Chapter 3

1115 Words
Devina membereskan beberapa buku yang berada di mejanya. Ia segera beranjak keluar kelas dan ingin segera pulang. Namun ketika dia baru saja melangkah keluar kelas. Sebuah punggung kokoh mundur kebelakang yang membuat Devina kaget dan hampir jatuh. Tapi sebuah lengan dengan tanggap memegang pinggangnya dan menahan tubuhnya yang akan menyentuh lantai. Devina menatap kaget orang yang baru saja menolongnya tersebut. "Hati-hati, nona" ucap Leo sambil menarik tubuh Devina agar berdiri. "Hey, bukannya kau yang sering berjalan pagi itu ?" ucap Leo sambil menunjuk wajah Devina. Hal itu membuat Devina gugup dan melangkah pergi ingin menghindari sekelompok pria b******k itu karena saat ini mereka telah menjadi tontonan. Dimanapun berada jika ada teman satu geng Damian tentu saja itu adalah tempat yang wajib di sorot oleh segala mata. Jika bisa jujur memang teman satu geng Damian memiliki wajah yang tampan. Tentu saja menjadi kesukaan oleh semua mahasiswi di kampus ini "Hey tunggu, Nona!" teriak Danny ketika Devina terlihat sangat jelas ingin menghindar. "Bukannya itu jaket Damian ?" ucap Danny dengan lantangnya. Devina mengutuki jaket yang saat ini disampirkannya di lengan. Karena hari ini pelajaran tidak banyak Devina hanya membawa tas kecil. Hal itu membuat Devina tidak bisa menyembunyikan jaket Damian tadi pagi. Jaketnya saja sudah bikin repot apalagi orangnya! “Pabrik tidak membuat satu” ucap Devina sambil membalikkan badan. Boy tertawa lebar atau lebih tepatnya tersenyum mengejek kepada Devina. “Hey, Nona. Kami bukanlah orang yang bodoh. Kau harus tau kalau jaket yang kau bawa itu hanya ada empat di dunia dan kami telah membelinya semua” ucap Boy dengan nada sombongnya. “Sombong” gumam Devina. “Oh ya, satu lagi. Kami sangat mengenal aroma sahabat kami sendiri. Jadi kami tidak akan pernah salah” ucap Danny yang membuat Devina bungkam. Devina berusaha memutar otaknya agar memunculkan ide. Rasanya Devina ingin menangis karena banyak pasang mata yang menatap mereka berempat dengan pandangan bingung. “Sialan” ucap Devina sambil membalikkan badan dan meninggalkan kerumunan itu. Hingga sebuah tarikan di lengannya membuat Devina tertarik ke belakang dengan keras yang membuatnya limbung ke dalam sebuah dekapan. Kegelapan langsung menariknya dan tak memberikan dirinya ijin untuk kabur. “Leo! Dia pingsan” sebuah suara yang terdengar sebelum semuanya berubah gelap. *_*_* Boy melirik ke belakang melalui spion. Danny dan juga Leo tengah mengapit tubuh Devina yang tengah tak sadarkan diri. Dari wajah Leo sangat terlihat jika dirinya tengah khawatir. Tadi Leo dengan sigap mengangkat tubuh Devina dan membawanya menuju mobil. Mereka bertiga segera membawa Devina ke rumah sakit terdekat. Jika di klinik kesehatan universitas takutnya akan membuat masalah semakin besar. Sebuah deringan ponsel membuat Boy melirik ponselnya. Segera Boy menghubungkan panggilan tersebut. Nama Damian terpampang di sana yang membuat dirinya merasa merinding ketika membacanya. “Ada apa ?” ucap Boy. “Kalian dimana ? Aku sudah menunggu di kantin” teriak Damian dengan nada kesalnya. “Kita lagi bawa Devina ke rumah sakit terdekat. Dia tadi pingsan” ucap Boy dengan tetap fokus ke depan. “What? Kalian apakan Devina ?” teriak Damian yang membuat Boy merasa kaget. “Ceritanya panjang yang paling penting sekarang untuk bawa Devina ke rumah sakit” Damian menghela nafas panjang. “Aku akan menyusul” ucap Damian yang membuat Boy segera menyetujuinya. Ia memberikan ponsel tersebut kepada Danny. Danny sendiri langsung menatap ngeri dengan ponsel yang di pegangnya. Dengan ketar-ketir Danny meneguk ludahnya. “Kirim alamat rumah sakit yang kita tuju ke Damian” Danny mengangguk dan segera mengetik sesuatu. “Kau memberitahu Damian? Gila jika perempuan ini memang ada hubungannya dengan Damian. Bisa mati!” Boy hanya menggeleng mendengar gumaman Leo. Tetapi tidak bisa menampik jika apa yang dikatakan Leo sangat benar. Jika perempuan ini memang memiliki hubungan dengana Damian tamat sudah riwayat mereka. Damian terkadang tak pernah pandang bulu dengan siapa yang menjadi musuhnya. Walaupun mereka sudah saling mengenal cukup lama. Dirinya saja tak yakin jika Damian tidak akan membunuh mereka. *_*_* Aroma obat yang menguar membuat Devina segera membuka matanya. Kepalanya terasa pening dan berat. Segala memori yang telah di alaminya seakan berputar kembali di ingatannya. “Kalian seharusnya menjaga kandungannya. Usia kandung Ibu Devina masih sangat rentan di usia dua minggu. Jika kalian tidak ingin terjadi apa-apa. Tolong dijaga baik-bayi kandungannya” ucap seseorang yang membuat Devina menolehkan kepalanya. Seorang dokter tengah berbicara dengan ketiga pria di depannya yang menunjukkan wajah tegang. “Jika boleh tau, siapa di antara kalian yang sebagai ayah bayi tersebut ? Atau kalian… semua ?” ucap Dokter tersebut yang membuat wajah ketiga pria itu semakin menegang. “Saya ayah dari bayi itu” ucapan seseorang seketika membuat semua orang menatap kearah pintu masuk. Damian melangkah masuk ke dalam ruangan dengan santainya. “Saya yang menghamili Devina” tatapan Damian beralih kearah Devina. Devina yang baru sadar dengan segala percakapan sejak tadi melotot kaget. Tidak mungkin! Yang di dengarnya pasti salah. Tidak mungkin dirinya mengandung, apa yang akan dikatakan oleh keluarganya jika sampai berita ini benar adalahnya. Dirinya hamil! “Bayi ? Menghamili ? Apa maksud kalian semua” ucap Devina sambil berdiri dan turun dari bangkar rumah sakit. “Tolong jangan bergerak terlalu cepat. Itu sangat berbahaya” ucap Dokter tersebut yang membuat Devina menggeleng. “Tidak! Saya tidak hamil. Apalagi bayi pria b******k itu” ucap Devina dengan air mata yang mengalir. “Jaga ucapanmu! Itu juga bayimu” ucap Damian dengan nada tajam. Devina menatapnya tak kalah tajam. Bagaiaman bisa pria itu dengan teganya mengatakan hal itu. Bujkanlah pria itu yang memaksanya dan membuatnya harus merasakan bagaimana rasanya hancur berkeping-keping hingga serpihan yang paling kecil. “Tidak! Kau yang memperkosaku b******k! Aku tidak mau mengandung anak ini” jerit Devina yang membuat kepalanya semakin terasa pusing. Bahkan tubuh Devina hampir saja limbung jika ia tidak memegang meja di samping bangkar. Melihat hal itu Damian langsung mendekat dan ingin memegangi tubuh Devina. “Jangan mendekat. Stop! b******k” jerit Devina sebelum semuanya menjadi gelap. Damian dengan tanggap langsung menahan tubuh Devina dan membawa perempuan itu naik ke atas bangkar. Sebuah darah mengalir dari celah kaki Devina. “Kalian tunggu di luar dulu” ucap seorang suster yang memang sejak tadi mendamping dokter tersebut. Di luar ruangan Damian menatap pintu tersebut dengan tatapan kosong. Seakan semua hidupnya telah terserap dan tertinggal di dalam sana. Entah bagaimana bisa kehidupannya jadi berpusat pada perempuan mungil yang tanpa sengaja dihamilinya. “Dam, kau menghamili Devina?” Tanya Boy dengan ragu. Damian mengangguk dengan mantap namun tak bertenaga. “Kau benar memperkosanya ?” ucap Leo dengan nada menyakinkan. “Ya, semua benar. Aku memperkosanya dan membuat Devina hamil” ucap Damian yang membuat ketiga sahabatnya membungkam. Tidak ada yang berani mengucapkan satu katapun meliihat wajah Damian yang saat ini tak bersahabat sama sekali
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD