bc

Dear Pak Dosen

book_age18+
38.2K
FOLLOW
422.8K
READ
family
love after marriage
age gap
arranged marriage
others
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

(sudah tamat)

Nara menggenggam secarik kertas dan melirik laki-laki itu sepintas, "Saya akan membacakan poin-poin yang harus Bapak patuhi. Poin pertama, jangan sentuh saya sampai saya wisuda. Saya tak ingin hamil sebelum lulus. Poin kedua, jangan menganggap pernikahan ini nyata. Jangan menganggap saya sebagai istri, sebenar-benarnya istri. Saya pun tak akan menganggap Bapak sebagai suami. Poin ketiga, jangan membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, saya tak suka. Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Poin kelima, Bapak jangan melarang saya bergaul dengan teman-teman dan beraktivitas di luar rumah, saya juga nggak akan melarang Bapak. Poin keenam, izinkan saya untuk menjadi diri saya sendiri. Poin ketujuh, kita akan tidur seranjang, tapi tolong jangan macam-macam sama saya." Nara menghela napas. Ada rasa lega yang seolah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.

"Boleh aku meminta sesuatu juga darimu?" Argan menatap wajah polos dan cute Nara begitu menelisik.

"Aku nggak minta banyak. Cukup sayangi anakku. Minimal bacakan cerita sebelum dia tidur dan kecup keningnya. Itu saja." Argan menatapnya datar. Ia beranjak dan melangkah menuju kamar.

Kisah pernikahan perjodohan dosen berusia 32 tahun Bintang Arganta Yudha dan mahasiswi berusia 19 tahun Chandragitha Nara dengan segala kisah yang mengaduk-aduk perasaan. Ini tentang cinta, keluarga, dan ketulusan.

cover by Ara Shop

chap-preview
Free preview
PROLOG
PROLOG Seorang gadis mengenakan piyama bergambar Keropi melayangkan pandangan pada sosok di hadapannya. Bintang Arganta Yudha, laki-laki berusia 32 tahun, tepatnya tiga belas tahun lebih tua dari sang gadis duduk terpekur dengan ekspresi wajah seperti biasanya, datar, tenang, dan misterius. Gadis tomboy tapi tetap cantik dengan rambut panjangnya bernama Chandragitha Nara menggenggam secarik kertas. Ini adalah malam pernikahannya di Purwokerto, kota kelahiran laki-laki yang baru kemarin resmi menjadi suaminya sekaligus tempatnya menimba ilmu di bangku universitas. Tentu atmosfer terasa sedemikian aneh dan asing untuknya. Kemarin dia memang sudah tidur sekamar dengan suaminya. Tapi dalam rumah itu masih ada orang tua dan kerabatnya. Dan statusnya masih perawan karena laki-laki yang biasa dipanggil Argan belum menjamahnya. Nara berharap laki-laki itu akan tak pernah menyentuhnya. Lidahnya serasa kelu. Namun dia sudah yakin untuk membacakan poin-poin yang harus dipatuhi Argan selama mereka menikah. Nara terpaksa mengiyakan perjodohan orang tua masing-masing setelah dia terganjal kasus hukum dan terancam kehilangan segalanya. Gadis bengal itu digiring ke kantor polisi karena kedapatan bergabung dalam pesta narkoba di salah satu night club. Nara bukan pemakai, apalagi pengedar, tapi keberadaannya di situ memaksanya untuk ikut diamankan. Dari hasil pemeriksaan urine, hasilnya negatif. Tentu saja, karena ia tak pernah mengonsumsi narkoba. Namun seperti pepatah bahwa seseorang dinilai dari siapa sahabatnya, nama baik gadis itu ikut tercoreng. Orang tua sang gadis merasa kecolongan. Dia percaya anak gadis mereka bisa menjaga diri. Kendati berat hati melepas putri bungsunya kuliah di perantauan, tapi mereka tak bisa menahan langkah sang putri yang akan berjuang meraih masa depan. Kepercayaan mereka justru dikhianati. Ayah dan ibu Nara marah besar. Dia bersyukur memiliki sahabat lama yang tengah mencari istri untuk anaknya yang berstatus duda dengan satu anak laki-laki berusia delapan tahun. Istri sang duda meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Yang membuat semua terasa seperti kebetulan yang manis adalah sang duda bekerja sebagai dosen di universitas tempat Nara kuliah, hanya saja mereka beda fakultas. Berharap anak gadis ada yang menjaga dengan baik selama kuliah di Purwokerto, maka orang tua sang gadis mengusulkan pada sahabat lama mereka untuk menjodohkan anak-anak mereka. Gayung bersambut. Sahabat lama mereka bersedia melamar Nara untuk putra sulungnya. Orang tua sang gadis bersyukur dan lega karena sang anak mendapatkan seorang suami yang religius dan insya Allah bisa membimbingnya dengan baik. Mereka sudah lelah menyaksikan gaya hidup anak gadisnya yang cenderung liar, suka clubbing, dan seenaknya. Nara tak bisa menolak karena ia tak mau mengecewakan orang tuanya kedua kali, begitu juga dengan Argan yang tak bisa menolak permintaan orang tuanya. Ia memang sempat berpikir, Nara terlalu muda untuknya. Namun ia berharap Nara bisa mengisi kekosongan hati Sakha akan kerinduan pada sosok ibu. Ibunya meninggal saat Sakha berusia lima tahun. Meski anak itu lebih pantas dikatakan sebagai adik Nara, dibanding anak tirinya. Nara mengembuskan napas pelan, “Pak, saya akan membacakan poin-poin yang harus Bapak patuhi.” Argan terdiam. Ia mendengar ucapan gadis yang di matanya seperti anak kecil itu dengan seksama. Sungguh ia tak menyangka, saat ini gadis yang berusia tiga belas tahun lebih muda darinya telah sah menjadi istrinya. “Poin pertama, jangan sentuh saya sebelum saya wisuda. Saya tidak mau hamil sebelum lulus.” Laki-laki gagah dan berwibawa itu cukup tersentak mendengar penuturan istrinya. Nara melirik suaminya sepintas. Ia akui ketampanan wajah Argan begitu menawan. Namun ia tak mau terpikat. Seleranya bukan laki-laki yang jauh lebih tua darinya, meski dia tampak baby face sekalipun. “Poin kedua, jangan menganggap pernikahan ini nyata. Jangan menganggap saya sebagai istri, sebenar-benarnya istri. Saya pun tak akan menganggap Bapak sebagai suami. Poin ketiga, jangan membebani saya dengan pekerjaan rumah tangga, saya tak suka. Poin keempat, Bapak bebas berpacaran dengan wanita lain yang Bapak cintai dan saya juga berhak jatuh cinta pada laki-laki lain, yang lebih muda dari Bapak tentunya. Poin kelima, Bapak jangan melarang saya bergaul dengan teman-teman dan beraktivitas di luar rumah, saya juga nggak akan melarang Bapak. Poin keenam, izinkan saya untuk menjadi diri saya sendiri. Poin ketujuh, kita akan tidur seranjang, tapi tolong jangan macam-macam sama saya.” Nara menghela napas. Ada rasa lega yang seolah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Argan membisu, tak merespons apapun. Bisa saja ia mentahkan semua yang disebutkan Nara. Saat ini Nara sudah sah menjadi istrinya. Ada serangkaian kewajiban dan hak sebagai istri yang harus ia jalankan. Namun Argan cukup memahami. Nara hanyalah gadis 19 tahun yang masih labil. Ia bisa membaca kondisi psikis Nara tengah berantakan, hancur lebur tak berbentuk. Siapapun akan tertekan dengan pernikahan yang tak diinginkan. Dia bisa melihat gadis itu begitu tertekan di balik pembawaannya yang terkesan sangar dan kuat. Ia putuskan untuk membiarkan Nara berbuat seenaknya mengaturnya. Paling tidak sampai kondisi psikisnya membaik. “Boleh aku meminta sesuatu juga darimu?” Argan menatap wajah polos dan cute Nara begitu menelisik. Nara sedikit salah tingkah. Ia berharap Argan tak meminta sesuatu yang aneh darinya, apalagi meminta haknya. Nara sama sekali belum siap dan mungkin tak akan siap sampai beberapa tahun ke depan. “Boleh, asal jangan macam-macam,” tukas Nara. “Aku nggak minta banyak. Cukup sayangi anakku. Minimal bacakan cerita sebelum dia tidur dan kecup keningnya. Itu saja.” Argan menatapnya datar. Ia beranjak dan melangkah menuju kamar. Nara tercenung. Ia tidak begitu menyukai anak kecil. Dan sekarang ia harus terbiasa dengan kehadiran Sakha dalam kehidupannya. Nara beranjak dan berjalan menuju kamar Sakha. Nara membuka sedikit pintu kamar dan melirik sang anak yang sudah terpejam. Nara memasuki kamar Sakha yang bernuansa serba biru. Ia menutupkan selimut ke tubuh Sakha dan ia mengecup kening anak itu. Sakha di matanya adalah sosok anak pendiam dan tertutup. Saat pernikahan kemarin, ia terlihat datar dan lebih banyak menghampiri neneknya. Nara menduga, jauh di lubuk hati Sakha, ia tak pernah menyetujui pernikahan ayahnya dan Nara. Nara melirik selembar kertas yang tergeletak di meja belajar Sakha. Nara memerhatikan baik-baik gambar yang tercetak di kertas itu. Ada laki-laki dewasa, perempuan dewasa, dan seorang anak laki-laki di tengah-tengah. Di bawah gambar masing-masing karakter ada tulisan yang menunjukkan siapa saja orang yang ada dalam gambar. Ayah... Sakha... Ibu. Nara juga membaca satu kalimat berbunyi ‘I miss you Ibu...’ Mendadak Nara tercekat. Seorang ibu tak akan pernah tergantikan di hati sang anak. Dengan hanya membaca sebaris kalimat itu, Nara bisa merasakan kerinduan Sakha yang menggila akan sosok ibunya. Hatinya bergerimis. Belum reda kesedihannya karena pernikahan yang tak diharapkan ini, muncul kesedihan lain karena sang anak yang begitu merindukan sosok ibunya dan belum bisa menerimanya sebagai bagian dari keluarganya. ****** Suara gemericik air kran di dapur terdengar syahdu dari kamar. Rumah Argan mungkin tidak seluas rumah orang tua Nara, tapi gadis itu cukup nyaman tinggal di rumah yang berdesain minimalis tapi terlihat cukup luas dan tidak sesak. Ia akui, penataan ruang rumah ini cukup bagus dan tepat meletakkan segala sesuatu. Tak banyak barang dan hanya memprioritaskan membeli peralatan rumah tangga yang memang benar-benar penting dan dibutuhkan. Nara mematut diri di cermin. Ia sudah mengikat rambutnya dan terlihat rapi. Ia memilih kemeja warna biru muda dengan celana jeans dan satu tas ransel diselempangkan di bahunya. Gaya berpakaiannya memang tomboy dan kasual, tapi dia nyaman tampil apa adanya tanpa make up berlebih. Cukup sun screen dan bedak tabur tipis jadi pilihan sehari-hari. Wajahnya memang sudah cantik, halus, cerah, dan bersih. Ia tak perlu banyak polesan untuk membuatnya menarik. Nara keluar kamar. Ia melirik Argan tengah mencuci piring, sedang Sakha duduk melahap menu sarapan. Selesai mencuci piring, Argan yang sudah rapi dengan kemejanya melirik Nara yang mematung. "Duduklah, sarapan dulu," ucap laki-laki itu datar. Nara yang memang merasa lapar menuruti permintaan sang suami. Sebenarnya ia tak biasa sarapan, tapi kali ini perutnya keroncongan. Nara duduk di sebelah Sakha. Ia menatap hidangan yang tersaji. Nasi, ayam goreng dan capcay. "Hai, Sakha." Nara mencoba menetralkan kecanggungan yang ia rasakan dengan menyapa anak tirinya. Sakha terdiam dan melirik ibu tiri mudanya sekilas. Ia hanya tersenyum sedikit, senyum yang dipaksakan. Argan meletakkan piring di hadapan Nara. Bahkan ia juga mengambilkan segelas air. Setelah itu, ia duduk di depan Sakha dan Nara dengan satu bentang meja yang menjadi jarak. "Bapak yang masak semua ini?" tanya Nara yang mengambil nasi setelah Argan selesai mengambil nasi untuk dirinya sendiri. "Iya saya yang masak. Kalau bukan saya siapa lagi. Sudah tiga tahun sejak kepergian ibunya Sakha, saya selalu mempersiapkan segalanya sendiri." Nara tahu seorang istri biasanya mengerjakan pekerjaan dapur seperti ini, tapi dia belum berminat untuk belajar memasak. Toh Argan setuju-setuju saja ketika dia mengajukan persyaratan untuk tak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Bapak nggak mempekerjakan asisten rumah tangga?" tanya Nara dengan polosnya. Argan tersenyum tipis. Rasa-rasanya baru kali ini Nara melihat Argan tersenyum. "Ada seorang asisten yang datang setiap tiga kali seminggu. Pekerjaannya menyetrika, bersih-bersih rumah, mencuci baju, menyapu ruang dalam rumah dan halaman. Dia mengerjakan apa yang tidak sempat saya kerjakan. Tapi tanpa dia sekalipun, saya bisa mengerjakan apa saja asal sedang ada cukup free time." "Baguslah. Saya belum berminat mengerjakan pekerjaan rumah tangga," balas Nara lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. "Saya masih ingat poin ketiga yang kamu ajukan. Saya simpan kertas bertuliskan poin-poin itu di laci nakas biar saya nggak lupa. Saya nggak akan meminta kamu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kamu istri saya, bukan asisten rumah tangga," sahut Pak Dosen tanpa menatap Nara yang tergugu mendengar penuturan Argan. Jleb ... kamu istri saya, bukan asisten rumah tangga ... Dan sesuai kesepakatan, Nara meminta Argan untuk tidak menganggapnya istri. Sakha menyudahi makanannya. Ia tak menghabiskan menu sarapannya. "Kok, sudah selesai? Dihabiskan Sakha, jangan terbiasa menyisakan makanan!" Tatapan Argan menyasar pada piring di depan Sakha. "Sakha udah kenyang Ayah," bibir anak kelas tiga SD itu mengerucut. "Apa Sakha diantar Bapak ke sekolahnya?" Nara melirik suaminya. Argan menggeleng, "Ada mobil jemputan dari sekolah yang akan menjemput dan mengantarnya pulang. Oya kamu pulang dari kampus jam berapa?" "Saya selesai kuliah jam satu siang. Tapi setelah itu, saya mau jalan-jalan ke mall sama teman," jawab Nara tanpa sungkan. "Ya sudah kalau gitu. Saya akan meminta supir mobil jemputan untuk mengantar Sakha ke rumah neneknya saat pulang nanti. Sepulang dari kampus saya akan menjemputnya di rumah neneknya." Argan beranjak, lalu mengambil satu kotak bekal dan botol minum. Ia masukkan ke dalam tas jinjing kecil dan meletakkannya di atas meja. "Bekalnya nanti dihabiskan, ya." Argan melirik putranya. Sakha mengangguk. Nara terkesima melihat betapa cekatannya Argan mengurus segala sesuatu. Ia bahkan menyiapkan bekal untuk anaknya juga. "Sakha nggak bilang terima kasih sama ayah karena sudah disiapkan bekal?" Nara mencoba mengakrabkan diri. Sakha tak menjawab. Ia melempar tatapan tajam pada ayahnya. "I don't like her," celetuknya lirih. Nara terperanjat, begitu juga dengan Argan. "Yang sopan Sakha. Don't say those words anymore." Argan menatapnya tegas dengan kilatan tajam dari bola matanya. "It's okay. If you thought I didn't understand what you said, you were wrong, little boy." Nara menajamkan matanya membuat anak itu beringsut. "Saya mohon maafkan dia. Dia masih terlalu polos." Argan merasa tak enak hati pada Nara. "Nggak apa-apa," ujar Nara singkat. Tak lama kemudian suara deru mobil terdengar dari dalam. "Mobilnya sudah datang." Argan membawa satu tas kecil berisi kotak bekal dan botol minum. "Ayo pamitan sama Mama, Sakha." Argan menepuk bahu anaknya. Sakha melirik Nara dengan tatapan tak suka. "Nara sanes ibu Sakha, Yah." (Nara bukan ibu Sakha, Yah). Kali ini Sakha menggunakan bahasa Krama inggil atau bahasa Jawa halus. Iya yakin Nara tak akan mengerti apa yang diucapkannya. "Mboten pareng matur kados punika Sakha." Argan menegaskan kata-katanya. (Tidak boleh bicara seperti itu Sakha, punika dibaca meniko). Sakha terdiam. Nara tak mengerti apa yang tengah mereka bicarakan. Dia hanya memahami bahasa Jawa Ngoko (sehari-hari, bukan bahasa Jawa halus). Sakha menjulurkan tangan pada Nara dengan terpaksa. Nara menyambutnya. "Saya akan mengantar Sakha dulu ke depan." Argan menggandeng Sakha menuju pintu luar. Argan menyerahkan satu buah tas bekal pada putranya sebelum masuk ke dalam mobil. "Pak, nanti anak saya diantar pulang ke rumah neneknya ya." Argan tersenyum menoleh pada Pak supir. "Nggih, Pak," jawab sang supir dengan senyum ramahnya. Argan mematung hingga mobil itu berlalu dari pandangan. Selanjutnya ia masuk lagi ke dalam. Nara masih melahap menu sarapannya. Argan berjalan ke arahnya. "Nanti saya antar atau kamu berangkat sendiri?" pertanyaan Argan membuat Nara terkesiap. "Saya naik motor sendiri saja." "Kamu mau jalan-jalan ke mall mau beli apa?" tanya Argan kembali. Nara terhenyak. Ia tak tahu kenapa Argan ingin tahu apa saja yang hendak ia beli. "Nggak tahu sih. Paling nanti lihat-lihat novel." Argan mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan dua lembar seratus ribuan. Ia menyodorkan dua lembar uang merah itu pada Nara. Nara terbelalak. Uang saku? Pikirnya. Saat dia masih menjadi anak kost, berapapun lembar uang yang ada di dompet selalu menjadi harta karun yang menjadi penyemangat tersendiri. Namun kali ini, ia sungkan menerimanya. "Apa ini cukup? Saya minta maaf kalau apa yang saya berikan tidak sebanyak apa yang orang tuamu berikan." Argan mengamati raut wajah istrinya yang terlihat datar. "Saya masih punya uang," balas Nara. Argan tersenyum tipis. "Saya tahu kamu menginginkannya, ambil saja." Dengan ragu, Nara menerimanya. "Terima kasih," ucap Nara pelan. Argan beranjak dan mengambil satu tas kecil, sama persis dengan tas bekal milik Sakha. Tas kecil bergambar Mickey Mouse itu membuat Nara memicingkan matanya. "Ini saya siapkan kotak bekal dan botol minum. Kamu kuliah sampai siang, kan? Daripada beli makanan di luar, belum tentu sehat, lebih baik bawa bekal sendiri." Argan meletakkan tas bekal itu di atas meja. Ia merasa seperti memiliki dua anak saja. Setidaknya ia biarkan saja interaksinya dan Nara berjalan alami. Dia tak mau memaksakan Nara untuk mengikuti ritme sebagai seorang istri. Ia tahu, Nara belum siap. "Bapak menyiapkan bekal ini untuk saya?" Nara menyipitkan matanya. Argan mengangguk. "Kayak anak kecil, Pak. Bawa bekal segala. Saya malu sama teman-teman." Nara tak enak hati menolak, tapi dia juga malu membawa bekal itu ke kampus, seakan dia seperti murid TK atau SD saja. "Ya nggak apa-apa. Kadang saya juga bawa bekal ke kampus. Kalau kamu nggak mau, ya sudah, saya nggak akan memaksa." Argan bicara setenang mungkin. "Baiklah saya akan membawanya." Tukas Nara akhirnya. Ia tak tega juga jika tak menghargai apa yang sudah Argan lakukan untuknya. "Pak, bolehkah saya tahu, apa yang menyebabkan ibu Sakha meninggal?" Argan terhenyak. Selalu ada luka menyayat yang seolah melumpuhkan pertahanannya setiap kali ada pertanyaan yang menanyakan seputar kematian almarhumah istrinya. Sesuatu yang tak ingin ia korek dan bagi pada semua orang. Begitu juga orang tua dari almarhumah Mareta yang hingga detik ini masih shock, bersedih, dan berusaha mengubur dalam-dalam rasa sakit karena kehilangan. Sebuah peristiwa yang mengukir trauma mendalam di hati sang anak. Ia yang melihat pertama kali sang ibu meregang nyawa di bathub. Tubuhnya terbenam air merah bersimbah darah yang bersumber dari pergelangan tangannya. Bau anyir darah menyeruak dan ditemukan sebilah cutter dengan sidik jari Mareta tertinggal di sana. Mareta bunuh diri dengan meninggalkan sejuta misteri bagi orang-orang terdekat yang hancur kehilangannya. Sesuatu yang menorehkan bongkahan luka bernanah yang masih terasa perih di hati Argan, hingga detik ini. Ia merasa gagal menjadi seorang suami dan ia tak tahu pasti motif apa yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri sang istri. Tak ada satupun catatan, diary atau jejak apapun yang ditinggalkan istri. Semalam sebelum peristiwa naas itu terjadi, ia dan Mareta sempat memadu kasih dan ia bisa melihat Mareta tersenyum bahagia. Lagi-lagi Argan tercekat. Kredibilitasnya sebagai suami seolah tiada arti. Ia meminta maaf pada orang tua Mareta berkali-kali dengan air mata menganaksungai. Ia meminta maaf atas kelalaiannya menjaga sang istri hingga ia tak tahu selama ini Mareta mengidap depresi berat. Semua orang bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Mareta begitu tertekan, sedang ia memiliki suami super baik dan penyabar beserta satu anak laki-laki yang sehat, sholeh, dan cerdas. Ketika waktu membunuh pelan-pelan segala tanya yang pernah berkecamuk, hati pria itu belumlah lepas dari rasa ingin tahunya. Ia masih mencari jawaban. Jawaban atas alasan Mareta melakukan bunuh diri. Dia tak akan menyerah untuk mendapatkan jawaban itu. Setidaknya ia mencoba mencari tahu pada sahabat-sahabat terdekat almarhumah barangkali Mareta sempat berkeluh kesah tentang kehidupannya. Hanya ada satu keterangan dari Lusi, sahabat dekat Mareta sejak SMA. Terakhir, Mareta mengeluhkan kepalanya yang sering pusing dan selera makannya yang menurun drastis. Tak ada informasi lain. Rekam jejak dramatis dan tragis itu menjadi faktor terbesar yang mengubah drastis karakter Sakha yang sebelumnya periang, terbuka menjadi sedemikian tertutup, terlebih pada orang asing, pemurung, dan sering menarik diri dari sosial. konsultasi pada psikolog tak banyak membantunya. Kadang guru Sakha memanggil Argan ke sekolah untuk membicarakan kondisi psikis Sakha yang bermasalah. Anak sekecil itu harus menanggung traumatis masa lalu yang begitu menyakitkan. Kini ia terpaku di depan seorang gadis yang telah menggantikan peran Mareta sebagai istri. Setidaknya itu yang tersurat di buku nikah. Karena realita yang ada, dua orang itu tetaplah asing satu sama lain. Melihat Argan yang hanya membisu tanpa sepatah kata terlontar dari bibirnya, Nara cukup tahu diri untuk tidak menanyakannya lagi. Ada luka dan kesedihan yang menyesakkan yang tergambar jelas dari wajah dan kedua matanya. Sorot mata laki-laki itu berkaca. "Saya berangkat dulu," ucap Nara seraya beranjak dan mengambil tas bekal di hadapannya. "Ya, saya juga mau berangkat." Argan beranjak. Mereka melangkah keluar beriringan. Argan mengunci pintu dan memberikan satu kunci duplikat pada Nara. "Yakin ingin berangkat sendiri? Tidak ingin saya antar?" tanya Argan memastikan. Nara mengangguk. "Yakin, Pak." "Baiklah, silakan kamu berangkat dulu." Argan menunggu sampai Nara mengendarai motornya. Nara mendekat ke arah motor yang terparkir di halaman. "Saya berangkat dulu, Pak. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Motor itu melaju meninggalkan Argan yang masih termenung. Waktu seakan begitu cepat berjalan. Masih jelas dalam bayangannya, senyum Mareta yang selalu merekah kala mengantarnya berangkat ke kampus. Kini ia beristrikan seseorang yang tak ubahnya seperti seorang anak baginya. Dia yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk Nara. Betapapun bengalnya sang gadis, di depannya gadis itu tetaplah polos dan kadang kekanakan. Ia sudah berjanji pada ayah dan ibu mertuanya untuk menjaga dan membimbing gadis itu dengan baik. ****** Nara membuka catatan-catatan ekonomi makro yang belum selesai ia tulis. Ia melirik Tasya, teman dekatnya. "Tas, ntar aku pinjem catatanmu ya, aku fotokopi aja deh. Males nyatet." Tasya mengangguk, "Beres Na." Tasya melirik tas bekal Nara yang ia letakkan di meja gazebo. "Tumben kamu bawa bekal, Na? Unyu-unyu pula gambar Mickey Mouse." Tasya menyeringai dan tertawa lepas. "Si Bapak yang nyiapin. Udah persis kayak anaknya aku Tas." Tasya tertawa sekali lagi, "Perhatian banget ya si Bapak. Dia ngajar di fakultas mana ya?" "Fakultas pertanian Tas." "Aku perhatiin si Bapak mukanya masih terlihat muda. Badannya juga tegap, tinggi, masih oke banget lah. Nggak tua-tua amat. Tiga dua masih terhitung muda untuk ukuran dosen." Tasya mengelus dagunya dan membayangkan sosok Argan yang ia lihat dari fotonya. "Ya dia memang masih oke fisiknya. Tapi aku nggak cinta. Seleraku bukan seseorang yang lebih tua. Selisih kami tiga belas tahun." Nara menerawang pada sesuatu di depannya, tapi entah bermuara kemana. "Umur nggak jadi soal. Yang penting di ranjang, dia hebat." Tasya mengedipkan matanya dan memelankan suaranya. "Ih, kamu mah pikirannya ke sana mulu." Nara menggeleng. "Gimana malam pertamanya Na? Eh, kamu kok nggak honeymoon? Biasanya pengantin baru pergi bulan madu. Ini kalian lempeng aja." "Emang sengaja nggak bulan madu. Kami udah sepakat, aku minta si Bapak jangan dulu nyentuh aku sebelum aku wisuda." Tasya menganga sekian detik, "Sumpah lo? Ya ampun kasihan banget Pak Argan. Tega bener kamu, Na." "Biarin aja. Aku juga masih sembilan belas. Aku nggak mau hamil dulu sebelum lulus." "Kan bisa pakai pengaman, Na. Sayang banget orang seganteng dan segagah Pak Argan dianggurin." Nara tak ambil pusing perkataan sahabatnya. Baginya pernikahannya dan Argan hanya sebatas pada apa yang tertulis di atas kertas. Toh, dia sudah sepakat dengan Argan untuk tak menganggap pernikahan ini seperti sungguhan. ******

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.3K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
358.4K
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

Will You Marry Me 21+ (Indonesia)

read
612.4K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.2K
bc

My Soulmate Sweet Duda (18+)

read
1.0M
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook