Chapter 2

1485 Words
Devina melangkah keluar dari apartemen Damian dengan kaki tertatih dan baju dengan yang begitu lusuh. Air mata mengalir pelan dari sudut mata Devina. Rasa sakit di pangkal pahanya sama sakitnya dengan kakinya yang terbentur pinggiran meja tadi. Ia tak memperdulikan rambutnya yang jauh dari kata rapih. Devina hanya membutuhkan rumahnya. Waktu telah menunjukkan pukul dua malam. Devina tak peduli lagi dengan tanggapan orang lain pada dirinya saat ini. "Anda tidak apa, nona ?" ucap pria yang berdiri di samping pintu. Itu adalah pria yang menunjukkan jalan tanpa mau mengantarkannya. Devina segera melangkahkan kaki. Hatinya semakin hancur ketika melihat pria itu. Kenapa dia tidak mau mengantarnya ? Jika pria itu mengantarnya tadi. Kejadian ini tidak mungkin terjadi. Ia terus berjalan kaki di tengah jalan yang masih ramai dan gemerlap dengan lampu malam. Devina menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Pukul sebelas Devina memiliki kelas. Namun Devina merasa sangat malas untuk berangkat kuliah. Padahal sudah dua minggu sejak kejadian itu dirinya tidak masuk kuliah. Entah mengapa Devina tidak ingin melihat Damian maupun orang lain. Selama dua minggu yang dilakukannya dirumah hanya menangisi segala hal yang terjadi padanya. Bahkan Devina tak memberi kabar sama sekali pada keluarganya di Indonesia. Setelah bergulat dengan pikirannya selama sepuluh menit. Devina beranjak dan memutuskan untuk berkuliah. Ia akan menganggap semuanya hanyalah masa kelamnya. Ia harus bangkit dan melupakan segalanya. Ia tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun termasuk orang tuanya. Ia harus mengejar mimpinya dan melupakan segalanya. Devina melangkahkan kakinya menuju ujung jalan besar. Devina melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju tempat kuliahnya. Berusaha melupakan segalanya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Hingga sebuah suara mobil yang makin mendekat membuatnya menoleh.             Mata hitam lengam itu menatapnya. Mata yang dimiliki oleh penoda dirinya. Damian melajukan mobilnya meninggalkan Devina. Bahkan Leo hanya menatapnya di balik kaca mobil. Sekali b******k akan tetap b******k! Devina tidak mengharapkan apapun termasuk permintaan maaf dari Damian b******k itu. Devina menarik nafas dalam ketika air matanya akan meluncur kembali. Ia harus kuat, semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan kembali seperti semula. Jam kelaspun telah selesai pukul satu siang. Devina segera melangkah kakinya keluar dari kelas. Ia tidak ingin berpapasan dengan Damian maupun teman satu gengnya. Ia ingin segera pulang ke rumah. Tapi niatnya seketika berubah ketika Devina berjalan melewati swalayan dekat rumahnya. Devina mendorong trolley belanjaannya menyusuri lorong tiap lorong untuk melihat-lihat barang apa lagi yang perlu ia beli. Baru tadi pagi ayahnya mengirimkan sejumlah uang untuk kebutuhannya disini. Devina langsung memanfaatkan uang tersebut untuk mencukupi segala kebutuhan disini dan mengisi kulkasnya penuh. Setidaknya jika tak memiliki uang Devina harus tetap mempunyai persediaan di rumah. Aroma yang masuk ke dalam indra penciumannya seketika membuatnya tergoda. Devina mendekati deretan mangga yang berjejer dengan menggodanya. Mungkin jika Devina seorang pria dia mungkin akan menganggap mangga tersebut adalah gadis cantik yang menggunakan bikini saat sedang berjemur di pantai. Devina melambaikan tangannya ke salah satu petugas yang membuat petugas itu mendekatinya. "Hm... Tolong bungkuskan buah ini untuk saya" ucap Devina dengan senyum manisnya. Petugas itu ikut tersebut dan mengangguk. "Wah, hamil muda ya ? Umur berapa ?" ucap petugas itu yang membuat Devina terbungkam. "Tidak. Saya belum menikah, hanya ingin buah mangga saja" ucap Devina dengan canggung. Devina menunggu semua belanjaannya di hitung oleh kasir. Ingatannya terus berputar pada ucapan petugas tersebut. Seperti ucapan petugas itu mengganggu dirinya. Namun ia tak tau dalam segi apa. Hanya saja seperti ada yang mengganggu. "Pakai punya saya saja" ucap seseorang sambil menyodorkan kartu kreditnya yang membuat Devina tersadar dan menoleh. Devina kaget dengan wajah seseorang yang tengah berdiri di sampingnya. Pria itu mengambil kartu yang telah di berikan kasir dan berlalu pergi meninggal Devina. Ia yang tersadar dari keterkejutannya segera mengambil barangnya dan berusaha menyusul pria itu. "Berhenti! Hey... Berhenti" ucap Devina sambil mengangkat barang belanjaannya dengan cepat. Damian yang mendengar hal itu memberhentikan langkahnya dan membalikkan badan. "Dengar! Aku tidak membutuhkan uangmu. Aku akan mengembalikannya" ucap Devina sambil mengambil dompetnya di dalam tasnya. "Aku tidak membutuhkan uangmu" ucap Damian sambil melangkah pergi. Devina yang melihatnya langsung menarik kerah belakang Damian dengan keras. "Aku tidak sudi menerima uangmu. Ini aku kembalikan" ucap Devina sambil menaruh beberapa lembar dengan nominal yang sama dengan bukti pembayaran. Devina melangkah menjauhi Devina. Namun baru dua langkah kaki. Tubuhnya ditarik paksa yang menyebabkan belanjaannya terjatuh. Damian menatapnya dengan tajam. Hal itu membuat Devina seketika merasa takut. "Aku paling tidak suka! Jika kebaikanku dibalas dengan sikap tak punya sopan santun" ucap Damian dengan nada dingin yang mengintimidasi. "Lebih baik kau bawa saja uangmu" ucap Damian sambil memberikan uang Devina tadi ke dalam genggaman tangan Devina. Setelah melakukan hal itu Damian melangkah pergi meninggalkannya. Devina mengambil kantong belanjaannya dan berjalan pelan. Air matanya yang mengalir pelan segera dia hapus dan melanjutkan langkahnya. Dasar pria b******k! Pukul enam pagi Devina sudah sampai di tempat kuliahnya. Ia menyusuri lorong demi lorong dan hanya di temani oleh suara sepatunya sendiri. Ny.Kimberly kemarin meminta tolong padanya, untuk membersihkan perpustakaan karena akan ada dosen lain yang akan berkunjung. Sedangkan Ny. Kimberly akan datang terlambat karena beliau mempunyai urusan keluarga yang tak bisa di tunda. Devina membuka kunci perpustakaan yang tekah diberikan Ny. Kimberly dan melepas sepatunya. Ia melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Sebenarnya tempat ini cukup bersih, hanya saja harus disapu ulang. Devina membuka semua jendela yang berada di sini dan tak menyalakan AC. Pagi ini udaranya begitu dingin. Bahkan tubuh Devina terasa bergetar ketika bangun karena udara yang begitu dingin. Devina berjalan menuju saklar lampu berada. Devina menyalakan lampu tersebut dengan mudahnya, ia sangat hafal dimana letak segala benda di perpustakaan. Devina menjerit kaget ketika melihat sosok tinggi besar berada di depannya. Dengan refleks Devina memundurkan tubuhnya dengan cepat tanpa berpikir apa yang sedang dibelakangnya. Namun sebuah lengan segera menangkap tubuhnya dan menariknya kedalam sebuab d**a bidang. Aroma maskulin yang begitu nyaman membuat Devina terbuai sejenak karena rasa nyaman yang melanda. "Kenapa kau begitu ceroboh ?" suara dingin namun terdengar serak membuat Devina tersadar dan segera mendorong d**a bidang Damian. Devina menatap Damian tajam dan berjalan menjauh dari pria itu. Devina memegang ujung meja Ny. Kimberly dan memegang dadanya pelan. "Kau mengagetkanku" ucap Devina sambil mengambil vakum cleaner yang berada di belakang meja Ny.Kimberly. Devina segera menyalakan alat tersebut dan akan melakukan pekerjaannya. Dari sudut matanya ia melihat Damian melangkah mendekati jendela dan duduk disana.  "Kenapa kau berada di sini di pagi buta?" ucap Damian yang sengaja Devina abaikan. Seharusnya Damian menanyakan pertanyaan tersebut kepada dirinya sendiri bukan pada Devina. Tidak mungkin jika Damian berada di sini karena ada kelas pagi. Karena kelas pagi baru di mulai pada pukul delapan pagi. "Hey! Aku berbicara denganmu!" ucap Damian sambil menatap Devina. Ia menghentikan pekerjaannya dan menatap Damian sebal. "Kenapa kau menjadi cerewet sih ?" ucap Devina.Wajah Damian yang awalnya datar seketika kaget dan Damian segera mengubah wajahnya pada mode datar kembali. Pria itu terdiam cukup lama sampai-sampai membuat Devina heran. Walaupun Devina tidak mengenal Damian tapi ia tau jika Damian termasuk salah satu pria yang bisa dikatakan dingin pada siapapun. Bahkan terhadap sahabatnya sendiri ia terlihat cuek dan pendiam. Jadi aneh saja jika Damian berada di sini hanya untuk mempertanyakan mengapa Devina berada di sini pagi hari ? Namun bukannya ia merasa lega karena Damian terdiam yang ia rasakan malah canggung. Namun Devina tidak menampik jika kehadiran Damian disini membuatnya merasa nyaman. Biasanya ia hanya sendiri ketika berangkat pagi seperti ini. "Kenapa kau diam ?" tanya Devina yang entah mendapat dorongan darimana untuk bertanya. "Kenapa aku harus berbicara ?" ucapan Damian seketika membuat Devina membungkam mulutnya. Bahkan Devina mengumpati mulutnya serta mulut Damian. Seharusnya ia tak menanyakan hal itu kepada Damian. Kenapa dia bodoh sekali ? "Apa kau hamil ?" pertanyaan Damian seakan suara petir yang menyambar Devina. Mulutnya terbungkam dan tak tau harus mengatakan apa. Karena dirinya juga tak tau apa-apa. "Kenapa kau diam ?" ucap Damian yang entah bagaimana berdiri di depannya dengan wajah datarnya. Devina memundurkan tubuhnya untuk menjaga jarak dari Damian. "Tidak!' ucap Devina yang membuat Damian mengangguk kecil. "Ya sudah kalau begitu. Jangan berlebihan" ucap Damian sambil membalikkan badan. "Tapi jika aku hamil, aku juga tidak membutuhkanmu" ucap Devina yang membuat langkah Damian berhenti dan memutar tubuhnya. Pria itu menatap Devina dengan tatapan dingin. "Tentu saja aku dibutuhkan. Aku ayah bayi itu" ucap Damian yang membuat Devina tersenyum sinis. "Aku yang mengandungnya. Jadi dia adalah hakku. Terserah aku akan melakukan apa dengan bayi itu. Merawatnya atau malah... Membunuhnya" ucap Devina yang membuat Damian melangkah cepat mendekati Devina. "Jaga ucapanmu! Aku adalah ayah bayi itu jika kau hamil dan aku memiliki hak" ucap Damian. "Slow, dude. Aku tidak akan hamil tenang saja. Jadi jangan terlalu menghayal" ucap Devina sambil mendorong tubuh Damian. Pria itu menatap Devina dalam dan tiba-tiba melepaskan jaketnya dan menyampirkan di tubuh Devina. Hal tersebut membuat Devina menghentikan gerakannya dan menatap Damian terkejut. "Pakailah jaket jika berangkat pagi. Cuaca sedang dingin" ucap Damian dan melangkah keluar dari perpustakaan. Devina hanya mampu melihat punggung tegap tersebut. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD