Part 2

4309 Words
Suara bel terdengar nyaring. Uwa Parti yang sedang menyapu ruangan bergegas menuju pintu. Argan menduga guru Sakha yang datang karena jarum jam menunjuk pukul sepuluh lebih lima menit. Guru Sakha sudah memberi tahu sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah sekitar jam sepuluh pagi. "Pak, gurunipun Sakha rawuh." Uwa Parti menganggukan kepala. (Pak, gurunya Sakha datang). "Oh nggih, maturnuwun," balas Argan. (Oh, iya terima kasih). Argan melirik Nara yang tengah membaca novel. Sakha tengah membaca buku cerita bergambar di ruang yang sama. "Na, kita temui gurunya Sakha ya." Argan menatap Nara yang masih asik membaca. Nara menolehnya, "Iya, Pak." Argan meminta Sakha untuk menghentikan aktivitasnya dan menemui gurunya. Mereka bertiga melangkah menuju ruang depan untuk menemui wali kelas Sakha. Argan menyambut ramah kedatangan sang guru. Ia menangkupkan kedua tangan di depan d**a dan mengulas senyum. Nara menjabat guru berjilbab itu. Begitu juga Sakha. Ia menjabat tangan gurunya dan menciumnya. Sakha kembali ke dalam untuk meneruskan aktivitas membacanya. Argan mempersilakan guru itu untuk duduk. Ini pertama kali bagi Riana, gadis berusia 24 tahun itu mengunjungi rumah murid terpintarnya. Sebenarnya sudah sejak lama, gadis yang sudah mengajar sejak empat tahun yang lalu itu ingin home visit ke rumah Sakha, hanya saja status duda Argan menjadi penghalang. Ia tak enak hati berkunjung ke rumah seorang duda. Ia menghindari omongan negatif yang mungkin datang. Setelah Argan menikah, barulah ia berani untuk datang karena sudah ada istri Argan yang akan turut menemuinya. Ia cukup tersentak mengetahui istri dari Argan tenyata masih sangat muda dengan gaya kasualnya. Nara mengenakan kaos oblong dan celana jeans. Ia bersikap sesantai mungkin. "Maaf sebelumnya Pak, Bu, kalau kedatangan saya mengganggu waktu Bapak dan Ibu. Kedatangan saya ke sini ingin sharing seputar perkembangan Sakha di sekolah." Riana mengulas senyum ramah. "Sama sekali tidak mengganggu, Bu. Kami malah berterima kasih atas waktu yang Ibu sempatkan untuk datang ke tempat kami," balas Argan dengan segaris senyum. Perbincangan mereka terjeda sesaat ketika Uwa Parti keluar membawa sebuah nampan. Ia menyajikan teh hangat dan sejumlah cemilan di meja. "Silakan dimakan dan diminum, Bu." "Terima kasih, Pak. Saya jadi merepotkan. Begini Pak, saya ingin tahu lebih banyak tentang latar belakang Sakha. Sakha ini istimewa, Pak. Dia murid terpintar di kelas, bahkan secara paralel dia juga yang paling unggul. Dia bisa mengikuti pelajaran dengan sangat baik, fokusnya bagus, dan anaknya kritis. Jadi dia suka bertanya dan menjawab paling cepat setiap kali saya mengajukan pertanyaan. Kemampuan berbahasa dia sangat mengagumkan. Dia bisa berbahasa Krama Inggil dengan baik. Selain itu, bahasa Inggrisnya juga sangat bagus. Bahasa Arabnya juga bagus. Dia lancar berkomunikasi dengan bahasa Krama Inggil dan Inggris, di mana rata-rata anak kelas tiga, belum banyak yang menguasainya, terutama bahasa Krama Inggil." Argan dan Nara mendengar penuturan guru lajang itu dengan seksama. "Hanya satu yang rasanya sangat disayangkan. Dia tak mau bermain dengan teman-temannya. Jadi di luar kegiatan belajar-mengajar, dia begitu pendiam, menarik diri dari pergaulan. Bahkan kalau ada teman yang mengusiknya, dia begitu temperamen. Dia bisa meledak sewaktu-waktu, pernah dia berteriak tanpa tahu penyebabnya, di sisi lain bisa begitu rapuh, kadang menangis sesenggukan. Di jam istirahat, dia lebih sering sendiri dan murung di kelas. Jadi, saya ingin tahu latar belakang apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu." Argan menghela napas. Dia sudah menduga, gurunya pasti akan membicarakan kepribadian Sakha yang bermasalah. "Dulu saya pernah mengatakan bahwa ibunya meninggal saat dia berumur lima tahun. Meninggalnya ibunya ini membuat dia trauma. Saya pernah beberapa kali membawanya ke psikolog untuk berkonsultasi, tapi sikapnya tidak juga berubah. Setelah pulang kerja, saya pasti meluangkan lebih banyak waktu bersamanya. Dan saya selalu berusaha untuk bicara dengannya dari hati ke hati. Saya melakukan serangkaian pendekatan yang disarankan psikolog. Namun sampai sekarang, usaha saya belum berhasil." Riana trenyuh mendengarnya. Ia tahu tak mudah menghadapi anak dengan kondisi psikis yang bermasalah. Kerena ia pun kesulitan untuk mengubah pembawaan Sakha yang selalu murung menjadi anak yang periang seperti anak-anak pada umumnya. "Saya yakin Bapak pasti sudah berusaha yang terbaik. Sebagai gurunya, saya juga akan mencoba untuk terus memberi dia semangat. Guru dan orang tua bersama-sama berusaha melakukan yang terbaik. Dan sebenarnya di sekolah, bukan hanya Sakha yang mengalami gangguan psikologis. Ada beberapa anak yang juga bermasalah. Karena sekolah kami sekolah inklusi, kami bekerja sama dengan psikolog untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Kemarin para guru mengusulkan untuk mendatangkan psikolog bukan hanya untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus saja tapi juga anak-anak yang mengalami gangguan psikis, seperti Sakha, misal temperamen, pemurung, antisosial. Alhamdulillah Kepala Sekolah menyambut baik usulan kami. Dua hari yang lalu kami mengundang psikolog untuk berbicara dan mengamati perilaku anak-anak yang menurut kami perlu pendampingan khusus. Karena itu, kedatangan saya ke sini juga ingin menyampaikan surat undangan dari sekolah untuk Bapak dan Ibu, untuk berdiskusi dan sharing dengan Kepala Sekolah dan psikolog. Agendanya itu meminta persetujuan orang tua murid untuk mengizinkan anaknya didampingi psikolog dan juga akan ada tambahan biaya untuk jasa psikolog ini. Karena itu harus dibicarakan langsung dengan Kepala Sekolah." Argan mengangguk. "Itu program yang sangat bagus, Bu. Saya setuju sekali. Berapapun tambahan biayanya, bukan masalah besar, yang terpenting anak mendapat perhatian lebih. Dan saya sangat mendukung kebijakan dari sekolah. Karena untuk membujuk dia diajak ke psikolog juga tak selalu lancar. Kadang dia menolak." Riana tersenyum. "Alhamdulillah kalau Bapak setuju. Nggak semua orang tua itu mau terbuka, Pak. Kadang mereka beranggapan anak mereka baik-baik saja. Mereka tersinggung jika anaknya dikatakan bermasalah secara psikis." "Kondisi psikis Sakha memang sudah bermasalah sejak ibunya meninggal. Saya sadari benar ada banyak perubahan dari karakternya. Sebelumnya Sakha ini periang, supel, dan senang bercerita. Setelah ibunya meninggal, karakternya berubah drastis menjadi suka menyendiri, antisosial... Apalagi jika bertemu orang asing, dia sering kali tak nyaman." Argan mencoba menjelaskan kondisi Sakha. Hanya satu yang ia sembunyikan, penyebab kematian Mareta. "Kehilangan orang tua memang bisa menjadi trauma yang berat bagi anak. Setiap kali saya melihat Sakha, saya seperti melihat diri sendiri di masa kecil. Dulu saya pernah trauma karena kehilangan kakek. Saya dekat sekali dengan kakek. Dia seolah menjadi pengganti ayah saya ketika ayah sibuk bekerja. Kakek saya meninggal kecelakaan. Waktu itu saya seumuran Sakha. Meninggalnya kakek saya membuat saya bersedih berlarut-larut, menyendiri, hingga akhirnya ada seorang guru pindahan dari Surabaya. Dialah yang tak kenal lelah memotivasi saya dan menyadarkan saya bahwa saya punya potensi yang harus saya gali. Akhirnya saya bisa meminimalisir rasa trauma karena guru tersebut aktif memberi saya semangat dan melibatkan saya ke berbagai kegiatan positif. Hal itulah yang ingin saya contoh dari guru saya. Namun semua tak semudah Membalikkan telapak tangan. Seperti yang Bapak bilang, Sakha merasa tak nyaman dengan orang asing, mungkin itu jadi penyebab dia belum merasa nyaman dengan saya karena saya juga belum lama mengajar dia. Tapi insya Allah, saya akan terus berusaha mengembalikan sifat periangnya. Dalam hal ini tentunya saya dan Bapak-Ibu harus bekerja sama." Riana menatap Argan dan Nara bergantian. Nara lebih banyak mendengar karena ia tak mengerti harus bagaimana menanggapi perbincangan mereka. Ia sendiri merasa asing dengan anak tirinya. "Sekali lagi terima kasih banyak. Ibu sudah membimbing dan berusaha mengembalikan keceriaan anak saya. Saya hanya bisa berterima kasih dan semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih banyak." "Aamiin. Sudah menjadi tugas seorang guru, Pak." Argan kembali mempersilakan Riana untuk mencicipi hidangan yang disajikan. Nara mengamati wali kelas Sakha tersebut. Masih terlihat muda, cantik, dan berjilbab. Ia melirik Argan dan Riana terlihat akrab dan serasi. Ia pikir, Riana lebih memahami Sakha dibanding dirinya. Terlihat benar bahwa sang guru begitu peduli dan menyayangi Sakha. Ada sebuah rasa yang tak mampu ia jabarkan kala melihat keduanya berbincang dan sesekali tertawa. Semacam perasaan tersisih? Cemburu? Nara terkekeh dalam hati, mengejek dirinya sendiri. Ia yakin dirinya tak cemburu, hanya rasa heran saja melihat kekraban seorang suami dan guru anaknya sedang sang istri ada di sana. Ia kembali merutuki dirinya, istrinya? Ah, bukankah ia meminta Argan untuk tidak menganggapnya istri. Jadi jika saat ini Argan terlihat akrab dengan Riana, itu bukan kesalahannya. Riana tak hanya bercerita tentang perkembangan Sakha di sekolah, ia juga mengamati aktivitas Sakha yang tengah membaca. Ia menyempatkan diri berbincang dengan Sakha. Surprise untuknya maupun Argan, Sakha mau bercerita tentang buku-buku koleksinya yang ada di perpustakaan rumah, satu ruang yang khusus diisi rak-rak untuk menyimpan buku. Dengan antusias, Sakha menggandeng tangan gurunya untuk melihat perpustakaan mini di rumah. Argan bersyukur dengan perkembangan yang ditunjukkan anaknya. Setelah Riana merasa cukup dengan kunjungannya, ia pamit undur diri. Argan melirik sang istri yang duduk di ruang tengah dan tak ikut mengantar Riana sampai ke teras. "Kenapa kamu nggak ikut nganter gurunya Sakha sampai ke teras?" Nara melirik suaminya. "Kenapa saya harus mengantar? Toh Bu guru yang masih muda itu nggak nanya apa-apa ke saya. Saya berasa nggak dianggap aja. Tapi saya maklum. Dia pasti meragukan saya yang lebih muda." "Saya rasa dia nggak ragu sama kamu. Dari awal kedatangannya, dia selalu menyapa kita, bapak dan ibu katanya.... Kamu denger sendiri saat dia bicara. Kamu yang terlalu pasif. Kamu diam saja selama kami berbincang." "Ya, gimana nggak diem, Pak. Kalian membicarakan sesuatu yang saya kurang paham. Saya bukan guru, bukan psikolog, dan tak tahu banyak akan perkembangan anak baik secara fisik maupun psikis." Nara bersedekap. Bibirnya mengerucut. Entah kenapa, Nara terlihat begitu menggemaskan di mata Argan. Meski ia tahu, Nara belum mencintainya, tapi dia sudah mulai merasa tersisih dan mengarah ke arah cemburu ketika ada orang lain yang ia rasa akrab dengannya dan Sakha. "Makanya belajar dong untuk lebih tahu perkembangan anak secara fisik dan psikis." Argan duduk di sebelah Nara di ujung sofa, dalam rentang jarak yang agak jauh. Nara tak membalas apapun. Sebaliknya, ia menatap Argan dan mengernyit. "Caranya nggak susah, kok. Cukup temani Sakha bermain, luangkan lebih banyak waktu dengannya saat jadwal kamu agak longgar. Berusaha untuk menerima dan menyayangi dia," tegas Argan dalam balutan kata-kata yang terdengar lembut tapi menyiratkan ketegasan. Nara menoleh ke arah Sakha yang tengah bermain mobil-mobilan. Nara beranjak dan mendekat ke arah Sakha. "Hai, Sakha. Main bareng Mama, yuk." Sakha melirik Nara sekian detik lalu kembali fokus dengan mainannya. "Leave me alone, please. Sakha nggak mau main bareng kamu," celetuk Sakha. Nara melompong. Dia melirik Argan yang beranjak mendekat ke arah Sakha. "See, your son doesn't like me. Dia nggak tertarik main sama saya. Dia nggak menyukai orang lain di luar keluarganya," balas Nara sedikit ketus. Argan menggenggam tangan Nara, membuat gadis itu terhenyak. "Kita perlu bicara." Argan menuntun gadis itu untuk beranjak dan mengikuti langkahnya. Argan menggandeng tangan Nara dan melangkah menuju kamar. Setiba di kamar, Argan menutup pintu dan ia mendorong tubuh Nara pelan hingga menghimpit dinding. Argan mengurungnya dalam kedua tangan yang ia sandarkan di dinding, di sebelah kanan dan kiri kepala Nara. Nara berdebar tak karuan menatap wajah suaminya dari jarak yang begitu dekat. Mata tajam Argan seakan menghunjam sampai ujung retina. Gadis itu semakin gugup. Ditatap sedemikian lekat oleh Argan, membuatnya membeku seketika. "Tolong, jangan pernah lagi menyebutmu sebagai orang di luar keluarga. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini." Kata-kata meluncur dengan tegasnya dari bibir Argan. Ia melanjutkan perkataannya. "Kamu bilang, dia tak menyukai orang di luar keluarganya. Kamu lihat sendiri, kan? Dia sudah menyukai Bu Riana yang jelas-jelas bukan bagian dari keluarga ini. Apalagi kamu yang sudah menjadi bagian dari keluarga dan bahkan menjadi mamanya." Nara tersenyum sinis, "Jadi Bapak mau bandingin saya sama Bu Riana? Bapak ingin saya mencontoh apa yang dilakukan Bu Riana saat mendekati Sakha?" Argan memperpendek jarak wajahnya pada wajah Nara. Nara semakin berdebar. Hembusan napas Argan yang menyapu wajahnya, membuat gadis itu semakin deg-degan. "Kamu cemburu?" tanya Argan seraya memerhatikan wajah istrinya begitu menelisik. Nara mengerjap, ia tersenyum miring dan menaikkan sebelah bibirnya. "Cemburu? Yang benar saja. Bapak nggak usah ke-GR-an deh. Ngapain saya cemburu? Masa cuma kayak gitu aja, saya cemburu." Nara tersenyum sinis. "Sepertinya kamu cemburu," balas Argan santai. "Saya hanya nggak suka dibandingin sama orang lain. Meski kenyataannya memang benar kalau Bu Riana sedikit-sedikit bisa mengambil hati Sakha. Dia lebih dulu mengenal Sakha. Kalau memang Bapak suka dengan cara Bu Riana mendekati Sakha, kenapa Bapak dulu nggak nikahi dia saja? Kenapa harus menerima perjodohan ini?" Nara terus saja nyerocos untuk menetralkan rasa gugupnya. Argan masih terdiam. Ia dengarkan semua celotehan Nara. Nara semakin bingung dibuatnya. "Bapak emang serasi sama dia. Kalian nyambung saat ngobrol. Bu Riana tahu banyak soal parenting dan memang dia punya kompetensi dalam mengajari anak. Wajar kalau Bapak menyukai dia dan sekarang menuntut saya untuk menjadi seperti dia. Kami ini beda karakter, latar belakang. Saya nggak suka dibandingin sama dia." Nara kembali mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya. Melihat Argan tak bereaksi apapun, Nara geram sendiri. "Pokoknya saya nggak suka sama dia. Saya keberatan kalau dia home visit lagi, karena Bapak jadi punya alasan untuk membandingkan saya...." Argan membisu dan masih menatapnya tajam. "Mungkin bukan cuma alasan untuk membandingkan, tapi juga alasan untuk Bapak bisa ketemu sama dia. Biar bisa lihatin wajah Bu Riana yang cantik, anggun, berjilbab. Dia hampir sempurna buat Bapak. Dia....." Cup... Nara terbelalak saat tiba-tiba Argan mendaratkan kecupan di bibirnya untuk membungkamnya. Entah angin apa yang mendorong Argan untuk mengecup bibir istrinya. Argan menginginkan kecupan itu beralih menjadi sebuah ciuman. Ia membuka sedikit bibirnya, menyapu ujung bibir Nara dengan lidahnya. Melihat reaksi Nara yang terdiam, tak berkutik, dan tak membalas ciumannya, Argan menjauhkan kembali wajahnya. Dia menduga, Nara belum pernah berciuman sebelumnya, terlihat dari sikapnya yang kaku. Bahkan ia bisa merasakan irama degup jantung Nara yang seolah berpacu lebih cepat. Kedua mata itu beradu. Betapa deg-degan perasaan Nara. Ia berusaha menstabilkan deru napas yang berkejaran, entah karena shock, kaget, atau dia baru menyadari bahwa Argan telah mencuri ciuman pertamanya. Ia kesal pada diri sendiri karena membiarkan Argan menciumnya. Namun ia akui, ciuman Argan telah menerbitkan sensasi yang begitu mendebarkan. Argan mengamati wajah Nara yang datar menatapnya. Ada sesuatu yang berdesir. Jika saja dia tak ingat akan kesepakatan untuk tak menyentuh Nara, ditambah usia Nara masih sembilan belas, tentu ia ingin meneruskan ciuman itu menjadi sesuatu yang lebih intim. "Kamu menggemaskan saat cemburu, Na." Argan bicara pelan. Dia berbalik, membuka pintu, lalu keluar. Nara mematung dengan debaran yang masih menyergap. Dia tak mengerti dengan deru perasaan yang berkecamuk saat ini. Kenapa rasanya seperti ini? Dia tak bisa mendeskripsikannya. ****** Malamnya, selepas sholat Isya di Masjid, Argan memenuhi janjinya untuk mengajak Nara berkeliling kota. Sebelum berangkat, ia menelepon ibunya apa bersedia menjaga cucunya selama dia dan Nara jalan-jalan. Tentu saja sang ibu sangat bersedia. Terkadang Sakha memang rutin menginap di rumah kakek neneknya. Orang tuanya meminta Sakha untuk menginap dan sekaligus membawa seragam serta alat sekolah lain agar keesokan harinya bisa berangkat ke sekolah dari rumah mereka. Setelah mengantar Sakha ke rumah orangtua Argan, mereka berboncengan naik motor keliling Purwokerto. Nara meminta mengendarai motor. Selama berboncengan, Nara tak sedikitpun memeluk pinggang Argan. Ia sedikit menjaga jarak. Ia pikir, Argan tak akan mau diajak berkeliling. Ternyata dia salah, laki-laki itu tak keberatan keluar malam dan berkeliling mengendarai motor. Motor melaju di sekitar daerah kampus. Jalanan di sekitar jalan Kampus memang termasuk padat arus. Ukurannya tidak terlalu luas. Namun acap kali dilewati mahasiswa yang hilir mudik. Malam itu banyak penjual kaki lima yang mangkal di pinggir jalan. Jika siangnya dipenuhi bakul aneka makanan ringan, seperti makaroni, mie lidi, aneka minuman, molen, gorengan, maka malam hari banyak aneka makanan berat ditawarkan. Ada nasi goreng, tempe penyet, ayam goreng, dan lain-lain. Pandangan Nara menyapu pada para anak kost yang berlalu-lalang. Nara tahu, di jam-jam ini mereka hunting menu makan malam. Nara merindukan kehidupannya waktu menjadi anak kost. Ia dan teman-temannya kerap kali keluar bersama untuk mencari makan malam. Kadang ia bingung hendak membeli menu apa karena seolah semua menu sudah pernah dicobanya. Argan melajukan motor melewati jalan Dr. Angka. Di kawasan ini banyak ditemui rumah makan yang menawarkan menu-menu menggiurkan seperti ayam penyet, iga penyet, bahkan gudeg Jogja pun ada. Argan menawari Nara untuk mampir makan malam di tempat sesuai keinginan Nara, tapi Nara menginginkan minum wedang ronde di kawasan alun-alun. Argan menurutinya. Ia melajukan motornya menuju jalan Ahmad Yani. Dari jalan Ahmad Yani, motor melaju lurus ke jalan Masjid. Tibalah mereka di alun-alun yang berlokasi di seberang Masjid Agung dan seberang Rita Super Mall. Nara sudah hafal lokasi penjual wedang ronde favoritnya. Mereka duduk bersebelahan. Di hadapan mereka tersaji dua mangkok wedang ronde. Keduanya mengaduk minuman tradisional itu sambil menunggu wedang ronde itu dingin. "Kamu sering ya ke sini sampai hafal tempatnya di pojok yang mana." Argan melirik Nara yang sedari tadi lebih banyak diam. Atmosfer terasa canggung, terutama jika keduanya teringat akan ciuman singkat mereka di kamar siang tadi. Bagi Nara, berciuman dengan laki-laki adalah moment krusial yang tak akan terlupakan untuknya. Sembilan belas tahun selama bernapas, dia menjaga diri untuk tak pacaran dan bersentuhan fisik yang mengarah ke hal intim, entah ciuman atau pelukan. Hal itu tidak mudah. Tentu saja, mengingat hampir semua temannya sudah pernah berpacaran atau sedang berpacaran dan banyak diantaranya yang berpengalaman pernah berciuman, bahkan beberapa sudah melakukan lebih dari itu. Terlebih dia sering clubbing, bergaul dengan teman-temannya yang berprinsip, tak apa ciuman sebelum nikah bahkan tak mengapa seks sebelum nikah atau boleh grepe sana sini, cium sana sini, oral s*x untuk saling memuaskan asal yang bawah nggak sampai jebol.. Dan prinsip yang ia jaga berbeda dengan teman-temannya. Dalam beberapa hal ia tak sejalan dengan teman-temannya. Namun mereka menghargai satu sama lain. "Nara...." ucap Argan sekali lagi. Nara terkesiap, "Iya, Pak." Nara sedikit gelagapan. "Sepertinya kamu gugup. Atau jangan-jangan kamu teringat ciuman kita tadi siang? Saya minta maaf karena telah melanggar kesepakatan. Saya telah menyentuh kamu." Semburat merah menyapu wajah Nara, "Nggak apa-apa," ujar Nara segera. Argan membelalakkan matanya. "Kamu memaafkan saya secepat itu?" Mereka saling menatap. "Bapak ingin saya memaafkan Bapak tiga hari kemudian?" tanya Nara menelisik. Argan tertawa kecil, "Ya nggaklah. Aneh aja, kamu biasanya ngotot kalau soal kesepakatan, sekarang melunak. Atau jangan-jangan kamu menikmati tindakan saya dan ingin mencobanya lagi?" Nara membulatkan matanya, "Bapak kali yang pengin. Bapak sekian tahun menduda pasti nggak pernah nyium-nyium perempuan. Makanya begitu lihat saya, Bapak jadi lupa daratan." Nara ingin sekali bicara lantang tapi karena ada penjual wedang ronde yang sibuk melayani satu pembeli yang lain, ia melemahkan suaranya. "Ya setelah menduda, saya memang tidak pernah mencium perempuan. Itu tidak boleh kan? Kita dilarang menyentuh perempuan bukan Mahram. Satu-satunya jalan yang menghalalkan ciuman dan sentuhan fisik lainnya ya hanya menikah." Argan menyuapkan sesendok wedang ronde ke mulutnya. Nara melirik suaminya yang seakan menganggap moment ciuman itu sebagai hal yang biasa. Dia bertanya-tanya dalam benak, apa itu tidak berkesan untuknya? Sedang bagi Nara, jejak bibir Argan di bibirnya seakan masih membekas. Argan kembali teringat pada ciuman mereka siang tadi. Mungkin itu bukan ciuman panas seperti yang pernah ia lakukan dengan almarhumah Mareta. Namun semua itu sudah mampu membuat hatinya berdesir. Tiba-tiba ada laki-laki dan perempuan duduk di hadapan mereka dan memesan wedang ronde juga. Yang membuat Nara kaget adalah, pasangan tersebut Bastian dan perempuan yang tak dia kenal. Bastian juga kaget melihat Nara. Bastian adalah laki-laki yang mengejar cinta Nara dari awal masuk kuliah tapi Nara tak pernah menerima cintanya. Bahkan hingga Nara menikah, dia masih berusaha karena ia tahu Nara terpaksa menikah. Nara juga pernah bercerita padanya bahwa ia dan Argan sepakat untuk tidak menganggap pernikahan itu nyata. "Nara....." sapa Bastian dan memaksakan kedua sudut bibirnya tersenyum. "Bastian..." Nara tersenyum tipis meski hatinya mencelos. Ia mungkin belum jatuh cinta pada Bastian, tapi dalam hati tersimpan rasa simpati pada laki-laki itu. Satu hal yang membuat Nara keukeuh untuk tak menerima Bastian adalah perbedaan agama diantara keduanya. Entah kenapa ia kesal melihat Bastian ternyata sudah mempunyai pasangan. Selama ini, Bastian selalu meyakinkan bahwa hanya Nara, satu-satunya perempuan yang ada di hatinya. Sang perempuan menggelayut di lengan Bastian, "Siapa dia, sayang?" "Ini Nara, teman kampus," jawab Bastian. Tatapannya menyasar pada sosok di sebelah Nara, suami Nara yang ia tahu dia adalah dosen di fakultas pertanian. "Dia teman kamu?" Argan melirik sosok cowok bersambut spike, kulit putih, wajah tampan ala oppa Korea, dan gaya pakaiannya yang kasual. "Iya, dia teman sekelas. Namanya Bastian," jawab Nara datar. "Bastian, kenalin ini Pak Argan, suamiku." Bastian menyodorkan tangannya untuk salaman. Argan menjabat tangan Bastian dengan senyum yang dipaksakan. "Malam, Pak," sapa Bastian. "Malam juga," balas Argan dengan senyum ramah. Suasana mendadak kikuk. Argan memerhatikan cara Bastian yang sering mencuri pandang ke arah Nara dengan tatapan penuh arti dan dia tak menyukainya. Entah cemburu atau apa, yang pasti Argan tak menyukai seseorang atau sesuatu yang sudah menjadi miliknya diusik orang lain. "Itu pacar kamu?" Nara melirik gadis berambut sebahu yang duduk di sebelah Bastian. "Iya aku Delfina, pacar Bastian," tandas gadis cantik itu. Bastian tak berani menatap Nara, sedang Nara hanya terdiam, enggan menanggapi. Salah satu hal yang membuat Nara tak betah berlama-lama di sana adalah sikap agresif Delfina yang seakan sengaja memamerkan kemesraannya dengan Bastian, entah meminta disuapi atau bicara lemah lembut dan merajuk manja. Nara sudah tak mood. Ia mengajak Argan pulang. Selama perjalanan pulang, Nara terus terdiam. Argan menawarinya untuk keliling Purwokerto lagi atau makan malam di rumah makan mumpung Sakha menginap di rumah kakek neneknya, tapi Nara tak berminat. Nara tersentak saat Argan meraih tangannya dan melingkarkannya di perutnya. Nara hendak melepaskannya, tapi genggaman Argan begitu kuat. "Lepaskan, Pak." Nara mencoba menarik tangannya. "Saya ingin kamu tetap aman, jadi tetaplah memeluk saya." Argan bicara dengan santainya. Nara mengerucutkan bibirnya. Karena Argan menarik paksa tangannya, badannya tergerak ke depan dan menempel di punggung Argan. Nara berdebar, sedang Argan merasakan gelenyar aneh kala d**a Nara menempel di punggungnya. Sepeninggal istrinya, Argan belum pernah menjalin hubungan spesial dengan siapapun. Sebenarnya dia masih memiliki sedikit trauma untuk berumah tangga kembali. Ia takut tak bisa menjadi suami yang baik dan menyakiti hati pendamping hidupnya. Kematian tragis istrinya akibat bunuh diri sering kali menghantui dan meninggalkan jejak-jejak luka yang masih bernanah. Entah kenapa, ia bersedia dijodohkan dengan Nara. Terlepas dari usia Nara yang terpaut 13 tahun lebih muda darinya dengan segala sikap kekanakan dan kelabilan emosinya, dia yakin suatu saat Nara bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Setiba di rumah, kedua orang itu membersihkan diri masing-masing dan berganti pakaian. Argan hendak membaringkan badannya untuk memejamkan mata, tapi konsentrasinya terusik dengan sikap Nara yang asik memainkan ponselnya. Ia penasaran juga, apa yang sedang ditelusuri Nara dengan ponselnya. Apakah akun media sosialnya atau dia tengah chat dengan temannya? Nara meletakkan smartphone-nya di nakas. Dia melangkah menuju kamar mandi. Argan melirik smartphone Nara. Bunyi beep beep dari smartphone Nara memancingnya untuk mengambilnya. Argan mengambil smartphone itu. Ia membaca satu pesan w******p dari teman Nara bernama Firda. Na, dugem yuk. Bosen banget di kost. Nanti aku samperin deh. Argan menggeleng. Ia tak habis pikir dengan sikap teman Nara yang seenaknya mengajak Nara clubbing, padahal Nara susah menikah. Argan mengetik huruf demi huruf dan mengirimkan balasan. Maaf saya... Argan menghapus kata saya dan diganti kata 'aku'. Maaf aku nggak bisa. Datang balasan lagi dari Firda. Ayolah Na. Kamu takut sama suami kamu? Bilang mau kelompokan kek, ngerjain tugas darurat, kek. Argan cukup emosi juga membacanya. Ia mengirim balasan. Saya suaminya Nara. Tolong jangan mengajak Nara melakukan hal negatif. Nara sudah menikah. Tak sepantasnya dia clubbing dan keluar rumah malam-malam. Tak ada balasan dari Firda. Saat terdengar suara dari dalam kamar mandi, Argan meletakkan ponsel itu ke tempatnya. Nara kembali duduk di ranjang. Ia membaca kembali percakapannya dengan Firda. Nara terbelalak membaca isi chat yang dikirimkan Argan. Nara milirik Argan dan menatapnya tajam. "Bapak kenapa otak-atik ponsel saya tanpa izin? Bapak udah menyinggung perasaan teman saya." Nara meninggikan volume suaranya. Argan berusaha tetap tenang agar tak terpancing emosinya oleh Nara. "Teman kamu itu ngajak kamu dugem. Jelas saya melarangnya. Kamu nggak kapok pernah digiring ke kantor polisi? Apa gunanya dugem? Nggak ada manfaatnya." Argan menaikkan suaranya dan menajamkan penglihatannya. "Bapak nggak perlu melarang teman saya untuk ngajakin saya dugem lagi. Toh saya ditraktir, nggak pakai duitnya Bapak." Nara beranjak dan berdiri di tepi ranjang. Argan masih duduk di tempatnya. "Ini bukan masalah uang, Na. Ini adalah tanggung jawab saya untuk menjaga dan membimbing kamu. Night club bukan tempat yang aman untuk perempuan. Lagipula clubbing itu hanya mendatangkan mudharat." Argan menegaskan kata-katanya. Nara menggeleng. "Dari awal kita sudah sepakat, Pak. Bapak nggak akan melarang saya bergaul dengan teman-teman saya. Kenapa sekarang Bapak mengatur saya?" Argan beranjak dan melangkah mendekat ke arah Nara. Ia menatap istrinya dengan tajam. "Saya sudah berjanji pada papa dan mama untuk menjaga kamu, Na. Saya nggak akan pernah mengizinkan kamu clubbing lagi." "Kita udah sepakat kalau kita nggak akan menganggap pernikahan ini nyata, Pak.Toh setiap clubbing saya nggak minum, nggak mesra-mesraan sama cowok. Saya cuma ingin ngumpul sama teman-teman. Bapak orang jadul mana ngerti cara bersenang-senang di club. Bapak terlalu kaku, kuno, kolot." Nara semakin kesal dan geram dengan sikap Argan yang mulai banyak mengatur. "Apa ada peraturan di agama yang memerintahkan manusia untuk mendekati tempat maksiat? Apa iya aturan agama itu kolot dan kuno? Kamu nggak minum, tapi di sekitarmu banyak miras, banyak temanmu yang mengkonsumsi alkohol. Sama kayak waktu kamu terjaring pesta narkoba. Kamu nggak pakai tapi kamu ikut terciduk, mencemarkan nama baik keluarga. Saya nggak akan membiarkan kamu jatuh di lubang yang sama." Nara memasang tampang juteknya, "Bapak menyebalkan." Nara hendak melangkah keluar, tapi Argan menarik tangan istrinya. "Kamu nggak boleh keluar, Na. Tetap di sini. Sekarang waktunya tidur." Nara berusaha melepaskan cengkraman tangan Argan, tapi Argan semakin mengencangkan genggamannya. "Berjanji dulu kalau kamu mau tidur. Kalau kamu nggak mau tidur, saya akan tidurin kamu." "BAPAK....!" Nara membulatkan matanya. "Makanya tidur sekarang." Argan menunjuk ranjang dengan mendongakkan kepalanya. Dengan terpaksa, Nara menuruti perintah Argan. Dia berbaring di ranjang meski hatinya masih dongkol tak karuan. Argan berbaring di sebelah Nara dengan bentang jarak yang agak jauh. Mereka berbaring saling memunggungi. Di benak Nara terpikirkan serangkain rencana untuk membalaskan sakit hatinya pada Argan. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD