Part 1

2868 Words
"Ibu .... Ibuuu ...." Nara mengerjap, begitu juga Argan. Mereka terbangun karena mendengar teriakan Sakha yang terdengar nyaring. "Astaghfirullah ...." Argan turun dari ranjang dan segera bergegas menuju kamar anaknya. Nara menyusul, ingin tahu apa yang terjadi pada anak tirinya. Nara mematung, mengamati Sakha yang menangis sesenggukan sementara Argan memeluk tubuhnya erat. Ia mengusap-usap punggung putranya. "Kamu cuma mimpi, Sakha. Tidur lagi ya. Tidak terjadi apa-apa." Argan berusaha menenangkan putranya. Tiga tahun berlalu. Argan pikir, kejadian tragis itu tak akan lagi mengusik pikiran Sakha. Nyatanya, ia salah besar. Betapa satu kejadian tragis itu telah menghancurkan kehidupan anaknya, memporak-porandakan kondisi psikisnya. Argan hanya bisa menangis dalam diam, tanpa seorang pun tahu. Ia emban semua beban itu sendiri. Siapa yang tak bersedih melihat buah hati tercinta menanggung trauma hingga membalikkan karakternya 180 derajat. Argan merindukan Sakha yang tertawa lepas, bermain bola bersama teman-temannya, dan terbuka bercerita apapun padanya. Anak itu menjadi pemurung, antisosial, temperamen, terkadang meledak-ledak saat marah, dan di sisi lain bisa sedemikian rapuh dan menangis tersedu-sedu tanpa bisa dihibur. Sakha baru lima tahun kala mendapati sang ibu meregang nyawa di dalam bathub. Siapa yang tak akan trauma? Sungguh anak sekecil itu belum bisa menyikapi segala sesuatu secara dewasa. Yang ia tahu, ibunya meninggal dan darahnya bercampur dengan air dalam bathub, begitu mengerikan di matanya. Ia tak bertanya kenapa ibunya melakukannya, kenapa wanita yang paling berharga dalam hidupnya memutuskan membunuh dirinya sendiri.... Ia tak bertanya akan hal itu. Hanya terngiang satu fakta yang mengelayut dalam benak, ibunya meninggal dan banyak darah. Anak itu trauma hebat hingga selalu berteriak histeris kala melihat bathub. Argan memutuskan untuk tak lagi menggunakan bathub dalam kamar mandi. Ia singkirkan semua hal yang mengingatkan anak itu pada kejadian tragis yang menimpa ibunya. Argan meminta bantuan tukang menghancurkan kamar mandi tempat istrinya mengakhiri hidupnya dan membangun kamar mandi pengganti di pojok ruangan yang lain. Anak itu menjerit histeris dan berteriak-teriak ketakutan setiap kali terluka dan berdarah, entah jatuh hingga lututnya berdarah atau tak sengaja teriris pisau kala ia mengupas buah. Ia selalu ketakutan melihat darah. Kecemasan menyergapnya sewaktu-waktu, panik menyerangnya tiba-tiba terlebih jika ia teringat akan kejadian tragis itu. Psikiater mendiagnosa dia memiliki anxiety disorder, gangguan kecemasan. Seiring berjalannya waktu, anxiety-nya sudah berkurang, tapi tidak dengan traumanya. Sakha masih sering bermimpi buruk, bermimpi akan kematian ibunya. Sepanjang hari hidupnya serasa dihantui ketakutan akan sakitnya kehilangan. Sejak kematian ibunya, sejak itu pula, dunianya berubah drastis. Sepakbola tak lagi menjadi hal menyenangkan untuknya. Berkumpul bersama teman-temannya tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan sejak teman-temannya sering kali berceloteh, 'ibunya Sakha bunuh diri', 'ibunya Sakha meninggal di kamar mandi', 'aku nggak mau main ke rumah Sakha, di sana banyak setannya. Ibunya kan mati bunuh diri'. Sakha merasa ikut terhakimi ketika orang-orang di sekitar menanyakan perihal kematian ibunya. Ia menarik diri dari pergaulan, ia lebih suka mengurung di kamar, dan dia tak memiliki teman akrab. Sakha membatasi diri dan memang tak menginginkan seorang teman. "Sakha sekarang tidur lagi ya?" Argan memegang kedua lengan putranya dan menatapnya lembut. "Ayah apa ibu bisa masuk surga? Kata ustadz orang yang melakukan bunuh diri telah melakukan dosa besar dan kelak dimasukkan ke neraka j*****m. Ia akan disiksa dengan apa yang ia gunakan untuk bunuh diri, selama-lamanya." Tangis Sakha semakin keras dan menyayat. Argan tercekat. Sepanjang hari dia selalu memikirkan hal ini, apakah dosa istrinya yang bunuh diri akan diampuni. Dia mengerjakan sholat, puasa, menutup aurat, taat pada suami, sayang keluarga, dan hidupnya berakhir dengan bunuh diri. Ada luka perih mencabik-cabik hatinya, benar-benar perih. Perasaannya hancur dan puing-puing itu masih berserakan hingga detik ini. Sesuatu yang sudah runtuh tak akan mungkin kembali utuh kendati kepingan-kepingan itu direkatkan kembali. Jejak-jejak retak itu tetap terlihat jelas. Argan memeluk putranya sekali lagi. Air matanya ikut menetes seiring dengan tangis putranya yang tak jua berhenti. Nara yang tengah mematung di dekat pintu hanya bisa menganga, shock tak terkira mengetahui satu realita getir akan penyebab kematian ibu Sakha. Sejuta tanya berkecamuk, apa yang menyebabkan almarhumah bunuh diri. "Sakha nggak mau ibu disiksa Ayah ... Sakha nggak mau ibu masuk neraka j*****m ....," tangis Sakha semakin mencekat. Nara trenyuh mendengarnya. Hatinya ikut meradang. Ia membayangkan jika ia ada di posisi Sakha, pasti akan begitu berat untuknya dan ia tak tahu, apa ia bisa sekuat Sakha. "Sakha jangan mikir yang nggak-nggak. Sakha banyak berdoa sama Allah, minta Allah mengampuni dosa ibu." Argan mengusap air mata yang membanjir di wajah anaknya. Ia melirik Nara yang membisu. "Saya akan menemani Sakha sampai dia tidur lelap. Kamu balik lagi aja ke kamar, nanti saya menyusul." Nara tak membalas apapun. Ia menurut saja dengan apa yang dikatakan Argan. Ia kembali ke kamar. ****** Argan membuka pintu kamarnya lalu menutup kembali. Ia melirik sang istri yang tengah terbaring, miring ke kanan. Mendengar suara pintu bergeser, Nara terkesiap. Ia melirik Argan naik ke ranjang dan duduk selonjoran di sebelahnya. Nara bangun dari posisinya dan menatap Argan dengan penuh tanya. Setelah melihat raut wajah sang suami yang terlihat lelah, Nara tak jadi bersuara, kendati ia begitu penasaran ingin tahu perihal kematian almarhumah istri Argan yang berakhir tragis. Ia melihat bulir bening mengalir dari kedua sudut mata laki-laki itu kala memeluk anaknya. Bertanya soal kematian istrinya sama saja membuka kembali kisah getir dan menorehkan luka di atas luka yang masih basah. Argan menatap Nara datar. "Almarhumah ibu Sakha meninggal karena bunuh diri. Sakha melihatnya pertama kali di kamar mandi. Almarhumah meregang nyawa di dalam bathub. Darah bercampur air menggenangi tubuhnya. Dia melukai pergelangan tangannya dengan cutter yang ditemukan tergeletak di sebelah bathub." Argan menerawang, mengamati langit-langit dengan sejuta kesedihan kembali mendera. Nara terdiam. Ada perasaan shock, trenyuh, dan menyayangkan tindakan nekat bunuh diri almarhumah. Sebuah peristiwa tragis yang akhirnya membawanya ada di posisi ini, menjadi pengganti almarhumah untuk menjadi istri dari Argan dan ibu dari Sakha. Meski ia tahu, sosok almarhumah tak akan pernah tergantikan di hati Argan dan Sakha. Nara ingin sekali tahu motif apa yang melatarbelakangi almarhumah untuk melakukan bunuh diri. Namun ia tahan mulutnya. Ia merasa tak enak hati menanyakannya. "Sampai sekarang saya belum tahu kenapa almarhumah bunuh diri. Hubungan kami baik-baik saja. Dia tak meninggalkan catatan atau pesan apapun sebelumnya." Argan menunduk. Tak mudah baginya bercerita gamblang pada orang lain mengenai kematian sang istri. Nara harus tahu karena ia merasa tak bisa menyembunyikan hal ini darinya. "Saya ikut bersedih mendengarnya, Pak." Nara berkata lirih. Argan kembali menatapnya tajam. Nara sedikit salah tingkah. Ia tak mau membuat kontak mata dengan suaminya. "Sakha mengalami trauma yang hebat. Dia kerap bermimpi buruk. Sifatnya yang dulu periang berubah pemurung dan tertutup. Saya sengaja menyekolahkan dia di tempat yang agak jauh, agar dia bertemu dengan orang-orang baru yang tak tahu-menahu akan kejadian tragis tiga tahun silam. Saya tidak mau siapapun membuka kembali luka lama yang belum sembuh. Guru-gurunya sering bercerita kondisi dia di sekolah yang pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Saya hanya mengatakan bahwa dia trauma kehilangan ibunya tanpa pernah saya bercerita bahwa ibunya meninggal bunuh diri." Nara mendengar penuturan suaminya tanpa menanggapi apapun. "Saya sudah membawanya ke psikolog bahkan psikiater waktu anxiety-nya kambuh dan semakin parah. Saya melakukan serangkaian upaya untuk melenyapkan rasa traumanya, tapi semua tak semudah membalikkan telapak tangan. Psikolognya pernah berkata bahwa Sakha mengalami post-traumatic stress disorder atau PTSD, gangguan akibat melihat ataupun mengalami suatu kejadian berbahaya atau berat. Hal ini memengaruhi kondisi psikologis Sakha." Argan mengembuskan napas pelan. Ia melirik istrinya yang diam tercenung. "Maaf, saya telah bercerita banyak." "Tidak apa-apa, Pak. Kalau dengan bercerita bisa membuat Bapak lega, dengan senang hati saya akan mendengarnya. Mohon maaf kalau saya nggak bisa menanggapi banyak. Bukan karena saya nggak bersimpati, tapi permasalahan ini begitu kompleks dan saya ikut sedih mendengarnya." Argan tersenyum. "Terima kasih sudah mau mendengar. Itu saja sudah cukup buat saya." Argan beranjak. Tatapan Nara mengikuti langkah suami menuju kamar mandi. Suara gemericik air menggaung dari dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Argan berjalan mendekat ke arah lemari. Ia membuka pintu lemari. Ia melepas piyamanya. Nara yang masih duduk selonjoran di ranjang sembari memainkan ponsel mengerjap. Ia menatap tubuh bagian atas Argan yang terlihat atletis, perut sixpack, d**a bidang, tubuh yang begitu ideal. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Argan mengganti piyamanya dengan baju koko. Saat Argan berjalan menuju pintu, Nara terpancing untuk bertanya. "Bapak mau ke Masjid malam-malam begini?" Argan mengulas senyum. "Nggak, saya mau ke ruang sholat. Mau sholat Tahajjud." Nara tak membalas. Ia hanya tersenyum tipis. Ia menyadari satu hal, dirinya dan Argan bagai bumi dan langit. Argan sosok yang religius, sedang dirinya sosok yang selengekan dan kerap melanggar aturan. Satu prinsip yang ia pegang, tak ada pacaran dan tak ada seks sebelum menikah. Sebengal apapun kelakuannya, ia tak pernah mau menjalin hubungan romantis dengan laki-laki apalagi melakukan kontak fisik dengannya. Bukan karena ia tak menyukai laki-laki. Ia perempuan straight seutuhnya, hanya saja ia belum tertarik membangun hubungan romantis dengan lawan jenis. Kini ia berada di satu posisi yang seakan memaksanya untuk belajar membangun hubungan romantis dengan suaminya. Namun ia belum tertarik dan Argan juga telah menyetujui poin-poin yang ia ajukan selama mereka berumahtangga, minimal sampai ia wisuda. ****** Minggu yang cerah semakin merekah kala mentari tersenyum hangat menyambut. Argan mengerjakan rutinitasnya memasak di dapur. Uwa Parti datang ke rumah untuk mengerjakan tugas rutinnya yang ia lakukan setiap tiga kali seminggu, beberes di rumah Pak Dosen. Ia tengah sibuk menjemur baju dan bersiap menyetrika pakaian yang sebelumnya sudah dicuci dan kering. Argan sengaja memilih asisten yang umurnya jauh lebih tua, 50an tahun tapi masih sehat dan energik. Ia tak ingin ada fitnah jika menggunakan jasa asisten perempuan muda. Sakha terlihat asik menggambar di ruang tengah. Nara menghampiri Argan dan merasa tak enak hati karena setiap hari Argan memasak untuknya. "Pak, maaf sebelumnya. Bapak nggak perlu repot-repot memasak untuk saya. Saya akan mencari masakan sendiri. Dari awal kita sepakat, kalau Bapak nggak akan menganggap saya istri dan saya nggak akan menganggap Bapak sebagai suami. Jadi kita tak perlu terpaku pada tugas sebagai istri dan suami." Argan terdiam sejenak. Ia mematikan kompor lalu menatap Nara yang menatapnya datar. "Masakan di luar nggak selalu sehat. Saya sudah berjanji pada orang tuamu untuk jagain kamu. Kalau kamu sakit gara-gara keseringan makan masakan luar yang nggak selalu sehat, mereka akan kecewa sama saya karena saya dinilai gagal jagain kamu." Argan bersedekap. Nara tak bereaksi. "Lagipula saya sudah bilang ke papa kamu, yang sekarang jadi papa saya juga untuk nggak transfer uang lagi ke rekeningmu. Sejak kita menikah, tanggung jawab papa kamu beralih ke saya. Saya yang akan menafkahi kamu. Saya nggak akan membuat anggaran untuk kamu membeli masakan di luar. Kalau kamu masih ngotot membeli masakan di luar, saya nggak akan memberi kamu jatah uang saku lagi. Silakan isi bensin sendiri, isi kuota sendiri. Tapi kalau kamu mau nurut sama saya, saya nggak akan memotong uang saku kamu." Nara mendelik. Ia tak menyangka sosok Argan yang ia pikir akan bersikap lunak padanya kali ini begitu tegas mengaturnya. "Pak, kenapa menyuruh papa untuk berhenti transfer uang ke rekening saya? Bapak tega. Bukankah jika papa masih rutin transfer, Bapak tak perlu menafkahi saya? Bapak lupa sama poin yang pernah saya ajukan? Jangan pernah menganggap pernikahan ini nyata, Pak." Nara menegaskan kata-katanya. Argan masih bersedekap. Badannya sedikit bertumpu pada meja dapur. "Ya, tapi tak ada poin yang mengatur tentang nafkah dan membeli masakan di luar." Argan bicara setenang mungkin. "Pak, saya tuh cuma nggak ingin Bapak repot-repot masak buat saya. Simple lho sebenarnya. Saya nggak enak hati memakan masakan Bapak." Nara sedikit menaikkan volume suaranya dan ia masih menjaga suaranya agar tak meninggi lagi. Ia tak ingin Uwa Parti mendengar perdebatan mereka. "Kalau gitu dibikin enak saja," balas Argan santai. Nara melongo. Ia kesal dengan ulah Argan yang meminta ayahnya berhenti transfer uang saku padanya. "Ada kok cara yang bisa bikin kamu enak saat makan masakan saya. Kita gantian masak. Selang-seling. Hari ini saya masak, besok kamu yang masak. Lusa saya lagi yang masak. Begitu seterusnya." Argan mengerlingkan senyum tipis. Senyum yang dirasakan Nara seperti senyum kemenangan dan menertawakan kekalahannya. "Saya nggak bisa memasak," ketus Nara. "Kalau nggak bisa ya belajar. Saya yakin semua orang bisa memasak asal ada kemauan dan usaha nyata. Nggak susah kok dipelajari." Argan menatap Nara begitu menelisik seolah tengah menelusuri setiap jengkalnya. Sebagai laki-laki dewasa yang normal, bohong rasanya jika tak ada ketertarikan pada sosok gadis tomboy nan cantik itu, meski hanya sedikit. Akan tetapi, di matanya Nara masihlah gadis kecil yang labil dan polos dan ia menahan diri untuk tak menyentuhnya, sesuai kesepakatan. Melihat Nara yang terlihat ragu dan seperti sedang memikirkan sesuatu, Argan melanjutkan kata-katanya, "Semua terserah kamu. Makan di luar dan uang saku kamu saya potong. Atau gantian masak dengan saya, makan di rumah, dan uang saku kamu tetap utuh." Nara tak punya pilihan lagi. Ia tak mau kehilangan uang sakunya. "Baiklah, saya kalah. Saya turuti kemauan Bapak." Nara mengerucutkan bibirnya. Ia memasang tampang cemberut. Argan menuang sop ke dalam mangkok besar dan meletakkannya di meja. Ia kembali melirik Nara. "Silakan duduk dulu, Na. Masih ada yang ingin saya bicarakan." Argan menarik mundur kursi lalu duduk. Dengan ogah-ogahan, Nara duduk di hadapan Argan. "Na, uang nafkah itu ada uang untuk keperluan rumah tangga dan kebutuhan kamu pribadi. Biaya kamu kuliah dan biaya Sakha sekolah, saya yang pegang. Karena keperluan rumah tangga bukan kamu yang mengurus, jadi uang itu tidak akan saya berikan pada kamu. Saya yang akan membayar biaya listrik, air, upah asisten rumah tangga, kebutuhan dapur, dan lain-lain. Untuk keperluan pribadi kamu, mungkin saya nggak bisa memberi sebanyak yang papa kamu kasih. Saya pernah iseng bertanya pada papa berapa uang saku kamu sebulan saat dulu kamu kost, jumlahnya bikin saya tercengang." Argan menatap Nara begitu menghunjam. Nara masih terdiam. "Belajar dari pengalaman papa, maka saya nggak akan ngasih uang sebanyak yang papa kamu kasih. Karena dengan uang sebanyak itu, kamu menghamburkannya dengan berhura-hura di night club, makan-makan sama teman-teman kamu di resto mewah, beli barang-barang branded yang sebenarnya nggak begitu penting. Saya nggak mau kamu kembali digiring ke kantor polisi gara-gara terciduk di pesta narkoba." Nara tercengang mendengar kata-kata tajam Argan. "Bapak jangan menuduh saya seenaknya menghamburkan uang dari papa." Nara menatap Argan dengan tampang judesnya. "Postingan kamu di ** menceritakan segalanya, Na," ucap Argan segera. Nara menelan ludah. Dia tak pernah menyangka Argan diam-diam stalking akun instagramnya. Rasanya sudah lemas duluan membayangkan uang sakunya hanya akan diberi sedikit oleh Argan. "Saya hanya akan memberi uang untuk kebutuhan yang penting. Uang bensin, kuota, jajan kamu, dan kalau kamu ingin beli baju, buku, novel, atau keperluan, kamu tinggal bilang sama saya. Saya nggak keberatan nemeni kamu belanja." Nara menghentakkan tangannya mengenai meja dan mengeluarkan bunyi yang cukup keras hingga Argan terhenyak. "Kamu nggak suka?" Argan menyipitkan matanya. "Dengar, Na! Saya tidak sekaya papa kamu yang seorang konglomerat. Memang selain mengajar, saya punya rumah kost di daerah sekitar kampus. Tapi dibanding papa, penghasilan saya masih jauh. Karena itu saya ingin kamu menyesuaikan diri dengan kondisi finansial saya. Tapi saya jamin, kamu nggak akan kelaparan dan saya akan berusaha memenuhi semua kebutuhan kamu. Kebutuhan penting, bukan kebutuhan untuk hura-hura." "Bapak udah mulai mengatur saya. Padahal bagi saya pernikahan ini bukan sungguhan." Nara begitu kecewa dan kesal dengan sikap Argan yang menurutnya semena-mena. "Tidak ada poin tentang nafkah, ingat itu. Jadi kamu harus ikuti kesepakatan saya. Ada satu lagi yang ingin saya sampaikan." Nara menerka-nerka apa lagi yang akan disampaikan suaminya ini. Dia sudah tak mood duluan. "Hari ini wali kelas Sakha akan home visit sekitar jam sepuluh pagi. Saya ingin kamu bersikap sewajarnya seorang istri. Saya ingin kita bersikap normal seperti pasangan suami istri pada umumnya di depan orang lain atau di depan keluarga dan di depan umum." Kata-kata yang meluncur dari bibir Argan terdengar penuh wibawa. Auranya sebagai dosen yang dikenal disiplin dan tegas seketika keluar. Nara menyeringai. "Tidak ada yang gratis, Pak. Tadi saya sudah cukup banyak mengalah. Sekarang saya minta Bapak menuruti permintaan saya." Argan mengernyitkan dahi, "Apa itu?" "Saya ingin Bapak menyenangkan saya." Nara menatap lekat Argan yang terpaku di hadapannya. Baru kali ini Nara berani menatap tajam suaminya. Argan beranjak dan mendekat pada Nara. Ia sedikit menundukkan badannya dan memperpendek jaraknya dengan gadis tomboy itu. Satu tangannya bertumpu pada meja, satu tangan yang lain bersandar di atas punggung kursi yang diduduki Nara. "Bagaimana caranya untuk menyenangkan kamu?" Sorot mata Arga menancap tepat di kedua mata Nara. Ditatap sedemikian lekat oleh Argan, membuat Nara salah tingkah. Dadanya berdebar. Ia belum pernah merasakan bagaimana menjalin kedekatan spesial dengan laki-laki. Ada desiran di hatinya, tapi ia tak mau mengartikan lebih. "Saya ingin diajak keliling Purwokerto malam-malam." Nara yakin, Argan bukan tipikal orang yang senang berkeliling kota, apalagi malam ditambah sedang musim hujan. Argan terkekeh, "Cuma itu? Okay, kita keliling kota nanti malam." Argan tersenyum penuh arti. Dia berjalan menjauh, mendekati putranya yang masih aktif menggambar. Nara meraba dadanya. Ia bisa merasakan debaran itu masih menguasai . Ia merutuki kebodohannya, bagaimana mungkin dengan hanya ditatap sedemikian intens dari jarak yang begitu dekat oleh Argan bisa membuatnya deg-degan. Namun yang pasti, dia tak menyukai laki-laki itu karena sudah berani mengatur hidupnya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD