besarnya yang kini tengah mengembung kesal. Dagu yang terbelah dan bibir tebal yang sedikit hitam, benar-benar membuat siapapun pasti berfikir jika Radiva adalah sosok menyeramkan. Belum lagi pakaiannya yang hanya memakai hoodie berwarna hitam dengan celana jeans selutut yang ditemani dengan sandal jepit berwarna merah maroon itu, mencerminkan dengan jelas bagaimana sikap Radiva saat ini. Berantakan. Kata yang tepat untuk Radiva. Bukan hanya untuk penampilannya, tapi juga untuk kehidupan dan juga alur novel yang sedang ia buat. Akh! Kalau dipikirkan, Radiva rasanya ingin mati saja. Di saat otaknya stuck, permintaan laknat dari beberapa penerbit yang biasa dijadikannya tempat untuk mencetak buku itu menawarkan agar Radiva membuat novel dengan genre lain. Memang apa salahnya kalau ia membuat novel dengan genre selain romance? Ah, ya. Radiva adalah salah satu penulis novel yang sampai saat ini tidak diketahui oleh banyak orang. Hanya orang-orang yang berurusan dengan buku cetaknya sajalah yang mengetahui siapa Radiva saat ini. Lagipula, siapa yang akan menyangka jika gadis itu adalah pembuat novel? Secara Radiva bukan orang yang baik—jika dilihat dari penampilan. Gadis itu juga sangat aktif keluar rumah. Sedangkan kebanyakan orang yang menjadi penulis akan lebih sering berkutat di dalam kamar dan menghabiskan waktunya untuk memikirkan bagaimana alur dan apa yang harus ditulis pada bab selanjutnya. Radiva juga bukan orang yang sangat suka memegang barang elektronik kekinian. Seperti laptop, ponsel dan ipad. Gadis itu lebih sering membuka garasi dan mengendarai motor. Atau membuka kulkas dan mengisinya dengan bir kalengan. Atau memperhatikan bagaimana jalanan ketika malam hari. Jelas bukan mencermikan sosok penulis bukan? Sungguh, siapapun yang mendengar jika gadis itu bekerja sebagai penulis, maka yang mendengar akan tertawa terbahak-bahak. Seperti wanita yang kini tengah duduk di dalam mobilnya. “Kamu jangan bercanda gitu sama Kakak, Div. gak lucu.” “Ya terserah percaya apa nggak. Gimana Bunda? Kata Raline kemarin sempet sakit?” Tanya Radiva yang enggan melanjutkan pembicaraan dengan wanita yang tak lain adalah Kakak tiri Radiva. Kinan Fernando Archer. Wanita karir yang kini masih menjabat sebagai direktur di sebuah perusahaan keluarga. Wanita yang baru saja meminta Radiva untuk menjemputnya di depan kantor. Wanita yang juga bertanya kenapa Radiva memakai mobil. Karena jarang sekali gadis itu keluar dengan kendaraan beroda empat. Belum lagi pakaian Radiva yang terlihat sangat rapi dari biasanya. Jelas menimbulkan tanda tanya besar bagi Kinan. Tapi saat mendegar jika gadis itu tengah membicarakan masalah penjualan novel, Kinan malah tertawa keras. “Udah agak baikan. Kamu katanya mau ke rumah, kan? Kapan? Kenapa gak datang? Erick aja sampe nanyain sama Raline!” Gerutu Kinan dengan wajah kesalnya. Radiva tidak menjawab dengan ucapan dan malah mengedikkan bahunya acuh. “Jangan gitu, Dek. Kamu kan tahu kalau Bunda gak bisa ditinggalin. Kamu juga tau kan kalau—“ “Aku ke sini karena mau jemput Kakak,” ujar Radiva tegas yang akhirnya membuat Kinan menyerah dan memilih diam. Sedangkan Radiva kini fokus menyetir. Sialan! Hari ini tidak ada yang berjalan lancar! “Mas, bakso polosnya satu, ya! Jangan pake saos. Sambal sama kecap manis aja!” “Siap, A!” Radiva menarik kursi plastic berwarna biru yang ada di dekat meja agar ia bisa mendudukinya. Gadis itu membuka penutup kepala hoodienya dan mulai duduk dengan tenang. Di tangannya terdapat sebuah buku kecil yang tentu saja selalu ia bawa. Buku dengan ukuran 10 cm x 10 cm itu sudah terpasang puplen di sampingnya. “Kamu beneran gak mau?” “Gak. Abang aja,” tolak Radiva pada lelaki yang kini duduk di sampingnya. Gadis itu lalu dengan lihai mencorat-coret kertas yang ada di tangannya dengan tulisan abstrak yang hanya dirinyalah yang tahu. “Nulis apa?” “Coretan,” jawab Radiva seadanya. “Ya, Abang juga tahu. Tapi buat apa?” “Privasi,” singkat gadis itu dan lanjut menulis. “Kamu sekarang pulang ya?” Radiva sontak mengangkat kepalanya dan menatap tajam lelaki yang kini tengah tersenyum miring. “Gak ada. Radiva masih mau di apartemen. Masih banyak—“ “Kerjaan? Apa kerjaan lebih penting daripada Bunda?” Tanya lelaki itu dengan nada dinginnya. Diva tidak tahu harus menjawab apa. Ia terlalu takut untuk pulang ke rumah. Suasana hatinya juga sedang dalam kondisi yang baik. Yang mungkin saja bisa membuat dirinya bertindak normal. Diva benar-benar sedang tidak ingin datang ke rumah untuk saat ini. “Besok aku pulang,” putus Diva dengan nada jengahnya. “Abang maunya kamu pulang sekarang. Gak ada besok, lusa atau minggu depan. Abang mau kamu pulang sekarang.” Brak. “Diva bilang besok ya besok!” Putus Radiva sebelum akhirnya bangkit dan meninggalkan lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah Kakak tiri pertamanya—kembaran Kinan. Kenan Fernando Archer. Lelaki yang umurnya hanya terpaut 6 tahun dengan Radiva itu hanya bisa menghela napas dan memberikan sebuah uang lima puluh ribu pada penjual bakso seraya menggerakan tangannya agar bakso yang ia pesan segera dibungkus. “Radiva!” Panggil Kenan dengan suara tegasnya. Meminta agar adiknya itu diam di tempat dan tidak meninggalkannya di tempat itu sendirian. Bukan takut, ia hanya tidak ingin Radiva pergi ke tempat lain dan bukan pergi ke apartemen. Apalagi sekarang Kenan tau tabiat adik tirinya itu. “Abang boleh urus semua yang Abang mau. Tapi jangan hidup Diva. Jalanin aja yang ada. Toh, Abang gak akan pernah paham sama apa yang aku rasain.” “Tapi itu dulu! Daddy udah gak ada sekarang. Kamu tega biarin Bunda nangis terus tiap malem karena gak ada yang mau nemenin selain kamu?” “Abang juga anaknya. Ada Erick, Kak Kinan, Alin, Regan sama Megan. Kenapa harus Diva?” “Bunda pengen kamu yang jaga dia.” “Tapi itu bukan hal yang baik! Abang sendiri tahu itu, kan? Percuma! Kalian mikirnya Bunda, Bunda, Bunda. Gak ada yang mau mikirin gimana jadinya kalau Diva ada di sana! Sialan!” Umpat Radiva di akhir kalimat sebelum benar-benar meninggalkan Kenan yang diam membeku dengan penjual bakso yang mematung di tempat. Tujuannya kali ini hanya taman di persimpangan komplek. Taman yang selalu berhasil membuat Radiva melupakan apa yang harus ia pikirkan. Taman yang selalu berhasil membuat Radiva merasa tenang hanya dengan melihat danau buatan yang luasnya sebesar kamar mandi Radiva di apartemen. Memakai helm berwarna hitam dengan motor ninja yang senada, Radiva mulai membelah jalan. Meninggalkan segala kesal yang masih hinggap di dadanya itu terbawa oleh angin. Meninggalkan apa yang sudah ia katakan tadi untuk terbawa dengan suara motornya. Meninggalkan hatinya yang masih membeku layaknya es yang tidak pernah mencair sekalipun berada di suhu terpanas. Membiarkan dirinya menjadi sosok 2 tahun yang lalu yang tidak pernah berubah sampai kapanpun. “b*****t! Kenapa semuanya gak paham sih?!” jerit Radiva seraya menaikkan kecepatan motornya. Tangisnya luruh. Sosoknya yang selalu dianggap kuat dan memiliki bahu yang kuat itu jatuh lemah dan tidak bisa apa-apa. Merasa sangat rapuh tanpa ada yang mau menolongnya dikala sedih dan lelah. Merasa sangat tidak berdaya saat mahluk hidup tidak ada yang mau menemaninya sekalipun duka tengah menyelimuti hatinya. Merasa sangat jahat padahal tidak ada kejahatan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Semuanya hanya takdir. Kehilangan sosok ayah juga bukanlah keinginannya. Semuanya adalah rencana Tuhan. Tapi kenapa hatinya masih belum bisa menerima jika orang-orang mengatakan bahwa ia adalah orang yang jahat? Bahwa ia adalah pembunuh? “Sialan!” Ckitt. Radiva menutup matanya bersamaan dengan suara tubrukan keras yang terjadi antara dua motor yang saling beradu. Tubuhnya terpental cukup jauh. Beruntungnya kepala masih dilindungi oleh helm. Dan tidak ada suara tulang patah. Artinya Radiva masih bisa berjalan walau nyeri mulai datang pada lengan dan juga kakinya yang terasa sangat perih. “Maaf, saya tidak meli—lho, Mbak yang tadi gak antre?” Harus banget manggil pake nama itu? “Ada yang luka? Maaf, saya kira tad—“ Radiva tepis dengan kasar lelaki yang baru saja mengulurkan tangan untuk membantunya. Ia tidak perlu bantuan. Ia bisa berdiri sendiri. “Mbak—“ “Pergi! Saya gak apa-apa,” jawab Radiva malas dan berjalan terseok untuk menggapai motornya lalu kembali menyalakan kendaraan roda dua itu sebelum akhirnya pergi. “Judes banget kaya motornya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD