Part 3

1141 Words
Sesampainya di Jakarta, Nadira dan Ningsih tinggal di samping kontrakan Darto. Darto dan istrinya tidak memiliki anak, sehingga mereka berdua merasa bahagia saat Nadira tinggal berdekatan dengan mereka. Karena pasangan suami istri itu akhirnya bisa merasakan memiliki seorang anak. Untuk menyambung hidup, Nadira bekerja di sebuah restoran cepat saji. Di sana ia bekerja sebagai cleaning servis. Sedangkan Ningsih, membantu istri Darto, Mita. Mencuci dan menyetrika pakaian yang dititipkan para tetangga. Menjalani hari-hari tanpa sosok Anton, membuat kehidupan Nadira dan Ningsih jauh lebih baik. Kehidupan mereka berjalan normal seperti kehidupan orang lain. Tidak ada teror dan teriakan dari Anton lagi. Enam bulan berlalu, kehidupan Ningsih dan Nadira semakin membaik. Nadira sudah tidak bekerja lagi di restoran cepat saji. Setelah mengumpulkan gaji selama ia bekerja, Nadira bisa membuka usaha kecil-kecilan di depan kontrakan miliknya. Ia membuka usaha, kue kering dan basah. Usaha tersebut berjalan dengan sangat lancar, membuat Nadira sangat bersyukur karena usaha tersebut bisa memberikan perkerjaan yang lebih baik untuk Mita juga. Seperti hari minggu biasanya, Nadira dan Ningsih akan pergi ke swalayan untuk membeli bahan baku kue mereka. Terlalu asyik memilih bahan kue, Nadira dan Ningsih tidak melihat ada seorang pria yang tersenyum sinis melihat mereka berdua. Pria tersebut sudah menghabiskan waktu dan uang yang dimilikinya untuk mencari kedua wanita yang berada di hadapannya sekarang. Pria tersebut adalah Anton. Ayah dari Nadira. Yang telah lama mencari keberadaan Ningsih dan Nadira. Disaat Anton mulai putus asa karena uang yang diberikan oleh bos tua telah habis untuk mencari keberadaan Ningsih dan Nadira. Anton justru menemukan keberadaan mereka berdua. Sehingga ia tidak perlu takut lagi akan ancaman bos tua, jika tidak mampu menemukan Ningsih dan Nadira. “Dira..., Papa merindukanmu.” Anton melebarkan kedua tangannya dan tersenyum sinis kepada Nadira serta Ningsih. “Papa!” “Mas, Anton!” ucap Nadira dan Ningsih secara bersamaan. Mereka juga saling menatap satu sama lain. Ningsih langsung menganggukkan kepalanya untuk memberi kode kepada Nadira, agar gadis itu segera lari. Tapi, Nadira menggelengkan kepalanya. Ia sangat paham bagaimana watak Anton, dan ia juga tau apa yang akan dilakukannya kepada sang ibu jika i kabur. Saat Anton berjalan mendekat, Nadira meraih tangan Ningsih, dan membawanya lari dari swalayan tersebut. Itu keputusan yang aman menurutnya.. Lari bersama atau celaka bersama. Nadira dan Ningsih lari sekuat tenaga mereka. Sambil meminta tolong kepada seorang security yang sedang bertugas di depan swalayan. “Pak. Tolong kami! Kami di kejar oleh orang jahat, Pak.” Nadira menunjuk Anton, yang sedang mengejar mereka. “Tolong kami, Pak. Aku mohon.” “Baiklah! Saya akan membantu kalian.” Security tersebut menyembunyikan Nadira dan Ningsih di balik punggungnya. “Berhenti....” ucap security tersebut. Sambil mengacungkan sebuah pentungan kepada Anton. “Ningsih... Aku mohon, pulang. Aku sangat merindukanmu dan Nadira. Aku berjanji akan berubah. Tolong berikan aku kesempatan terakhir. Aku mohon, Ningsih...” Anton bersimpuh dan memeluk kaki Ningsih. Suara tinggi Anton langsung mengundang perhatian seluruh pengunjung swalayan. Hingga, seluruh mata menuju kepada mereka. Security yang menghalangi langkah Anton. Mundur “Selesaikan permasalahan keluarga kalian di rumah! Lihatlah, semua orang melihat kearah kalian bertiga. Tidak ada salahnya, memberikan kesempatan untuk seseorang berubah.” Merasa iba dengan tangis Anton, security tersebut membantunya untuk berdiri. “Pulanglah, selesaikan masalah kalian di rumah.” Ucap security tersebut, sebelum kembali ke pos tempatnya berjaga. Nadira menarik tangan Ningsih, dan keluar dari area swalayan tersebut. Anton tersenyum menang dan mengikuti langkah Nadira. Setelah cukup lama berjalan kaki, Nadira menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon besar, yang ada di dekat jembatan. “Katakan apa yang Papa mau!” Nadira mendengus kesal kepada Anton, yang berdiri seperti orang tidak bersalah. “Papa ingin menjemput kamu dan mama kamu, Dira. Papa sangat merindukan kalian berdua.” Anton kembali bersimpuh di hadapan Nadira dan Ningsih. "Papa mohon, ikut Papa pulang!” Anton berucap dengan lirih dan mengeluarkan air mata dari pelupuk matanya. Wajahnya tampak pias, mengharapkan belas kasih. “Dira tidak sudi lagi tinggal dengan Papa. Pergilah!” Nadira menunjuk jalan yang ada dihadapan mereka, “Aku mohon, jangan ganggu kehidupan kami lagi. Aku sudah bahagia hidup tanpamu, Pa.” Nadira berusaha menahan air matanya, tidak dapat ia pungkiri, ada rindu yang begitu besar didalam hatinya. Ia sungguh sangat merindukan Anton. Seburuk apapun sikapnya, Anton tetap papanya. “Baiklah, Dira. Kalau itu yang kamu inginkan.” Anton berdiri dari bersimpuh, “Tapi, izinkan Papa memeluk kalian berdua. Papa sangat merindukan kalian.” Anton memeluk tubuh Nadira dan menangis nyaring di sana. Secara tiba-tiba ada rasa bersalah dan rasa rindu yang keluar dari dalam hatinya. Membuat Anton merindukan hidup damai dengan keluarga kecilnya. Anton melepaskan pelukannya dari Nadira, dan beralih kepada Ningsih. Istri yang selalu sabar dan tabah menghadapi sikap arogannya. Bahkan, ia telah merenggut Ningsih dari sahabatnya. Dan membuat hidup Ningsih menderita selama hidup dengannya. “Aku sangat merindukanmu, sayang. Tapi anak kita sudah tidak menginginkan aku berada di sekitar kalian. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita. Karena aku memiliki banyak hutang kepada bos tua. Aku akan kembali ke Surabaya dan menyerahkan diri kepada polisi. Kamu harus jaga Dira baik-baik.” Anton mengurai pelukannya pada Ningsih. “ Pergilah!” “Aku juga merindukan mu, Mas.” Ningsih kembali memeluk Anton. Suami yang selalu menyakitinya, sekaligus suami yang sangat ia cintai. “Aku pergi...” Anton melepaskan pelukan Ningsih. “Tidak, Mas. Jangan pergi...!” seru Ningsih cepat. “Biarkan dia pergi, Ma! Biarkan dia menebus segala kesalahan yang dia perbuat.” Nadira menarik tangan Ningsih. Ningsih menghentakkan tangan Nadira, “ Mama akan ikut papa kamu!” Ningsih menatap tajam kepada Nadira. “Mas... tunggu...! Aku akan ikut dengan, kamu!” Anton tersenyum senang saat Ningsih memutuskan untuk ikut dengannya. Melihat Ningsih yang kembali luluh kepadanya, niat Anton untuk menjual Nadira kembali muncul. Ia akan memanfaatkan Ningsih untuk membujuk Nadira, agar mau menikah dengan bos tua. “Terimakasih, Sayang.” Anton sedikit berlari dan memeluk tubuh Ningsih dengan erat. “Tapi kamu harus tinggal sendiri di rumah. Karena aku akan mempertanggungjawabkan semua kesalahanku. Aku tidak akan mungkin mengembalikan uang yang telah di serahkan oleh bos tua kepadaku. Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Kamu mau kan menungguku?” “Tidak, Mas. Kamu tidak akan masuk penjara! Karena Nadira akan menikah dengan bos tua.” Ningsih berlutut di hadapan Nadira, “Kamu mau kan, Nak?” “AKU TIDAK AKAN PERNAH MAU MENIKAH DENGAN TUA BANGKA ITU! AKU LEBIH BAIK MATI!” Tanpa berpikir panjang, Nadira melompat dari jembatan. Ia lebih baik mati daripada memiliki suami yang begitu tua dan banyak istri. “ Dira...” ucap Ningsih dan Anton secara bersamaan. Ningsih berusaha menangkap tubuh Nadira. Namun, usaha Ningsih hanya sia-sia. Bahkan membuat membuat Ningsih ikut jatuh kebawah jembatan bersama Nadira. Melihat Ningsih dan Nadira jatuh kebawah jembatan. Anton panik dan berteriak minta tolong. Rasa penyesalan langsung menghantamnya. Membuat pria paruh baya itu tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Ia jatuh terduduk di atas jembatan sambil berteriak minta tolong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD