"Kalian habis dari kantin?"
Anyelir memelankan langkahnya saat hampir sampai di depan kelas. Ia berdiri dengan gamang saat mendapati Royyan menunggu dirinya dan Renata di depan kelas dengan wajah cemberut.
Mulai terjadi cekcok kecil antara Royyan dan Renata, namun Anyelir justru sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan saat ini. Melihat Royyan membuat dirinya teringat beberapa orang yang kemarin mengancam dirinya untuk tidak mendekati Royyan, karena alasan itu pula Anyelir merasa bahwa bisa saja orang-orang itu sedang memperhatikannya sekarang.
Ia celingukan, mencari sosok yang mungkin saja memang ada untuk memperhatikan dirinya.
"Kenapa, Nye? Kamu nyari siapa?"
Pertanyaan yang sebenarnya sangat wajar itu justru ditanggapi berlebihan oleh Anyelir. Dia langsung terkejut, bahkan menatap panik ke arah Royyan yang malah kebingungan.
"Lo kenapa, Nye? Lo lihat hantu?" Renata yang juga menyadari ada hal aneh pada teman sebangkunya itu, ikut merasa cemas.
Tapi Anyelir hanya menggeleng pelan, kemudian melenggang masuk ke dalam kelas tanpa menyatakan apapun.
Dia tahu bahwa apa yang dilakukannya pasti akan membuat Royyan dan juga Renata kebingungan, tapi kalau sampai tiga orang perempuan itu masih mengawasinya, Anyelir bisa saja kembali mengalami hal yang mengerikan seperti yang pernah dialaminya dulu. Dan Anyelir sama sekali tidak ingin itu terjadi, maka yang bisa ia lakukan saat ini adalah berada sejauh mungkin dari Royyan.
BUK
"Aww!"
Anyelir langsung terduduk sesaat setelah tulang keringnya terantuk pinggiran meja tanpa sengaja. Beberapa teman sekelas yang mendengar suaranya langsung berjalan mendekat.
"Kenapa, Nye? Lo ngelamun ya? Jalannya sampe nabrak gitu!"
Anyelir meringis saat beberapa temannya mendekat, salah seorang menarik tangannya pelan, membantu agar Anyelir bisa berdiri.
"Iya, maaf ya," ujar Anyelir pelan.
Atika, teman yang tadi membantunya itu justru mengerutkan kening.
"Kenapa lo malah minta maaf?" tanyanya bingung.
Anyelir terdiam mendengar pertanyaan itu. Di sekolah lamanya, hampir semua teman sekelas adalah pelaku perundungan. Kalaupun ada di antara mereka yang tidak merundung dirinya, mereka tetaplah tidak akan berbuat apapun ketika melihat Anyelir kesulitan. Sebaliknya, jika Anyelir menarik perhatian maka mereka akan marah atau setidaknya tidak perduli. Baru kali ini, hanya karena dia terjatuh beberapa teman sekelasnya langsung datang dan membantu dirinya. Hal yang asing Bangi Anyelir.
"Hehe makasih udah bantu aku berdiri," ucap Anyelir.
Atika dan beberapa teman yang lain membalas senyum yang ia berikan, kemudian mereka mengingatkan agar Anyelir lebih bisa berhati-hati.
Setelah mengucapkan terimakasih sekali lagi, dengan terpincang Anyelir berjalan menuju bangkunya. Dan tak tak lama setelah ia duduk, Renata menyusul dengan duduk di sampingnya.
"Kenapa lo bersikap aneh kayak tadi? Lo ada masalah?" tanya Renata langsung.
Anyelir terdiam, nampaknya tadi Renata sempat berbicara dengan Royyan. Dan mungkin saja Royyan meminta Renata untuk mencari tahu kenapa Anyelir bersikap seperti tadi.
"Aku engga apa-apa, tadi cuma sedikit pusing," alibinya.
Ia berusaha memasang wajah santai agar Renata tidak menyadari jika saat ini dirinya cukup gugup.
"Tadi Royyan nanya ke gue, apa dia ada salah atau semacamnya sama lo? Dia juga nanya apa tadi pas kita ke kantin berdua lo ngomong sesuatu soal dia atau engga, kayaknya dia bener-bener engga tenang liat lo yang langsung pergi gitu aja," jelas Renata.
Ucapannya membuat Anyelir merasa bersalah, karena bagaimana pun ini sama sekali bukan salah Royyan. Hanya saja posisi Anyelir akan sulit jika terus berada di samping Royyan yang populer.
"Iya, itu salahku. Harusnya aku ngomong dulu ke dia kalau aku mau langsung masuk kelas," gumam Anyelir.
Dia mengubah posisi duduknya menjadi telungkup di atas meja.
"Nanti kalau ketemu lagi aku akan minta maaf sama dia. Maaf juga udah bikin kamu bingung," Anyelir tersenyum ke arah Renata.
Renata mendengkus kecil, "Iya sudah seharusnya lo minta maaf. Tingkah lo tadi bener-bener bikin gue sama Royyan bingung," keluhnya.
Anyelir tertawa kecil sambil mengucapkan maaf sekali lagi.
Lalu saat pelajaran dimulai dan beberapa temannya ditugaskan untuk menuliskan jawaban dari pekerjaan rumah di papan tulis, Januari yang menjadi salah satu yang ditunjuk, Tiba-tiba saja menjatuhkan gumpalan kertas di atas meja Anyelir saat lelaki itu melewati meja Anyelir.
Anyelir reflek menoleh ke arah Renata, untungnya Renata sedang sibuk dengan pekerjaan rumahnya yang baru selesai setengah. Kemudian mata Anyelir langsung tertuju pada kertas itu, dengan berdebar dia membuka gumpalan kertas itu dan mendapati sebuah tulisan rapi dan cantik.
Pulang sekolahnya bareng, ada yang mau saya omongin.
Setelah membaca pesan itu, Anyelir langsung menatap ke depan. Ke arah Januari yang dengan mudah menuliskan jawaban miliknya. Saat lelaki itu berbalik, Anyelir menoleh sekali lagi ke arah Renata kemudian kembali ke arah Januari. Ia mengangguk pelan saat mata mereka bertemu, dan Anyelir tidak menyangka jika anggukan pelan nya akan direspon dengan senyuman dari Januari. Meskipun senyuman itu tampak tipis dan nyaris tidak terlihat.
••
"Hah!"
Gani menaikan sebelah alisnya saat mendengar Vitta mendesah begitu keras di depannya.
"Kenapa?" tanya Gani.
Tapi Vitta tidak menjawab pertanyaan Gani dan malah sibuk memainkan sedotan yang ada di minuman miliknya. Harusnya dia bisa menjadikan alasan menjemput Anyelir sebagai upaya untuk kabur dari lelaki di depannya, tapi tiba-tiba saja sepupunya yang cantik itu mengatakan bahwa dirinya akan pulang bersama dengan temannya dan melarang Vitta untuk menjemputnya.
"Gue sibuk, kenapa lo selalu datang seenaknya ke kampus gue sih?" protes Vitta, ia menatap kesal pria yang dengan santai malah tersenyum menanggapi omelannya.
"Aku kan udah bilang, aku engga akan berhenti sampai kamu mau percaya sama aku," balas Gani.
Vitta menghela nafas berat, kemudian mengalihkan tatapannya ke luar jendela cafe.
"Gue udah dengerin penjelasan lo, soal gue mau percaya atau engga, bukannya itu hak gue?" tanyanya pelan.
Seusai mengatakan itu, ucapan Gani tentang hubungan mereka dulu kembali terngiang. Semua ucapan yang menurut Gani adalah kebenarannya yang dulu tidak diketahui oleh Vitta, sudah ia dengar. Namun begitu, Vitta masih sulit mempercayai bahwa itu adalah sebuah kebenaran.
"Aku harus gimana supaya kamu yakin, Vitt? Aku engga pernah khianatin kamu, aku engga mau kalau kenangan kita justru jadi kenangan yang paling engga mau kamu ingat cuma karena kamu salah paham."
Sekilas hati Vitta terasa nyeri saat melihat tatapan sedih dari pria yang dulu sangat disayanginya itu. Sebesar rasa percaya yang Vitta berikan dulu pada Gani, maka sebesar itu pula kecewa yang Vitta rasakan saat kejadian itu. Membuatnya tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan yang salah dari pria itu, rasa percayanya sudah hancur lebur.
"Lo engga harus ngelakuin apapun buat bikin gue percaya, karena itu udah engga ada gunanya lagi. Percaya ataupun engga, itu engga akan ngerubah apapun di antara kita," tegasnya.
Vitta harus menentukan batas mana yang tidak boleh dilewati Gani, karena kalau sampai pria itu melewati batasan yang ia buat, semua pertahanan yang Vitta punya selama ini akan hancur.
"Ada. Akan ada yang berubah kalau kamu percaya, yaitu hubungan kita. Aku yakin kita bisa mulai semuanya lagi dari awal kalau kamu mau percaya sama aku," bujuk Gani.
Tangannya terulur, menyentuh tangan Vitta yang ada di atas meja.
Kelakuannya itu membuat Vitta dengan cepat menarik tangannya dan menatap Gani dengan tatapan tajam.
"Jangan lancang!" sentaknya.
Vitta tahu debaran di dadanya bukanlah disebabkan karena dia marah, melainkan karena alasan yang lain.
"Maaf, tapi aku bener-bener berharap kamu mau kasih aku kesempatan lagi, Vitta," sesal Gani.
Ia sudah melakukan beberapa hal untuk bisa kembali menarik kembali perhatian Vitta, termasuk dengan mempertemukan wanita itu dengan adiknya. Namun semua itu tidak berhasil membuat hati gadis itu tersentuh apalagi luluh.
"Engga ada yang namanya kesempatan kedua, hubungan kita sudah hancur sejak gue liat lo sama dia di kamar itu," tolaknya dingin.
Wajah Gani tampak memerah, hatinya merasa marah sekaligus panik. Dia sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Vitta, tapi seakan semua penjelasannya itu hanya omong kosong sehingga Vitta kembali mengulang-ngulang menyebutkan kesalahan yang sama.
"Aku udah bilang kejadiannya engga begitu," bantah Gani tegas.
Vitta sedikit terkejut mendapati reaksi Gani yang kini menatapnya dengan dingin dan tajam. Rupanya perkataannya tadi sudah membuat pria itu marah, namun Vitta tidak perduli.
Justru semakin bagus untuknya jika berhasil membuat Gani benar-benar marah dan kemudian menjauh darinya.
"Oh ya? Tapi yang gue lihat memang begitu, faktanya kalian berdua menikmati malam bersama disaat gue bahkan ada di tempat yang sama," pancingnya.
Ia mendadak gugup saat melihat Gani terlihat sangat marah, tangan Gani bahkan mengepal erat di atas meja.
Namun setelah beberapa saat, yang terjadi adalah Gani yang menghela nafas berat kemudian langsung bangun dari duduknya.
"Aku udah jelasin semuanya, aku bahkan berusaha yakinin kamu kalau aku engga pernah khianatin kamu sedikitpun. Tapi kayaknya memang selama ini cuma aku yang terlalu cinta, karena saat aku berpikir seandainya kejadian itu terjadi sama kamu, aku yakin aku akan langsung percaya kalau kamu mengelak. Karena sebesar itulah perasaanku ke kamu, tapi kamu engga begitu. Sekeras dan sekuat apapun aku berusaha, nyatanya kamu hanya yakin dengan apa yang kamu lihat, kamu engga punya keinginan sedikitpun buta percaya sama omonganku dan terus menghindarinya, dari situ aku tahu, kamu masih seegois dulu."
Setelah mengatakan itu dengan nada yang datar dan lirih, Gani meninggalkan Vitta yang terduduk diam dengan segala rasa sakit yang menghujam dadanya.
Ini yang dia inginkan, ini yang dia harapkan. Dia berharap Gani marah padanya dan membencinya kemudian pergi lagi seperti dulu. Namun kenyatannya, setelah mendengar semua ucapan Gani, hatinya merasakan rasa bersalah yang kuat seakan-akan dirinya sendiri mengakui apa yang Gani tuduhkan padanya.
Ditambah ada rasa yang lain yang membuatnya ingin menangis, yaitu rasa hampa yang luar biasa setelah Gani meninggalkannya.
|||•••|||