Part 4

1399 Words
Nadira meringis menahan rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Terutama di bagian kepala dan bahu. Ia juga terkejut saat menyadari dimana kini tempatnya berada. Kini ia berbaring di atas sebuah ranjang, yang berada di dalam sebuah ruangan didominasi oleh warna putih. Di tangan Nadira juga tertancap sebuah jarum yang terhubung dengan sebuah botol infus. Sambil menahan rasa sakit yang bersarang di tubuhnya, Nadira mencoba bangkit untuk mencari tahu di mana keberadaannya kini dan keberadaan ibunya. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Dik." Seorang wanita muda yang baru masuk kedalam ruangan Nadira, menegurnya agar tidak turun dari ranjang. Wanita itu juga kembali membaringkan tubuh Nadira dan memeriksa keadaannya. "Oke, keadaan kamu sudah mulai membaik. Hasil ronsen kamu juga bagus. Apa yang kamu rasakan sekarang?" sambung wanita muda itu, sambil membereskan peralatan medis yang ia bawa, setelah melakukan pemeriksaan terhadap Nadira. "Kepalaku terasa pusing, Sus. Seluruh tubuhku juga terasa sakit, terutama bahuku. Sangat sakit jika digerakkan." "Di bahu kamu ada tulang yang retak, wajar sakit jika digerakkan. Kamu harus menunggu beberapa minggu agar bisa digerakkan seperti semula. Rasa pusing di kepala kamu, itu karena kamu baru tersadar dari koma. Semoga saja, sebentar lagi rasa sakitnya berangsur menghilang. Ya, sudah. Kalau begitu Kakak pamit ya, sebentar lagi sarapan kamu datang dan jangan lupa obatnya di minum." Ucap perawat mudah tersebut. Ia meninggalkan beberapa butir obat sebelum meninggalkan Nadira. "Sus ..," "Iya," ucap perawat tersebut, sambil membalikkan badannya. "Apa Suster tau dimana mamaku?" "Ibu Ningsih?" perawat itu kembali mendekati Nadira. "Iya, Sus." "Ibu Ningsih masih kritis, akibat benturan yang sangat keras di kepala bagian belakang. Kamu berdoa ya, agar mama kamu segera sadar." Mengelus bahu Nadira lembut. "Kamu istirahatlah," ucap perawat itu sebelum kembali meninggalkan Nadira. Nadira mengangguk dan kembali menutup matanya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi kepadanya dan sang ibu. Air mata Nadira langsung mengalir saat ia mengingat Ningsih yang ikut terjatuh denganya kedalam sungai. Beruntung, saat mereka berdua terjatuh, tubuh Ningsih menjadi tameng untuknya. Sehingga batu yang berada di dalam sungai tidak menyentuh tubuhnya. Tapi, justru membentur tubuh sang ibu dengan amat keras. Hingga mereka berdua hanyut terbawa arus sungai. Sebelum Nadira kehilangan kesadarannya, ia bisa melihat air sungai yang berada di sekitar kepala Ningsih,, berubah warna menjadi kemerahan. Nadira merutuki kebodohannya yang melompat ke bawah jembatan. Sehingga ia dan ibunya berakhir di rumah sakit. Andai saja ia bisa berpikir sedikit lebih jernih, tentu saja hal ini tidak akan pernah terjadi. Dua hari berlalu, "Bagaimana keadaan mama, Bu?" perlahan Nadira turun dari atas tempat tidur yang dibantu oleh Mita. "Keadaan mama kamu belum belum menunjukkan kemajuan, sayang. Benturan keras di kepala mama kamu membuat beberapa jaringan di kepalanya rusak," terang Mita dengan suara yang begitu lirih. "Bu, Nadira ingin melihat keadaan mama, Bu." "Baiklah, sayang. Ayo Ibu antarkan kamu kesana." Mita memeluk bahu Nadira dan menuntun anak angkatnya itu untuk melihat keadaan Ningsih. Begitu sampai di depan ruangan Ningsih, Nadira menatap nanar dari kaca ruangan tersebut. Kondisi sang ibu yang masih kritis sehingga ia tidak bisa ditemui oleh siapapun, termasuk keluarganya sendiri. Disana, Nadira mulai menangis dalam diam. "Bu," "Ya, sayang." Mita mengelus rambut panjang lurus Nadira. "Sampai kapan Mama terbaring seperti itu, Bu?" "Kamu harus sabar ya, sayang. Kamu tidak boleh bersedih seperti ini, kamu harus kuat dan ikhlas, berdoalah agar mama kamu bisa kembali sehat seperti sediakala." Nadira mengangguk dan menghapus air matanya. "Maaf, Bu. Ibu keluarga pasien yang di dalam, bukan?" Seorang suster menghampiri Nadira dan Mita. "Saya anak beliau, Sus." Jawab Nadira. "Bisa ikut saya untuk mengurus segala persiapan untuk operasi pasien, Dek. Kondisi beliau sudah mulai stabil dan lusa sudah bisa dioperasi," terangnya lagi. "Ba-baik, Sus," lirih Nadira. Operasi? Dengan apa ia akan membayar operasi tersebut. Pastinya akan menelan biaya yang tidak sedikit. "Kamu tunggu disini saja ya, Sayang! Biar Ibu yang mengurus semuanya," ucap Mita lembut. "Ta-tapi, Bu …," "Sudah, kamu tunggu di sini." Mita tersenyum dan meninggalkan Nadira untuk mengurus persiapan untuk operasi Ningsih. Nadira mengangguk dan kembali menatap ke arah sang mama yang masih terbaring di dalam ruangan ICU. Buukkkk Tubuh lemah Nadira terhuyung, saat tubuh kekar seorang pria menabrak tubuh lemahnya. "Aawww," Nadira meringis menahan sakit pada bahunya yang masih di perban. Tapi beruntung, tubuh Nadira tidak menyentuh lantai, karena pria itu berhasil memeluknya sebelum tubuhnya jatuh ke atas dinginnya lantai rumah sakit. "Kamu kalau jalan hati-hati dong, Cel!" sergah seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan di belakang pria tersebut. "Kamu tidak apa-apa, kan, Nak?" tanya wanita itu kepada Nadira. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya bahu saya terasa nyeri." Nadira berucap sambil melepaskan diri dari pelukan pria bernama Marcel tersebut. "Maaf," ucap Marcel singkat. "Tidak apa-apa, Pak," jawab Nadira cepat. Mata Marcel membesar saat Nadira memanggilnya dengan sebutan 'bapak'. "Hei, tunggu dulu! Tadi kamu panggil aku dengan sebutan apa? Bapak?" Marcel sedikit menundukkan badannya dan menatap lekat ke dalam manik hitam Nadira. Mata Nadira mengerjap, "I-iya," ucap Nadira. Rasa marah Marcel menguap begitu saja, saat mata bulat yang dihiasi oleh bulu mata yang sangat lentik tersebut mengerjap berkali-kali. Wajah cantik Nadira langsung membuat Marcel terpesona dan tidak mampu untuk bergerak, walaupun hanya untuk mengerjapkan matanya. "Cel, anak gadis orang jangan dipelototi begitu. Kamu bisa menakutinya." Wanita paruh baya itu menepuk bahu putranya itu. "Lagian, wajar kali, Cel, dia manggil kamu dengan sebutan 'bapak'. Coba lihat tubuh kekar kamu ini." Menunjuk Marcel dari ujung kaki, hingga ujung rambut. Nadira ikut memperhatikan Marcel, hingga tatapannya bertemu dengan tatapan mereka bertemu. Nadira menelan ludahnya sendiri, melihat pria tampan bertubuh kekar dengan hidung mancung dan rahang yang tegas. Ditambah lagi, pria bernama Marcel itu tersenyum manis kepadanya. "Marcel," ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya. "Na …," "Dira," ucap Mita, yang datang dalam keadaan lesu. "Kenapa, Bu?" Nadira mengabaikan tangan Marcel yang masih menggantung di udara, serta masih berharap disambut oleh tangan mungil Nadira. "Maafkan Ibu, Nak," lirih Mita memeluk Nadira. Marcel dan ibunya saling pandang satu sama lain, melihat dan mendengar percakapan mereka berdua "Uang kita tidak cukup untuk membayar biaya operasi mama kamu. Tapi kamu tidak usah khawatir sayang, kamu harus doakan semoga truk bapak kamu segera laku." "Ibu …," "Tidak, ibu tidak ingin ada bantahan apapun dari kamu, sayang. Kamu dan mamamu adalah segalanya bagi kami!" tegas Mita tidak ingin dibantah. Sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi mulus Nadira. "Cel, ayo!" Berta, ibu Marcel, menyikut tangan Marcel. "Ibu duluan saja! Marcel ingin membantu gadis ini," bisik Marcel kepada sang ibu. Berta tersenyum melihat wajah berbinar Marcel saat menatap gadis cantik yang ada di hadapan mereka. Ia juga melihat putranya itu memberikan kode lewat matanya, agar Berta membantunya untuk menawarkan bantuan. "Ehem, maaf." Tanpa banyak tanya lagi, Berta langsung paham dan mengikuti keinginan Marcel. Nadira dan Mita menatap secara bersamaan kepada Berta. "Mmm, begini. Kalau boleh saya dan anak saya ingin membantu biaya operasi mama gadis ini," ucap Bertarta ragu. "Kalau boleh saya tahu, mamanya sakit apa?" lanjutnya lagi. "Mamanya terjatuh dari atas jembatan saat ingin menangkap Nadira yang mencoba melompat kedalam sungai," jawab Mita. Matanya terarah ke kaca kamar Ningsih, yang ada di hadapan mereka. "Beliau terluka parah di bagian belakang kepala dan lusa harus di operasi," sambung Mita lagi. Berta dan Marcel mengikuti tatapan Mita. "Ningsih?" Berta mengerjapkan matanya berkali-kali dan semakin mendekat ke arah kaca tersebut. Ia bisa mengenali dengan baik siapa wanita yang sedang terbaring lemah di dalam sana. "Dia mama kamu, Nak?" tanya Berta kepada Nadira. Cairan beningpun mulai turun membasahi pipi wanita paruh baya itu. Nadira mengangguk pelan. "Di mana Anton?" "Papa?" "Iya, sayang. Dimana dia? Kenapa dia tidak ada disini?" Berta melihat kesekeliling rumah sakit. "Anton di dalam penjara," jawab Mita. "Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia ingin menjual putrinya sendiri, kepada pria tua kaya raya yang memiliki banyak istri." "A-apa?" Berta meremas dadanya sendiri. "Ti-tidak mungkin Anton seperti itu! Anton dan Ningsih adalah sahabatku dari kecil, dan aku sangatlah tahu betapa Anton sangat mencintai Ningsih." "Ibu kenal sama keluarga gadis ini?" sela Marcel, yang sudah tidak mampu menahan rasa penasarannya. "Iya, Cel. Ningsih sahabat dekat Ibu." Berta meraih Nadira kedalam pelukannya. "Mama kamu sangat menyayangi Ibu, Nak. Jadi izinkan ibu membalas semua kebaikannya. Ibu yang akan menanggung seluruh biaya pengobatan mama kamu." "Terimakasih, Bu." "Sama-sama, sayang." Berta mengurai pelukannya, "Perkenalkan, ini putra Ibu! Namanya Marcel Prayoga." Nadira mengulurkan tangannya, "Nadira Almaira, Kak." ucapnya, memperkenalkan diri. "Marcel Prayoga, calon suami kamu!" ucap Marcel dengan seluruh rasa percaya diri yang dimilikinya, dan menggenggam erat tangan Nadira. Mata Nadira membesar, "Calon suami?" tanyanya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD