“Bangun, Kebo!”
Adalah kalimat pertama yang Radiva dengar saat membuka mata. Gadis dengan jekat hitam yang memiliki lambang sayap elang itu mengernyit kala menemukan Mocin yang tengah bersedekap dan menatap Radiva dengan wajah kesalnya.
“Kenapa, sih?! Gua baru tidur jam 4 tadi,” jawab Radiva dengan suara seraknya. Gadis itu kembali menarik sarung kotak-kotak yang biasa dipakai Viza untuk sholat. Memejamkan matanya kembali, Radiva kira Mocin akan mengerti dan menjauh dari tempatnya. Tapi dugaannya salah gadis yang sengaja datang pagi-pagi ke markas itu memang bertujuan membangun Radiva.
Dengan wajah tanpa dosa, Mocin ambil satu gelas air di atas meja dan menuangkannya ke atas wajah Radiva. Gadis yang sedang mencoba kembali bermimpi itu langsung membuka mata dan duduk. Tangannya mengusap wajah yang basah dan juga sedikit berbau manis.
“Lo gila, hah?! Itu wine bekas Uya semalem, Anjing!” Marah Radiva seraya mencari air putih yang ada di dekatnya. Menyiram kembali wajahnya yang terasa lengket itu dengan air biasa, Radiva bsia mendengar sayup-sayup tawa milik Mocin. Memang teman tidak punya akhlak.
“Lo sendiri yang minta gua bangunin lo dan paksa lo buat bangun. Lo udah terlalu sering bolos, Div. Bisa-bisa lo di DO lagi dari kampus yang sekarang.”
“Gak akan. Udah awas. Gua udah bangun. Makasih atas caranya yang sangat bermanfaat!”
Radiva bangkit dan menarik sarung Viza dengan tangan kirinya.
“Mau lo bawa ke mana sarung buluk Viza?” Mocin menatap ngeri pada sarung yang sudah lusuh dan memiliki beberapa sobekan di tempat tertentu. Memang Viza paling tidak bisa menjaga barang.
“Mau gua bakar. Beliin yang baru, Cin. ATM dari Bang Kenan ada di lo, kan?”
Mocin mengangguk. “Iya. Ada. Nanti kalau sempet gua beliin.”
“Kek orang sibuk,” gumam Radiva seraya menarik pintu. “Padahal kerjaannya ngerusuh doang.”
“Heh, lo bilang apa tadi?!”
Radiva tidak menjawab. Gadis itu memilih membuka jaketnya dan menyisakan satu kaos kebesaran tanpa lengan dan mulai membuka satu kotak rokok yang ia sembunyikan sejak tadi. Menikmati pemandangan sebentar, Radiva lalu mengecek ponselnya yang sejak tadi bergetar dari saku jaket. Melihat banyak panggilan tak terjawab dari anggota keluarganya, Radiva kembali menyimpan ponselnya. Baru akan pergi dan menikmati sisa rokok yang baru ia nyalakan, sosok lelaki jangkung dengan kaos hitam berhasil menghentikan Radiva.
Menatap wajah lelaki itu dengan baik, Radiva yakin itu adalah lelaki yang ia temui di tempat mie ayam malam itu. Tersenyum miring, Radiva buang sisa rokok di tangannya. Menginjak ujungnya dengan sendal jepit yang ia pakai, Radiva berjalan mendekat. Penampilannya yang masih berantakan dengan wajah bantal, Radiva sama sekali tidak merasa keberatan atau merasa risih dengan hal itu. Justru dengan wajahnya saat ini, Radiva ingin lelaki itu melihat sisinya yang lain.
“Dandi?” Tanya Radiva seraya menepuk bahu lelaki yang berjalan di depannya itu. Merasa namanya dipanggil, lelaki itu menoleh. Menatap Radiva dengan kening mengernyit, lelaki itu sepertinya tidak mengenal dengan baik wajah bantal Radiva.
“Ah, Mbak yang waktu itu beliin saya mie ayam?”
Radiva mendengkus mendengarnya. Senyum gadis itu juga menghilang. Harus banget manggilnya gitu?!
“Iya. Lagi apa?” Sejujurnya Radiva bukanlah orang yang suka berbasa-basi. Tapi, mengingat ini adalah umpan yang paling baik untuk perkembangan novelnya, Radiva harus melakukan sesuatu yang tidak biasa.
“Oh, ini saya lagi mau beli bubur. Kebetulan dekat sini ada bubur yang enak. Mbak sendiri?”
“Ah, itu…” Gak mungkin kan gue bilang kalau abis tidur di markas?
“Radiva! Lo tadi bilang apa?! Itu kasur bekas lo lipet lagi! Markas mau dipake buat rapat nanti malem, kan?!”
Radiva yang mendengar suara menggelegar dari sebrang langsung menatap tajam Mocin. Gadis yang saat ini sedang Radiva lihat dengan tatapan kematian itu malah mendelik dan bersedekap.
“Oh, Mbak anggota geng motor yang di—“
“Bukan!” Jawab Radiva dengan cepat. Gadis itu menggelengkan kepala kaku seraya menunjukkan jari tengahnya pada Mocin yang saat ini sedang menutup mulut di tangga kayu menuju pintu. “Kemarin malam saya jatuh di deket sini, ditolong sama temen saya. Dibawa kemari.”
Lelaki yang memiliki nama Dandi itu mengangguk ragu dan menatap Mocin yang sedang meledek Radiva dengan memeletkan lidah. “Kalau gitu, saya mau ke sana dulu ya, Mbak. Permisi.”
“Gimana kalau makan bareng? Kebetulan saya juga belum s***p—“
“Heh! Kutil gajah! Beresin kasur lo cepetan!” Teriak Mocin lagi dengan suara yang lebih menggelegar. Dan hal itu berhasil membuat kemarahan Radiva naik ke ubun-ubun. Tidak lagi memperdulikan Dandi yang ada di depannya, Radiva memilih berjalan cepat menuju Mocin yang langsung kabur ke dalam.
“Sialan! Sini gak lo, Anjing!”
Dandi yang masih ada di tempatnya tersentak kaget. Lelaki itu mengedipkan matanya beberapa kali dengan mulut menganga. Apa ia tidak salah dengar?
“Tidak!”
“Mocin b*****t! Sini lo!”
Menelan salivanya kasar, Dandi memilih berbalik dan pergi dengan perlahan. Lelaki itu tahu jika biasanya anak-anak geng motor kasar dan tidak memiliki aturan—dalam pikiran Dandi adalah bebas yang tidak terikat. Tapi, melihat dengan langsung bagaimana kasar dan juga bebasnya sosok anak geng membuat jiwa Dandi bergetar takut. Ia saja tidak pernah mengucapkan kalimat sekasar itu pada teman baiknya. Apalagi dengan nada tinggi seperti gadis tadi.
“Masnya kaget denger suara tadi, ya?”
Dandi mengusap dadanya mendengar suara ibu-ibu yang ada di belakangnya. Lelaki itu tersenyum canggung pada wanita yang tengah menggendong anaknya. Melihat jarak tukang bubur yang sudah dekat, Dandi rasa ibu itu juga akan memiliki tujuan yang sama.
“Udah biasa itu, Mas! Setiap malem juga kalau gak digebrak pak RT gak akan pada diem,” timpal ibu-ibu lain yang entah sejak kapan ada di samping Dandi.
“Ah, saya baru di sini. Kebetulan keluarga saya baru pindah ke rumah di sekitar sini.”
“Oalah, pantas! Masnya dulu tinggal di mana?” Tanya ibu-ibu lain yang berada di belakang Dandi.
“Saya dulu tinggal di PI, Bu. Di sini gak akan lama.”
“Oh, yang deket sama mall itu, ya?”
Dandi mengangguk dan tersenyum manis.
“Aduhay! Itu senyum apa gula, Mas? Saya sampe gak bisa kedipin mata,” goda perempuan dengan dress berwara mencolok di mata Dandi itu dengan gaya khasnya. Dandi melihat sekitar, kenapa ia jadi dikelilingi ibu-ibu?
“Berapa lama di sini, Mas?”
“Sekitar 2 minggu,” jawab Dandi ramah. Lelaki yang kini berada di tengah-tengah para ibu-ibu itu tersenyum canggung kala tempat yang ia tuju sudah sampai. “Saya mau pesen buburnya dulu, Bu.”
Ibu-ibu yang memang sempat menutupi Dandi dari depan itu langsung tertawa kecil dan sedikit menyingkir. Memberi jarak pada Dandi agar lelaki itu bisa memesan bubur.
“Mau berapa bungkus, Mas?” Tanya tukang bubur di depan Dandi dengan ramah. Dandi yang baru akan memesan langsung terdiam kala mendengar suara ribut dari belakang tubuhnya.
“Dia kan yang jadi ketuanya?”
“Iya, Bu! Saya heran, deh. Kok bisa anak cewek dilepas gini.”
“Orang tuanya gak mau ngurusin kali!”
“Biasanya kan kalau anaknya berandal gini, orang tuanya gila kerja.”
“Tapi kan bisa jagain—“
“Selain mata, mulut ibu ditempelin setan juga?” Balas Radiva dengan gaya sangarnya. Gadis yang entah sejak kapan ada di belakang Dandi itu menatap satu-satu wanita yang kini terdiam dan mulai berjalan menjauh.
“Eh, Neng Radiva. Mau pesen berapa, Neng? Kaya biasa?” Tanya tukang bubur dengan ramah pada Radiva yang duduk di kursi plastik.
“Mau makan di sini?” Tanya Radiva pada Dandi yang masih terkejut dengan kehadiran Radiva.
“Hah?”
“Lo mau makan di sini?” Tanya Radiva lagi. Kali ini dengan nada datarnya. Dandi mengangguk pelan. “Oke. Mang, dua ya. Satu kaya biasa. Satu lagi sesuaiin aja sama pesenan dia.”
Tukang bubur itu langsung mengangguk dan berbalik. Menyiapkan pesanan yang Radiva ucapkan. “Masnya mau campur atau…”
“Saya jangan pakai bawang sama kacang, Mas.”
“Oke, Mas. Saya tak buatin dulu, ya, Mas.”
Dandi mengangguk dan berjalan menuju Radiva yang asik merokok seraya memainkan ponsel. Satu fakta baru yang membuat Dandi berkedip beberapa kali. Ini memang hanya perasaannya saja atau Radiva memang sengaja memperlihatkan kebiasaan gadis itu? Bagaimana bisa Radiva yang sebelumnya terlihat ramah itu berubah 180 derajat menjadi sosok yang sangat menyeramkan?
Dandi menarik kursi plastik di depan Radiva dan menatap Radiva dengan teliti. Bagi ukuran perempuan, Radiva tidak terlalu buruk. Memiliki wajah yang manis dan putih, Radiva juga memiliki lesung pipi yang tampak kala gadis iitu menjilat bibirnya. Mata yang kecil dengan hidung bangirnya, Radiva malah bisa dikatakan cantik.
“Kenapa?”
Dandi yang sadar langsung menggeleng dan merapalkan istighfar dalam hati. Kenapa bisa ia melihat perempuan yang jelas bukan muhrimnya secara terang-terangan?!
“Ah, maaf. Saya tidak bermaksud.”
Radiva mengangguk santai. Gadis itu mematikan rokok di tangannya pada asbak yang tersedia di meja dan mulai mengambil sendok. Memberikannya satu pada Dandi, Radiva lalu tersenyum miring melihat Dandi yang menunduk.
“Lo pasti udah denger apa yang mereka omongin, kan? Jadi, gua gak perlu kasih tahu lagi.”
“Ya?”
“Sorry bohong tadi. Yang mereka bilang bener.”
“Tentang apa?”
Radiva tertawa kecil. “Semuanya, mungkin?”
“Orang tua kamu gila kerja juga?”
Radiva menggeleng kecil. “Untuk yang itu kayanya nggak.”
“Kayanya?”
“Ini pesenannya Neng, Mas,” ujar tukang bubur yang membuat pembicaraan Radiva dan Dandi terhenti.
“Abang orang sunda apa orang jawa, sih?”
“Menyesuaikan, Neng. Multi talent gini-gini juga, Neng.”
Diva terkekeh pelan dan mengangguk. Melihat tukang bubur yang sudah pergi, Radiva lihat Dandi yang sudah mulai memakan buburnya.
“Single?” Tanya Radiva tiba-tiba. Yang mana membuat Dandi langsung terbatuk hebat dan mengambil air minum di sebelahnya. Radiva mengangkat halisnya sebelah, memangnya ada yang salah dengan pertanyaannya?
“Maksudnya?”
“Lo single gak?” Tanya Radiva lagi.
“Memangnya kenapa kalau saya masih sendiri?”
“Mau gua jadiin pacar. Gimana? Mau?”