Part 2

1522 Words
Pukul lima sore Ningsih dan Nadira baru pulang dari pasar membeli beberapa pakaian untuk Nadira. Di teras rumah sudah terparkir sepeda motor milik Anton. Menandakan pria tersebut sudah berada di dalam rumah mereka. Seperti dugaan Ningsih dan Nadira, Anton sudah duduk dengan angkuh di kursi yang berada di ruang tamu. “Cepat masuk! Aku ingin melihat seperti apa pakaian yang kau belikan untuk Nadira!" Tubuh Ningsih langsung bergetar saat mendengar nada bicara Anton yang sangat tinggi dan keras. Perlahan, Ningsih membuka paper bag yang ia bawa. Satu set long dress lengan panjang, dengan stelan hijab bermotif bunga. Itu yang keluar dari paper bag tersebut. Melihat itu semua Anton langsung menarik baju tersebut dan melemparkannya ke atas lantai. “Sudah kuduga kau tidak akan paham maksud dan ucapanku.” Anton meraih paper bag yang berada di dekat kakinya, dan melemparkannya ke atas pangkuan Nadira. “Pakailah! Papa ingin melihat. Cocok atau tidaknya untukmu.” “Baik, Papa.” Tidak ingin ada masalah baru, Nadira langsung beranjak dan masuk kedalam kamar untuk mencoba pakaian yang telah di belikan Anton untuknya. Beberapa menit berlalu, akhirnya Nadira keluar dari kamar. Ia terlihat menarik-narik bagian bawah dress yang kini melekat ditubuhnya. Karena mini dress tersebut sangat pendek dan terasa sempit. Anton langsung menyeringai melihat ke arah Nadira. Gadis remaja itu terlihat sangat cantik, dengan mini dress berwarna pink diatas lutut. Potongan lebar di bagian d**a, sehingga leher baju tersebut melebar hingga ujung bahunya. Sedangkan Ningsih termangu melihat putrinya berpakaian layaknya wanita malam. “Mas! Ini terlalu terbuka, Mas. Bukankah Mas ingin mengajak Nadira untuk melihat pekerjaan? Pakaian ini jauh dari kata sopan, Mas.” “Tidak ada yang boleh membantah. Jika ada yang berani membantah, kalian berdua tau akibatnya.” Anton langsung masuk kedalam kamar, untuk mengistirahatkan tubuhnya. Melihatnya menghilang di balik pintu kamar, Nadira langsung menghambur ke dalam pelukan Ningsih. “Ma ... Tolongin Nadira, Ma. Nadira tidak ingin memakai pakaian seperti ini. Nadira mohon, Mama.” “Kamu tenang, sayang, Mama akan mencoba untuk berbicara kembali dengan papamu. Mama yakin Papa mu hanya bercanda saja. Tidak mungkin dia serius dengan ini semua. Kamu percaya, ya, sama, Mama.” Nadira mengangguk pelan di dalam pelukan Ningsih. ** Matahari telah terbit untuk menggantikan tugas rembulan menyinari bumi. Hari ini, Nadira masuk siang, karena ia akan melaksanakan ujian akhir Nasional. Seperti pagi biasanya, Nadira dan Ningsih telah selesai menyiapkan sarapan dan segala keperluan Anton sebelum pergi bekerja. “Kamu teruskan, ya. Mama ingin membangunkan Papamu dahulu.” Ningsih mengusap lembut bahu Nadira. Gadis cantik itu menganggukkan kepalanya. Sesuai perintah, Nadira melanjutkan tugas menyiapkan sarapan. “Mas, bangun. Sarapannya sudah selesai, Mas. Mas juga bisa terlambat, jika Ms belum bersiap” Ningsih mengguncang lengan Anton dengan lembut. “Mmhh ... iya. Aku akan segera bangun dan bersiap. Dan tolong pastikan ketika aku sampai di ruang makan Nadira telah berpakaian dengan rapi.” “Ba-baik, Mas.” Jawab Ningsih lirih. Dari semalam, Ningsih belum mendapatkan cara untuk berbicara serius dengan Anton. Masalah baju yang akan di gunakan oleh Nadira ke kantornya. Namun, Ningsih masih berpikir positif. Berharap Anton tak mempermasalahkan Nadira tidak menggunakan baju yang di belikannya kemarin. Dengan langkah gontai, Ningsih kembali ke dapur. Untuk meminta Nadira segera bersiap sebelum Anton selesai berkemas. Sepuluh menit berlalu, akhirnya Nadira selesai bersiap. “Kamu terlihat cantik, sayang.” “Terimakasih, Mama.” Nadira menarik kedua sudut bibirnya. Sungguh senyuman yang begitu manis. “KAU SUDAH MULAI MENCOBA MEMBANTAH AKU NINGSIH!” sergah Anton dari ambang pintu dapur. Dalam sekejap senyuman yang sempat menghiasi wajah mereka sirna. Berganti dengan wajah yang pucat pasi, takut akan kemarahan Anton. “Ma-maaf, Mas. Nadira tidak mungkin menggunakan pakaian seperti itu, Mas. Pakaian itu terlalu terbuka dan lebih cocok dipakai oleh wanita penghibur.” “Na-na, Na-nadira malu menggunakannya, Papa," susul Nadira. Dengan kepala yang menunduk. “CEPAT KAU GANTI PAKAIANMU. JIKA TIDAK, INI AKAN MELEKAT PADA KULIT MULUS MAMAMU.” Anton berteriak, sambil membuka ikat pinggang yang ia gunakan. “Baik, Papa.” Nadira langsung berlari keluar dapur. Saat melewati Anton, Nadira menghentikan langkahnya. “Aku akan melakukan apapun. Tapi jangan pernah Papa sakiti mamaku.” Setelah mengganti pakaiannya, Nadira Ikut bergabung dengan kedua orangtuanya untuk sarapan. Ia berusaha mengabaikan pakaian minim bahan yang kini melekat ditubuhnya. Agar sang ibu aman dan tidak menanggung apapun lagi demi dirinya. “Berapa lama kamu ujian, Nadira?” tanya Anton. Membuka kembali percakapan mereka. “Empat hari, Papa. Setelah itu, Nadira harus menunggu selama dua minggu untuk mendapatkan hasil kelulusan.” “Baguslah. Berarti tinggal dua minggu lagi, kita akan kembali menjadi orang kaya.” Anton menyeringai, mengingat rencananya yang akan berlangsung dalam waktu lebih cepat dari yang ia perkirakan. Nadira menatap kepada sang mama, agar Ningsih menyampaikan keinginan semalam. “Maaf, Mas. Kalau boleh, izinkan Nadira untuk bekerja satu tahun ini mas. Izinkan putri kita menikmati masa remajanya. Aku juga belum siap berpisah dari Nadira jika dia menikah.” Dengan perasaan takut, Ningsih mencoba menyampaikan keinginan putri semata wayangnya itu. Bukannya menjawab dengan mulut, Anton justru menjawabnya dengan membalikkan meja makanyang terbuat dari kayu tersebut. Membuat Nadira dan Ningsih semakin ketakutan. “Kau harus tau diri, Nadira. Kau itu orang miskinn! Tidak seharusnya kau bermimpi setinggi itu. Kau akan kunikahkan dengan pria muda nan tampan, dan kaya raya. Apa lagi yang akan kau cari, hahh. Pakai sepatumu. Kau ikut bersamaku!” Anton langsung meninggalkan dapur yang telah berantakan tersebut. Nadira menghapus air matanya dengan kasar. Ia harus rela mengubur semua angan dan cita-citanya. Nadira langsung berjongkok, untuk membersihkan kekacauan yang telah di buat oleh Papanya. “Biar Mama saja, Nak. Kamu segera susul apa, Mama tidak ingin kamu dimarahinya lagi.” Ningsih langsung mengambil alih pekerjaan Nadira. Nadira mengangguk dan segera menyusul papanyanya. Meskipun ia masih berat untuk pergi. Sesampainya di tempat Anton bekerja, Nadira langsung diminta menemui Bos tua di ruangannya. Dengan perasaan gugup, ia mengetuk pintu ruangan kerja Bos tua tersebut. Tok tok tok. “Masuk.” Suara khas Pria berusia senja, menggema di dalam ruangan tersebut. Perlahan Nadira masuk dengan langkah kecil dan berat. “Selamat pagi, Pak. Nama saya Nadira Almaira. Papa meminta saya untuk menemui, Bapak. Papa saya berharap, saat lulus nanti ada lowongan pekerjaan untuk saya di sini, Pak.” Tidak ingin berlama-lama, Nadira langsung menyampaikan tujuan kedatangannya sesuai dengan perkataan Anton. Alih-alih menjawab, Bos tua itu malah tertegun seraya menelan salivanya dengan susah payah. Melihat gadis cantik yang masih muda, dan bertubuh molek membuatnya semakin kehilangan akal sehat. “Saya Baskoro Hendarso. Panggil saja Bos tua. Kamu pasti akan saya terima dengan senang hati.” Bos tua tersebut menyeringai kepada Nadira. ** Dua Minggu berlalu, setelah pertemuan antara Nadira dengan Baskoro. Dan lusa adalah hari pengumuman kelulusan di sekolahnya. Di saat murid yang lainnya, menghayalkan dunia pekerjaan dan dunia perkuliahan. Nadira justru merasakan ketakutan, karena hari pernikahannya semakin dekat. Hari Kamis adalah pengumuman kelulusan, dan hari sabtu adalah hari pernikahannya. Walaupun hari pernikahannya kian mendekat, tetapi belum pernah sekalipun Nadira bertemu dengan calon suaminya itu. Dan sang ayah pun selalu mengelak saat sang ibu ingin bertemu dengan calon menantunya sebelum hari pernikahan Nadira tiba. Seperti biasa. Siang ini Ningsih telah berada di tempat Anton bekerja. Ia membawa sebuah rantang yang berisi lauk dan nasi untuk suaminya makan siang. Tetapi ada yang berbeda siang ini. Anton tidak ada di tempat biasa ia menunggu kedatangan Ningsih. Karyawan lain mengatakan Anton di panggil Bos tua ke ruangannya, untuk membicarakan hal yang sangat penting. Ningsih langsung menyusul, suaminya tersebut sesuai arahan dari temannya. Sesampainya di depan ruangan tersebut, Ningsih bisa mendengar dengan jelas, Anton menyebut namanya dan Nadira. Dengan bermodalkan kenekatan, ia menguping pembicaraan Anton dengan Bosnya itu. “Ini uang muka untuk pernikahanku dengan Putrimu Nadira. Begitu surat kelulusannya keluar aku akan melunasinya. Dan satu hal lagi, pernikahan ini hanya pernikahan siri. Nadira hanya pemuas nafsuku, dan tidak akan pernah ada anak di antara kami berdua.” Bos tua tersebut menyodorkan amplop coklat yang sangat tebal kepada Anton. “Baik ,Bos.” Anton menerima amplop coklat tersebut. Seperti ada petir yang menyambar di atas kepala Ningsih, dadanya begitu sakit. Saat ia mengetahui Putri kecilnya akan di nikahi oleh pria yang seumuran dengan Ayahnya. Jika orang tua Ningsih masih hidup. Dengan langkah gontai Ningsih meninggalkan pintu ruangan tersebut, dan menitipkan makan siang Anton kepada rekan kerjanya. Dan beralasan, ia tidak bisa menemukan ruangan Bos tua tersebut. Selama dalam perjalanan, Ningsih telah bertekad, untuk membawa Nadira pergi jauh dari papanya. Ia sudah tidak mampu untuk menjalani amanat dari mertuanya. Ningsih menyerah karena ini menyangkut masa depan Nadira dan tekatnya telah bulat untuk pergi selama-lamanya. Hari kelulusan telah tiba, dan Nadira dinyatakan lulus dengan nilai terbaik. Nadira dan temannya bersorak bahagia karena kelulusan mereka. Tetapi semua kebahagiaan itu langsung sirna, saat Nadira menginjakkan kaki di rumahnya. Ia melihat sang Mama yang telah babak belur di cambuk oleh Anton. Karena ketahuan menyembunyikan sejumlah uang, dan sebuah koper yang berisi pakaiannya dan Nadira. Hingga Anton memutuskan untuk menikahkan Nadira hari itu juga. Setelah puas mencambuk Ningsih, Anton langsung pergi mempersiapkan pernikahan Nadira dan bosnya, yang akan di laksanakan setelah sholat isya. Akan tetapi, sebelum Adzan maghrib berkumandang, Nadira dan Ningsih berhasil kabur dari rumah. Ningsih menghapus air matanya, mengenang nasib buruk yang dialaminya. Ia berharap kepergiannya dan Nadira akan mengubah kehidupan mereka dan menyadarkan Anton dari segala kekhilafannya. Ningsih tersenyum getir, melihat Nadira yang tertidur di dalam pelukannya. Beruntung, ia bisa menumpang di dalam truk pengangkut barang. Jadi, ia dan Nadira bisa terbebas dengan mudah dari Anton.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD