Menguap adalah salah satu kebiasaan Radiva ketika mendengarkan ceramah panjang. Gadis yang saat ini duduk dengan kaki terangkat satu itu menutup mulunya yang mulai terbuka lebar karena mengantuk. Beberapa kali juga Radiva usap matanya yang berair.
“Radiva!” Gemas Oma. Wanita dengan dress panjang dan juga outer berwarna coklatnya itu menghela napas panjang saat Radiva membalas dengan deheman pelan.
“Apa Oma?” Tanya gadis itu seraya mengambil satu toples berisi camilan.
“Kamu dengerin Oma gak, sih?!”
“Denger, Oma. Diva denger,” jawab Radiva kesal. Gadis itu kemudian memindahkan saluran televisi di depan sana menjadi kartun kesukaannya.
“Kalau kamu denger, kenapa gak pulang?!”
Radiva mengusap telinganya dengan pelan. “Oma, rumah Bunda itu jauh sama kampus aku yang sekarang. Gak mungkin Radiva telat setiap hari, kan?”
“Kan Oma juga udah bilang, jangan di sana. Ada kok kampus yang deket sama rumah kakak kamu. Di sini kamu cuman sendiri. Liat apartemen kamu! Udah kaya kapal pecah.”
“Itu karena Oma gak bilang dulu sama Diva mau ke sini. Siapa tahu Diva bisa beresin yang ada di dapur kalau Oma ke sini,” jawab Radiva santai.
Oma menghela napas entah yang ke berapa kalinya seraya mengelus dadanya pelan. Mencoba sabar dengan kelakukan salah satu cucunya. Tadinya, ia akan datang ke apartemen sang cucu siang ini. Tapi begitu mendengar bahwa Radiva tidak pulang dan menghilang sejak semalam, Oma segera mendatangi apartemen gadis itu pagi-pagi. Dan sesuai dugaannya, gadis itu tidak ada di apartemen dan baru kembali setelah ia telepon beberapa kali.
“Kamu gak lupa kalau besok hari peringatan—“
“Kematian Daddy? Anak-anaknya banyak. Pada punya uang semua. Tanpa aku, mereka bisa buat syukuran yang besar.”
“Tahlilan! Bukan syukuran! Dikira mereka mau rayain apa!” Sentak Oma dengan nada kesalnya. Radiva mengangguk malas. Gadis itu menguap sekali lagi. Namun kali ini tidak ditutupi, membuat Oma menyentil kening gadis itu seraya berdecak.
“Jangan marah-marah, Oma. Darah tingginya kambuh, Diva yang repot.”
“Kamu tuh, ya! Sopan sedikit kenapa, sih? Oma udah jauh-jauh dari Bandung ke sini buat kamu. Kamunya malah gak terima Oma dengan baik. Apa gini—“
“Cukup. Oma udah terlalu banyak marah-marah. Sekarang, mending Oma minum terus pulang lagi.”
Oma membulatkan matanya mendengar ucapan Radiva. Wanita itu bangkit dan menatap Radiva kesal. Ia mengangkat tangannya guna menarik telinga sang cucu. Namun hal itu urung kala melihat Radiva yang menatapnya dengan wajah menjengkelkan. Halisnya terangkat dan bibirnya tersenyum miring. Seolah menertawakan apa yang akan dilakukannya sebentar lagi.
Berdecak kasar sekali lagi, Oma lalu kembali duduk. Tangannya mengurut ujung hidung secara perlahan. Rasa pusing langsung menyerang saraf otaknya melihat kelakuan cucunya yang satu ini. kenapa begitu mirip dengan David, sih?!
“Oma gak usah capek-capek datang cuman mau minta aku pulang. Nanti, kalau waktunya udah ada, aku pulang kok.”
“Kapan? Sampe Oma mati dulu?!” Tanya wanita itu dengan nada galaknya. Radiva terkekeh pelan dan menaruh toples yang sejak tadi ia peluk. Duduk menyamping, Radiva ambil tangan Oma dan mengecup punggung tangan wanita itu sekali.
“Kalau Oma mati, siapa yang mau peluk aku waktu nangis malem?” Tanya Radiva yang kali ini berhasil menyayat hati wanita paruh baya itu. Kedua sudut bibir Radiva terangkat membentuk senyum, tapi matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Hal yang semakin membuat wanita kesayangan Radiva itu tak bisa menahan rasa kesalnya lama-lama.
“Ada guling!” Jawab Oma berusaha tak acuh. Wajahnya sengaja ia palingkan agar tidak luluh dengan mimik menyedihkan sang cucu.
“Gak enak. Gak seempuk Oma. Lemak Oma juga bikin anget,” jujur gadis itu lalu memeluk Oma dari samping.
“Enak aja! Oma langsing, ya! Kamu tuh yang jarang olahraga.”
Radiva terkekeh pelan. “Iya, iya. Oma Diva langsing pake banget. Sampe kerasa tulangnya doang, gak ada lemaknya.”
“Kamu tuh ya! Emang paling bisa buat Oma kesel!”
Radiva tidak mendengar. Gadis itu masih memeluk Oma dari samping. Mendongkak, Radiva lihat wajah Oma yang sedang menatapnya. Mata gadis itu menyipit kala tangan Oma hinggap di kepalanya dan mengelus pelan.
“Jadi anak yang pinter, yang baik. Jangan jadi anak badung! Kasian Daddy kamu di atas sana tahu gak kalau liat anaknya nakal!”
Radiva mengangguk kecil. “Radiva janji gak akan dikeluarin lagi dari kampus yang sekarang.”
Oma mengusap rambut Radiva dengan lembut. “Semua bayarannya udah lunas?”
“Seperti yang Oma udah duga,” jawab Radiva dengan nada santai.
“Sama siapa? Kak Kinan?” Tebak Oma yang dijawab dengan gelengan pelan dari Radiva.
“Abang Ken. Kemarin malam juga minta aku pulang. Dia bilang Bunda sakit.”
“Terus? Kenapa gak pulang? Bunda mungkin kangen sama kamu.”
Radiva tertawa keras. Gadis itu melepaskan pelukannya dan menatap Oma. “Oma lagi ngeledek aku?”
“Kok ngeledek?”
“Ya, itu. Bunda kangen sama aku terus sakit? Mustahil! Yang ada dia nambah sakit liat anaknya.”
Oma menatap sendu Radiva. Wanita itu menghela napas panjang. Ia ambil tangan Radiva sebelum meminta Radiva menatapnya. “Oma percaya kalau kamu masih sayang sama Bunda. Kamu gak akan ninggalin dia. Bunda kaya gitu karena dia lagi gak sadar aja, Nak. Kamu tahu kan, gimana Bunda manjain kamu dari dulu? Pernah Bunda gak bela kamu dari Raline?”
Radiva menatap ke arah lain. Gadis itu sudah kesal setengah mati mendengar ucapan sang nenek yang selalu membawa perkara tentangnya dan juga kembarannya Raline.
“Kalau kamu ngerasa paling sakit, pernah kamu bayangin jadi Erick? Dia bahkan lebih menderita dari kamu, Nak.”
“Oma bisa pulang,” usir Radiva seraya melepaskan tangannya yang masih digenggam Oma. Gadis itu bangkit dan mengambil satu bungkus rokok di atas nakas. Sebelumnya, Radiva sempatkan mengecup punggung tangan sang nenek lalu pergi berlalu. Keluar dari unit apartemennya, meninggalkan Oma sendiri di dalam sana.
Radiva benci dengan kalimat itu. Ia sangat benci saat orang lain meminta ia melihat keadaan adik lelakinya. Erick. Adiknya yang saat ini berumur 18 tahun itu memang menjadi yang paling tertekan dari yang lain. Memiliki wajah dan sifat yang hampir 100% mirip dengan sang ayah, Erick tak jarang menjadi satu-satunya teman ibu mereka untuk melepas rindu. Lelaki itu bahkan sampai melepaskan pertandingan basketnya demi menemani Bunda mereka yang sakit dan terus mengigau memanggil sang ayah.
Karena kecelakaan 10 tahun lalu, Zira—ibu Radiva sekaligus orang tua tunggal Radiva dan yang lain mengalami depresi berat. Dan depresi itu masih belum sepenuhnya sembuh sampai sekarang. Yang mana itulah alasan Radiva enggan pulang. Radiva masih belum kuat untuk menginjakkan kakinya ke sana. Hatinya masih belum siap menerima kata-kata dari sang bunda.
“Sial!” Umpat Radiva begitu tangannya membentur pintu apartemen dan membuat rokok yang dipegangnya jatuh ke bawah. Radiva lihat pintu apartemen siapa yang baru saja terbuka sampai membuat rokoknya terjatuh.
“Loh? Mbak yang nabrak saya semalem, ya?”
Radiva mengangkat sebelah halisnya dan menatap laki-laki jangkung di depannya itu dengan tatapan bingung. “Lo kenal gue?”
“Masa Mbak udah lupa. Saya yang gak sengaja Mbak tabrak malem. Yang Mbak gak mau bantuan saya. Padahal motor Mbak lecet parah.”
Radiva mengangguk beberapa kali ketika mengingat kejadian semalam. Di mana ia yang menabrak sebuah motor. Tapi, karena terlalu kesal dan marah dengan ucapan kakaknya semalam, Radiva tidak ingat sama sekali dengan wajah lelaki ini. Dan lagi, memangnya ia yang menabrak ya? Atau jangan-jangan sebenarnya dia yang ditabrak?
“Butuh berapa?” Tanya Radiva seraya mengeluarkan dompetnya dari saku celana jeans.
“Apanya, Mbak?” Tanya lelaki itu yang tidak mengerti dengan maksud Radiva.
“Motor lo rusak, kan? Ke rumah sakit semalam? Habis berapa? Biar gue ganti.”
“Ah, gak perlu, Mbak. Saya yang harusnya ganti rugi.”
Radiva menatap sekilas lelaki di depannya dan mengedikkan bahunya acuh. “Ya udah kalau lo gak mau.”
Terkekeh kecil, lelaki di depan Radiva itu lalu memungut rokok yang jatuh tepat di depan pintunya. “Mbak tinggal di gedung ini?”
“Hm,” jawab Radiva dan mengambil rokoknya kembali. Gadis itu lalu berencana pergi. Namun, baru akan berjalan menuju lift, tangannya sudah lebih dulu dicekal.
“Saya gak perlu uang, Mbak.”
“Ya udah. Gue gak akan kasih.”
“Tapi Mbak masih harus tanggung jawab karena udah buat saya kecelakaan semalam.”
Radiva mengernyit tidak suka. Tadi, lelaki itu bilang tidak perlu. Kenapa sekarang minta pertanggung jawaban?!
“Gua gak paham sama omongan lo.”
“Saya gak perlu Mbak ganti rugi motor atau obat yang saya tebus. Mbak cukup balas dengan hal lain.”
Radiva terkekeh miring. Gadis itu bersedekap dan menatap lelaki di depannya dengan tatapan sombong. “Ribet juga hidup lo. Mau apa?” Tanya Radiva seraya menyalakan rokoknya.
“Makan malem bareng saya,” jawab lelaki itu percaya diri.
Radiva mengernyit. “Gue gak pernah makan malam,” jujurnya dan kembali melenggang pergi. Namun lelaki itu masih menahannya dan tidak membiarkan Radiva pergi.
“Saya gak mau tahu. Mbak harus tanggung jawab.”
Radiva menatap tidak suka lelaki di depannya. Wajahnya yang datar menatap tajam pada lelaki itu. Ia bahkan tidak melakukan apapun. Semalam hanya karena ia yang terlalu marah, ia menabrak orang. Dan biasanya hanya dengan uang semuanya selesai, sekarang kenapa terasa rumit.
“Gue gak pernah hamilin lo ataupun sebaliknya,” jawab Radiva dengan nada kesalnya. “Jadi, gak usah ngedrama. Gue gak pernah merasa punya hutang budi sama lo.”
“Loh, tapi Mbak—“
Radiva mengangkat jari tengahnya seraya berbalik. Berjalan menuju lift dan meninggalkan lelaki itu. sedangkan masih di tempatnya, lelaki yang sejak tadi menahan Radiva itu menggelengkan kepala dan bersedekap kecil. Tawa kecilnya ikut keluar.
“Mungkin sekarang lo gak punya hutang sama gue. Tapi gue pastiin lo bakal punya hutang budi sama gue, Radiva.”
***
“Lama banget, gila! Gua udah di sini hampir 1 jam! Lo abis ngapain, sih?!”
Radiva tidak menjawab. Gadis itu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. memasang sabuk pengaman, Radiva lalu menyandarkan punggungnya ke jok. “Gua bolos lagi boleh gak, Cin?”
“Mau kemana lo sekarang, hah?!”
“Anter gua ketemu sama Erick.”