Kafe hampir kosong. Hanya denting sendok dan musik pelan yang menemani. Jesslyn duduk menunduk, jemarinya sibuk meremas tisu sampai hancur berantakan. Sabian menatapnya dalam diam, menunggu sampai ia mau bicara.
Hampir satu jam lamanya Jesslyn hanya diam saja dengan tatapan yang kosong. Seolah banyak sekali hal yang wanita itu pikirkan setelah pulang dari tempat pertemuan mereka. Ada apa? Apa karena Christian?
Tentu saja bodoh, ada hal lain kah yang membuat Jesslyn galau dan sedih selain adiknya itu?
Akhirnya, suara Jesslyn pecah pelan, wanita itu menatap Sabian sendu.
“Ada apa? Mau bicara? Kayaknya tadi lo kurang nyaman waktu ada Tian sama Hanna.” Tanya Sabian akhirnya. Dia tak tahan, dia ingin tahu sejauh mana hubungan mereka sampai-sampai Christian tidak ingin melepas Jesslyn sedikitpun.
“Gue capek, Pak… gue bilang ke semua orang kalau gue kuat. Gue marah, gue terkenal galak, gue tertawa keras-keras… tapi kenyataannya? Gue cuma nunggu dia. Selama ini. Sampai bodoh.”
Sabian hanya diam saja menatap Jesslyn yang seolah masih ingin melanjutkan apa yang ingin dia katakan.
Air matanya jatuh, satu-satu, membasahi meja. Jesslyn cepat-cepat menyekanya, tapi tangan Sabian menahan, memberinya tisu lain.
“Kenapa gue? Kenapa harus gue yang jadi pilihan paling akhir, Pak? Kenapa harus gue yang dicintai… tapi juga dihancurkan?” suaranya bergetar, begitu juga dengan bahunya yang bergetar, menandakan jika wanita itu tengah menangis.
Sesakit itukah jadi dia?
Sabian menggenggam tangannya dengan hati-hati, seolah takut ia retak lebih parah. Mungkin jika Christian tahu hal ini, pria itu bisa membunuhnya saat ini juga.
“Karena Lo terlalu tulus, Jess. Lo kasih hati sepenuhnya, tanpa sisa. Itu indah… tapi juga berbahaya. Dan Christian… dia nggak cukup kuat untuk menerima cinta sebesar itu.” kata Sabian pelan tapi mampu menenangkan Jesslyn sejenak.
Wanita itu memperhatikan mimik wajah Sabian, setiap inci dia tatap seolah mencari sesuatu yang diyakini asing dari pria itu. Tapi, semakin Jesslyn menatap wanita itu semakin melihat betapa rapuhnya Sabian saat ini sama seperti dirinya. Dengan mata merah, senyum getir muncul di wajahnya.
“Kadang gue pengen berhenti cinta sama dia, Pak. Pengen… bener-bener berhenti. Tapi setiap kali gue coba, gue malah jatuh lebih dalam. Gue benci diri gue sendiri.” jelas Jesslyn.
Dengan helaan nafas, Sabian pun menggaruk alisnya yang diyakini Jesslyn tidak gatal sama sekali. “Lo nggak salah karena mencintai, Jess. Dia yang salah karena nggak bisa menjaga. Jadi jangan benci diri lo sendiri.”
Ya mungkin jika Christian bisa menahan dirinya sedikit saja, mungkin hal ini terjadi. Wanita yang terkenal galak di kantor tidak mungkin menangis di hadapannya. Wanita yang terkenal judes disana tidak mungkin gelisah di hadapannya. Dan wanita yang paling ditakuti di kantor tidak mungkin merasa paling bodoh karena tidak bisa hidup bersama dengan pria yang dicintainya sejak dulu.
Jesslyn menunduk, menangis dalam diam. Untuk pertama kalinya, ia tak menutupi luka dengan kata-kata pedas. Di depan Sabian, ia hanya seorang perempuan yang remuk karena cinta. Sedangkan yang terjadi wanita itu tidak pernah serapuh ini di hadapan Sabian. Dan ini kali pertama dia melihat Jesslyn yang begitu rapuh hanya karena Christian.
“Sepertinya kita harus kerjasama.” ucap Sabian dan membuat Jesslyn heran. Kerjasama? Kerjasama apa?
***
Suasana semakin larut, dua orang itu masih duduk berhadapan dengan meja yang kosong, tidak ada niatan untuk pulang. Sabian baru saja meminta izin oleh pemilik cafe jika mereka masih ingin duduk sambil mengobrol berdua di cafe yang sudah tutup ini. Jesslyn duduk menatap kosong ke arah jalan, sementara Sabian di sampingnya, memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Setelah lama diam, akhirnya Sabian bicara.
“Jess… lo bukan satu-satunya orang yang tersiksa sama kenangan.” ucap Sabian tanpa mau menoleh ke arah Jesslyn.
Jesslyn menoleh, keningnya berkerut. Ini maksudnya apa? Dia lagi cerita atau bagaimana? Minimal kasih clue gak sih kayak Jesslyn barusan terarah gitu loh. Dia sedihnya kenapa, galaunya kenapa. Bukan malah tiba-tiba banget bilang begitu, tanpa di rencana ataupun semaunya.
“Apa maksud Lo apaan? Gue beneran nggak ngerti deh, gue lagi sedih malah diminta mikir.”
Sabian menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Sesuatu menyerah pikirannya. Beberapa kejadian kembali berputar dalam ingatannya. Kejadian yang mampu membuat pria itu berubah. Dimana sesuatu baru saja dimulai tapi Tuhan lebih memilih jalan yang lain.
“Avasa… gue masih belum bisa melupakannya. Bahkan setelah dia pergi, setiap malam gue masih nyebut namanya. Setiap pagi gue masih berharap dia ada. Dan itu… menyakitkan.”
Jesslyn terdiam. Nama itu, Avasa, jarang sekali keluar dari mulut Sabian. Beberapa bulan yang lalu Jesslyn baru saja kehilangan temannya yang bernama Avasa. Jesslyn yang menjadi saksi dimana seseorang pertama kali menghubunginya dan memberitahu jika wanita itu kecelakaan dan meninggal dunia. Jesslyn sedih, tidak hanya Sabian bahkan untuk melupakannya saja begitu sulit untuk Jesslyn. Dia bukan lagi teman tapi dia adalah adik kecil yang selalu menjadi pelampiasan emosi Jesslyn dan juga Elina. Dia begitu polos sampai tidak tahu jika Sabian begitu mencintai wanita itu. Sayangnya, usianya tidak lagi panjang Tuhan lebih sayang Avasa ketimbang Jesslyn dan juga yang lainnya. Mengingat begini saja mampu membuat Jesslyn kembali menangis. Jika tadi tentang Christian sekarang Sabian malah ngajak-ngajak nangis bahas Avasa.
“Kenapa diingetin lagi sih, sialan!” Jesslyn berdecak sebal menatap Sabian.
Sabian menatap Jesslyn penuh harap. “Gue boleh minta tolong, Jess… ajarin gue caranya berhenti. Ajarin gue caranya melupakan. Karena kalau tidak… gue akan terus hidup di masa lalu yang nggak pernah kembali.”
Meskipun tahu Jesslyn masih mencerna ucapan Sabian. Dia ini tidak salah berbicara atau bagaimana? Seekor Sabian meminta bantuan pada Jesslyn untuk melupakan Avasa. Biar apa? Biar Jesslyn sakit hati dan bisa menerima pria itu dengan seutuhnya?
Bukannya seharusnya hal ini sangat menguntungkan? Jesslyn bisa kembali dekat dengan Sabian dan mencoba melupakan Christian. Mereka terkenal dalam situasi yang sama. Bedanya Christian masih hidup, Avasa sudah meninggal dunia. Itu saja tidak lebih, tapi jika untuk mengajari pria itu melupakan Avasa sepertinya Jesslyn tidak yakin seratus persen. Bagaimana jika Jesslyn gagal dan malah jatuh cinta dengan Sabian? Bukannya itu musibah banget ya untuk Jesslyn?
“Lo yakin minta tolong sama gue dalam hal ini?” Jesslyn menatap Sabian sekali lagi, minimal kasih penjelasan lagi yang masuk di otak Jesslyn. “Maksud gue selama ini Lo tau siapa gue Pak. Ya kali Lo minta tolong ke gue banget ini? Nggak takut telinga Lo pecah atau mungkin kepala Lo tambah berisik dengerin yapping gue terus?”
Dan mungkin hal itu tidak akan terjadi dengan Sabian. Dia hanya membutuhkan Jesslyn untuk melupakan Avasa tidak lebih. Dan Sabian yakin seratus persen jika Jesslyn akan bersikap profesional. Begitu juga dengan Sabian yang hanya akan melupakan Avasa saja, dia perlu melanjutkan hidup ketimbang meratapi masa lalu. Anggap saja jodoh Sabian bukan Avasa tapi yang lain.
“Yapping Lo mana yang gak berisik? Telinga gue kalau bisa ngomong juga maunya ngeluh dengerin suara Lo doang.” Dengus Sabian.
Jesslyn memutar bola matanya malas. “Terus kenapa harus gue?”
“Karena gue seyakin itu sama lo.” Ucapnya dan membuat Jesslyn terdiam.
Untuk pertama kalinya, mereka berdua sama-sama terdiam. Bukan sebagai penolong dan yang ditolong, tapi sebagai dua jiwa yang sama-sama retak, mencoba saling menopang agar tidak jatuh.
****