BAB 8 Keinginan Milena, Cermin Kejujuran, Dan Kalung Zamrud 2

1121 Words
Tangannya terjulur menyentuh permukaan liontin itu. Sensasi aneh menghantam dirinya, seolah-olah ia terkena sengatan listrik bertegangan kecil. Milena sedikit terkejut, namun ia terkekeh senang. Ada perasaan aneh yang ia rasakan terhadap kalung itu. Seolah-olah dirinya menjadi orang lain, segala amarah yang ia rasakan semenjak menjadi harapan oleh banyak peri t***l, kini seolah-olah lenyap entah kemana. Ia bagaikan Milena yang dulu. Milena yang menghabiskan hari-harinya di perpustakaan kerajaan dan berkeliling istana membantu siapapun yang membutuhkan bantuan. Ya! Itu adalah Milena yang dulu! Sebelum dirinya diberitahu mengenai tugas dan tanggung jawab yang dirasanya mustahil bagi anak kecil berumur 9 tahun. Segala harapan tak masuk akal dibebankan padanya. Hal itulah yang membuatnya memberontak. Ia bukan boneka kerajaan. Ia memiliki hak atas hidupnya. Ia pun tak memilih untuk terlahir sebagai keturunan peri legendaris dengan segala t***k bengek harapan yang disampirkan padanya. Semua itu membuatnya merasa hampir gila! Tanpa disadarinya, air matanya menetes. Semua ini tak akan terjadi jika ia lahir sebagai peri pekerja biasa. Milena mulai menangis sesenggukan. Saat ini, ia merasa bukan dirinya. Meratapi nasib dan menangis sendirian saat ajal tengah menjemputnya. Ia ingin semua kembali seperti dulu, kembali pada masa-masa mengenal kebahagiaan, bukannya amarah dan dendam yang selalu bertalu-talu di hatinya. Peri cantik itu ingin menjadi peri biasa. Jika memungkinkan, ingin menjadi manusia saja, tak ada dunia peri, tak ada penyihir, tak ada hal yang menyusahkan seperti penduduk peri di desanya. Milena memeluk kalung tersebut, air matanya membasahi liontin zamrud. Dan sekali lagi, kalung itu bersinar, kali ini hanya sekejap mata. Akan tetapi, Milena tak memperhatikannya, ia sibuk menangis meratapi nasibnya dengan mata tertutup. *** Setelah lelah menangis cukup lama. Milena memutuskan akan mengambil kalung itu. Satu-satunya benda yang membuatnya merasa damai setelah sekian lama. Entah kekuatan apa yang dimiliki kalung itu, yang jelas itu bukan kekuatan kegelapan. Milena bisa merasakan hal itu. Ia meraih kalung itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Cukup berat. Namun, pil yang dikonsumsinya tadi membuatnya cukup mengangkat benda tiga kali dari berat tubuhnya. "Aku akan membuatmu menyesal memperlakukanku semena-mena, Katrina!" ucap Milena dengan amarah tertahan. Ia melirik buku mantra yang ada di sampingnya, mungkin tak harus membakar buku beserta ruangan itu. Milena memiliki ide yang lebih menarik. Ia membuka buku alkemis tadi, dan merobek halaman yang tertera gambar pentagram. Katrina akan kesulitan merapal mantra tanpa pentagram yang benar. Ia terkikik memikirkan hal itu, dilipatnya lembaran itu sekecil mungkin dan mendesaknya masuk ke dalam ransel dan buru-buru memakainya. Sebelum memikirkan pelariannya, sebaiknya ia memastikan mengambil benda-benda yang membuat penyihir sialan itu kelimpungan. Milena menutup kembali buku alkemis itu. Setidaknya itu akan membuatnya memperlambat kecurigaan Katrina. Ia berbalik melihat kotak kalung yang terbuka di sampingnya. Wajah Milena memucat. Hampir saja ia melakukan kesalahan. Ia memperbaiki semua benda sesuai posisinya semula. Tapi, tunggu, bagaimana dengan buku alkemis yang tertutup? Katrina bisa mencurigai sesuatu, pikirnya waspada. "Sial! Ide datanglah!" umpatnya kesal. Ia menarik rambutnya, nyaris putus asa. Saat kepalanya mendongak, ia melihat jajaran buku mantra lain di atas meja sebelumnya. Mungkin saja ada buku yang memiliki gambar pentagram yang bisa membuat si penyihir itu terkecoh sesaat. Milena tersenyum licik. Berpikir bahwa ia memiliki ide jenius. Si peri cantik itu berdiri di hadapan botol-botol ramuan. Wajahnya cemberut. Ia tak bisa terbang. Meski ia melepas ransel dari punggungnya dan memanjat ke atas rak buku, bagaimana ia bisa menurunkan buku-buku itu dan memeriksa isinya satu persatu? Tak mungkin melemparnya, kan? "Yup. Jenius." ucapnya sarkastik. Matanya menyipit menatap tajam pada buku-buku yang berjejer di atas rak. Bagaimana meraih buku-buku itu, sementara ia tak bisa terbang? Perasaannya benar-benar dongkol. Kedua tangannya terlipat di d**a seraya berdecak pelan. "Aku akan membakar ruangan ini saja kalau begitu." Katanya enteng, lalu berjalan menuju kotak besi di meja satunya lagi. "Tapi, sebelumnya, bagaimana aku bisa mendapatkan cermin kejujuran ini?" Ia mengelus salah satu sisi kotak besi itu. Pil P3K peri itu benar-benar hebat. Ia sama sekali tak merasakan pengaruh apa-apa terhadap besi itu, kecuali rasa dingin yang menjalar di permukaan telapak tangannya. Jadi, seperti ini rasanya memegang besi? Pikir Milena setengah geli. Jika ia menjatuhkan kotak itu dari atas meja, apakah kotak besi itu akan rusak? Sepertinya tidak. Kotak besi itu dilindungi oleh mantra, tak semudah itu bisa merusaknya. Terlebih lagi kombinasi aneh yang melindungi isi dari kotak besi itu. "Ini sungguh menyebalkan." protes Milena kesal. "Jika saja kotak besi sialan ini terbuka, aku bisa mengambil cermin kejujuran di dalamnya. Aku ingin memperbaiki hidupku. Kemudian para penduduk desa akan melihatku sebagai pahlawan, bukannya peri pemarah dan pembuat onar." Milena terdiam sesaat, kemudian melanjutkannya dengan berkata, "aku ingin bertemu Alfred dan meminta maaf padanya. Meminta maaf pada semua penduduk desa. Aku tak mau mati menyedihkan di tangan Katrina Si Penyihir jelek itu." Lagi-lagi Milena meneteskan air mata. Kali ini, ia mengucapkan kata-kata itu dengan tulus dari lubuk hatinya. Peri itu hanya bisa memandang satu-satunya hal yang bisa membuatnya merubah steriotip mengenai dirinya di dunia peri. Cermin kejujuran merupakan cermin yang benar-benar berbahaya. Tak seharusnya cermin seperti itu berada di tangan siapa pun. Tidak pada dirinya, tidak pada pihak kerajaan, terlebih lagi pada makhluk jahat seperti Katrina. Entah kenapa, niat Milena berubah terhadap cermin itu. Menit-menit menjelang kematian, sepertinya memang merubah seseorang. "Aku berharap, kotak besi ini terbuka sehingga aku bisa mengambil cermin kejujuran di dalamnya demi kebaikan semua makhluk hidup." Ucapnya dengan suara lirih. Tangan kanannya mengelus kombinasi aneh yang ada pada sisi depan kotak besi itu. Sebuah bunyi 'krek' terdengar dari dalam kotak. Milena terperanjat kaget, mundur selangkah. "Apa yang terjadi?" katanya bingung. Dari dalam tas Milena, cahaya hijau bersinar keluar dari sela-sela ransel miliknya. Ia tak menyadari hal itu karena kini perhatiannya terpusat pada kotak besi yang terbuka sendiri. Kali ini, tidak seperti sebelumnya di mana warna ungu hitam gemerlap keluar dari dalam kotak besi itu, melainkan warna hijau gemerlap. Kombinasi-kombinasi palang yang ada pada kotak itu menari-nari seperti ular yang menggeliat gila. Apa yang terjadi? Kenapa kotaknya terbuka sendiri? Milena bertanya-tanya dalam hati. Ketika kotak besi itu terbuka memperlihatkan isinya, Milena tertegun selama beberapa saat. Apakah ini jebakan? pikirnya waspada. Kotak yang tersusun tak beraturan di dalamnya kini mulai bergerak-gerak liar seperti sebelumnya. Milena merasa mual melihat gerakan kotak-kotak itu. Bunyi klik terdengar tiga kali, lalu sebuah desisan terdengar. Kotak besi itu kini tak terkunci. Milena menelan ludah gugup. Apa yang akan terjadi jika ia melangkah masuk ke dalam kotak itu? Apakah kotak besi itu akan tertutup sendiri? Dan ia akan terperangkap di dalamnya? Cermin itu kini ada di depannya. Kesempatan yang ajaib. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Milena dilanda keragu-raguan yang hebat. Kesempatan sebagus ini tak akan datang dua kali. Jika ia ingin tulus menolong semuanya dari penyalahgunaan cermin itu dan sungguh-sungguh berniat mengubah nasibnya, ia harus nekat masuk ke dalam kotak. Ini misi bunuh diri! Pekik Milena dalam hati. Keringat dingin menuruni lehernya, menelan ludah berat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD