Bab-46

1301 Words
Malam di kota kecil itu sunyi. Lampu jalan temaram, hanya sesekali terdengar suara motor melintas. Jesslyn baru saja selesai mandi setelah hari panjang di kantor barunya. Rambutnya masih setengah basah, kaos oversized dan celana pendek yang ia kenakan membuatnya tampak begitu santai. Ia duduk di sofa mungil ruang tamu, menyesap teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kusut. Hah … dia masih memikirkan siapa yang memberitahu Christian jika dirinya ada di kota ini, selain Elina, Rhea dan juga Sabian. Ya, karena begitu penasaran akhirnya Jesslyn menelepon Sabian mempertanyakan hal itu dan nyatanya nihil. Dia tidak tahu jika Christian menyusul Jesslyn disini. Jika saja Sabian tahu mungkin dia akan mencegah Christian untuk datang. Sayangnya, semuanya terlambat. Baru saja ia ingin memejamkan mata sejenak, suara ketukan pintu terdengar. Perlahan, lirih, tapi cukup membuat Jesslyn tersentak. Ia mengernyit, siapa yang bisa datang malam-malam begini? Biasanya tidak ada yang berani datang ke kediaman Jesslyn. Dengan sedikit waspada, ia melangkah ke pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung menegang. “Christian…?” suaranya tercekat. Pria itu berdiri di hadapannya dengan jas hitam yang sedikit kusut, dasi sudah dilonggarkan. Wajahnya lelah, tapi tatapannya tajam, penuh keinginan yang tertahan. “Lo pikir bisa kabur sejauh ini tanpa gue tahu?” ucapnya lirih, tapi setiap kata terdengar tegas. Jesslyn menahan napas. “Kenapa lo di sini? Gimana lo bisa tahu alamat gue?” Christian melangkah masuk tanpa menunggu izin. “Gue punya cara.” Ia menoleh sebentar ke sekeliling rumah mungil itu, lalu kembali menatap Jesslyn. “Dan lo pikir… gue bakal diem aja waktu tau lo pergi sendiri? Lo bener-bener bikin gue gila, Jes.” ujarnya sedikit kesal. Jesslyn buru-buru menutup pintu, dadanya bergemuruh hebat. Ia melipat tangan di depan d**a, mencoba menahan getaran tubuhnya. “Gue cuma… butuh waktu, Tian. Gue capek sama semua ini.” Christian mendekat, langkahnya berat tapi pasti. “Capek sama apa? Sama gue?” suaranya serak, hampir seperti memohon. “Capek sama perasaan gue sendiri.” Jesslyn menunduk, suaranya lirih. “Setiap kali gue coba jauh, lo selalu ada. Setiap kali gue mau lupain, lo muncul lagi. Gue… bingung.” Christian berhenti tepat di depannya, jarak mereka hanya tinggal sejengkal. “Denger gue baik-baik, Jes.” Ia menunduk sedikit, menatap lurus ke matanya. “Gue gak pernah maksa lo suka sama gue. Tapi gue juga gak pernah bisa berhenti datang ke lo. Karena buat gue, lo rumah. Mau sejauh apapun lo pergi, gue bakal nyusul. Itu gue.” Air mata Jesslyn nyaris jatuh, tapi ia buru-buru mengedip untuk menahannya. “Lo sadar gak, Tian? Lo ngomong gitu bikin gue makin susah buat nolak lo.” “Ya udah, jangan nolak.” Christian tersenyum tipis, senyum getir tapi tulus. “Lo pikir gampang buat gue? Gue liat lo deket sama orang lain, gue panas. Lo pergi jauh, gue kosong. Gue udah coba semua cara buat lupa… tapi tetep baliknya ke lo. Jadi buat apa lagi lo kabur?” Hening. Jesslyn menggigit bibir bawahnya, menatap pria itu lama. Ada perang di dadanya—antara ingin menyerah pada rasa hangat itu atau tetap keras kepala demi melindungi hatinya sendiri. “Tian…” suaranya nyaris tak terdengar, “Kalau lo terus kayak gini… gue gak punya tempat lagi buat lari.” Bagus. Itu yang diinginkan Christian, tidak ada tempat lain selain dirinya jika Jesslyn ingin pergi. Christian mengangkat tangannya, perlahan menyentuh pipi Jesslyn dengan jemari hangatnya. Sentuhan itu sederhana, tapi mampu meruntuhkan tembok yang ia bangun rapat-rapat. “Memang itu tujuan gue.” bisiknya. Jesslyn memejamkan mata, merasakan kelembutan itu. Lalu dengan suara lirih, ia berkata, “Lo tahu gak? Di mana pun gue coba kabur… pada akhirnya gue sadar, lo bakal selalu ada di tempat yang sama dengan gue.” Christian menunduk, jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal. Matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, antara cinta, luka, dan tekad yang tak tergoyahkan. “Akhirnya lo ngerti juga.” Dan malam itu, di rumah mungil kota kecil, tanpa saksi siapa pun, Jesslyn akhirnya mulai menyerah pada kenyataan: ia dan Christian memang sudah terikat, sejak lama, tanpa bisa diputus begitu saja. *** Tiba-tiba Hujan deras mengguyur kota kecil itu tanpa henti sejak beberapa jam lalu. Suaranya menghantam atap rumah Jesslyn, membuat malam yang sudah sunyi semakin tenggelam dalam gemuruh. Petir menyambar sekali-sekali, cahayanya menembus tirai jendela yang tipis. Jesslyn berdiri di dapur kecilnya, berusaha menyalakan kompor portable untuk memanaskan air. Sejak tadi Christian tidak bergeming dari sofa, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya sedikit basah karena perjalanan. Tatapannya mengikuti setiap gerak Jesslyn, membuat gadis itu makin salah tingkah. Tiba-tiba— byar! Lampu rumah padam seketika. Ruangan gelap total, hanya diterangi sesekali cahaya dari kilat yang menyambar. Jesslyn terlonjak kaget, memeluk lengannya sendiri. “Sial… PLN kampung.” “Jes,” suara Christian terdengar dalam gelap, rendah dan tenang. “Lo di mana?” “Di dapur,” sahut Jesslyn, mencoba menahan gugup. Ia meraba-raba meja mencari lilin, tapi tangannya bergetar saat petir kembali menyambar. Tak lama kemudian, ia merasakan sesuatu—tangan hangat Christian yang meraih pergelangan tangannya. “Tenang. Gue di sini,” ucapnya lirih. Jesslyn mendongak, meski mereka hanya bisa saling melihat samar karena cahaya petir. “Lo… jangan tiba-tiba gitu, bikin gue kaget. Untung gue gak punya penyakit jantung. Coba kalau punya, udah mati kali gue disini karena ulah lo.” Christian terkekeh pendek, lalu menariknya ke ruang tamu. “Lo kira gue tega biarin lo sendirian? Udah, sini duduk. Gue nyalain lilin.” Beberapa menit kemudian, dua lilin kecil berhasil dinyalakan. Nyala oranye bergetar, menciptakan suasana hangat sekaligus intim. Jesslyn duduk bersila di karpet ruang tamu, sementara Christian bersandar di sofa, tatapannya tak lepas dari wajah gadis itu. “Kayaknya rumah lo jadi makin kecil kalo kita cuma berdua gini,” ujar Christian tiba-tiba, setengah menggoda. Jesslyn meliriknya tajam. “Kalo gak suka, pintu masih kebuka lebar. Jalan aja pulang, siapa juga yang tahan lo.” “Di luar hujan badai, Jes.” Christian mencondongkan tubuh ke arahnya, suaranya rendah. “Lo beneran mau ngusir gue keluar gini aja?” Jesslyn menghela napas panjang. “Ya nggak… cuma… gue gak nyangka lo betah di rumah kayak gini. Kecil, berisik, bocor dikit.” Christian mengangkat alis. “Gue gak peduli rumahnya kayak apa. Yang gue peduli cuma siapa yang ada di dalamnya.” Jesslyn terdiam. Kata-kata itu terlalu sederhana, tapi menohok. Ia memalingkan wajah, pura-pura sibuk meniup teh yang tadi sempat ia buat sebelum listrik mati. Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras. Jesslyn otomatis meringis, bahunya sedikit menegang. Refleks, Christian menjulurkan tangannya dan menepuk punggung tangannya pelan. “Santai. Gue di sini.” “Gue gak takut,” kilah Jesslyn cepat, meski jelas-jelas ia hampir melompat setiap kali suara petir datang. Christian terkekeh. “Oke, oke. Lo bukan takut. Lo cuma… butuh alasan buat lebih deket ke gue.” “Bego!” Jesslyn melempar bantal sofa ke arahnya, wajahnya memerah. Tapi Christian dengan mudah menangkapnya, malah menaruh bantal itu di pangkuannya sambil tersenyum. Suasana kembali hening. Hanya suara hujan deras yang menemani mereka. Lilin kecil di meja menciptakan cahaya hangat yang menyorot wajah mereka berdua. Jesslyn sadar, momen ini terlalu intim, terlalu berbahaya untuk hatinya. Tapi entah kenapa, ia juga tidak ingin mengakhirinya. Christian tiba-tiba bersuara, lirih. “Lo tahu gak, Jes? Gue udah kejar-kejar lo sejauh ini. Tapi malam ini… gue ngerasa gak perlu ke mana-mana lagi.” Jesslyn menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. “Kenapa?” “Karena akhirnya gue ada di tempat yang sama dengan lo.” Jesslyn menunduk, jemarinya menggenggam cangkir teh terlalu erat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Hujan masih deras, petir masih sesekali menyambar. Tapi di ruang kecil itu, dengan cahaya lilin dan kehangatan yang sulit dijelaskan, keduanya sama-sama sadar—apapun yang terjadi, perasaan mereka sudah tak bisa lagi dibohongi. Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jesslyn membiarkan Christian tetap tinggal. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD