BAB 3 Mimpi Masa Lalu

1136 Words
Di hutan belantara, Kiana duduk menyandar di sebuah batu besar. Tubuhnya sangat lelah sehabis berjalan berkilo-kilo meter untuk mencari makanan, namun sampai sekaran ia tak menemukan makanan apapun. Tak jauh dari tempatnya, seorang pemuda yang hanya memakai celana duduk di sebuah batu besar. Saat di perjalanan ia menemukan celana, akhirnya ia memakainya untuk menutupi area privasinya. Sejak kematian wanita yang dicintainya. Drake tak pernah lagi membutuhkan yang namanya pakaian. Tubuhnya yang besar membuat pakaiannya selalu robek dan hancur jadi untuk apa ia membutuhkan pakaian. Lagian ia lebih nyaman berada di tubuh naganya ketimbang menjadi manusia. Wajah tampannya menatap Kiana kesal, pukulan wanita itu membekas di wajahnya hingga memerah. Tak di sangka wanita itu sangat berbeda dengan wanita yang ia cintai dulu. Tak lama kemudian Kiana melanjutkan perjalanannya untuk mencari makan atau pun air. Wanita itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik menatap lelaki yang mengikutinya dari belakan. “Aku sangat berterima kasih kau telah menyelamatkanku. Tapi, bisakah kau meninggalkanku? Aku tak ingin berurusan dengan lelaki m***m sepertimu.” Wanita itu mengakhiri perkataannya dengan mengacungkan telunjuk di hadapan lelaki itu. Memberinya isyarat agar meninggalkannya. “Kau pikir aku mengikutimu? Aku juga tak mau mengikutimu,” kata lelaki itu kesal sambil menjulurkan lidahnya mengejek Kiana. Ejekan lelaki itu membuat wajah Kiana memerah kesal. Ia mengambil batu yang tak jauh dari tempatnya dan melempar lelaki itu. Namun dengan cepat lelaki itu menangkap batu yang dilempar Kiana. Lelaki yang bernama Drake itu bedecak kesal menatap wanita di hadapannya. “Baiklah aku akan pergi.” Drake melebarkan sayapnya dan terbang meninggalkan Kiana seorang diri di hutan. Wanita itu kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencari makan. Wajahnya berbinar saat melihat sebuah pohon yang di tumbuhi buah-buahan. Kiana memanjat pohon untuk mengambil buah-buahan, ia memperbaiki posisinya, mencari batang yang kokoh untuk di duduki. Setelah itu ia makan dengan labap di atas pohon. Setelah beristirahat sejenak di atas pohon, Kiana kembali melanjutkan perjalanannya yang tak menentu. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tak punya siapa-siapa lagi. Nenek satu-satunya yang ia miliki kini telah tiada sedangkan Kelvin juga tidak ada. “Kelvin ...” lirih Kiana. Tanpa Kiana sadari, sedari tadi Drake mengikutinya ke manapun wanita itu pergi. Drake tak bisa membiarkan Kiana seorang diri. Hutan belantara ini sangat luas dan banyak binatang buas yang ada di hutan ini. Di perjalanan, tiba-tiba langkah Kiana di hadang oleh ular berbisa. Drake yang bersembunyi di atas pohon bersiap-siap untuk menolong wanita itu. Namun kekhawatirannya sirna dan tersenyum melihat Kiana yang dengan mudah membunuh ular berbisa itu. “Tak kusangka, ia tangguh juga,” batinnya. Hari semakin gelap saat Kiana tiba di perairan sungai kecil. Dengan wajah gembira wanita itu menceburkan wajahnya di perairan itu. Menikmati sejuknya air yang menyentuh wajahnya. Air mengalir dari wajahnya membasahi bajunya saat mengeluarkan kepalanya dari air. Dengan pisau kecilnya ia memotong pohon bambu yang tak jauh dari sungai. Mengubah batang bambu itu menjadi gelas. Ia tersenyum menatap gelas buatannya. Dengan gelas bambu itu Kiana mengambil air dari sungai dan meminumnya. “Segarnya,” pekiknya saat air mengaliri tenggorokannya yang kering. Kiana memutuskan untuk beristirahat di sekitar danau kecil. Ia tak bisa melanjutkan perjalanan karena hari sudah gelap. Wanita itu membuat api uggun dengan menggunakan bahan-bahan yang ia temui. Demi mencegah kebosanan Kiana bernyanyi di hadapan api unggun dan duduk di sebuah kayu besar. Tangannya membolak-bali ular yang ia bunuh saat di perjalanan. Kiana mengentikan nyanyiannya sejenak saat ular yang ia bakar sudah matang. Dengan lahap ia memakannya. Selesai mengisi perutnya, wanita itu kembali melanjutkan nyanyiannya dan tak lama kemudian ia tertidur pulas. Drake yang sedari tadi mengawasi Kiana tersenyum dan menikmati nyanyian merdu wanita itu. Tak lama kemudian lelaki itu juga tertidur di atas pohon. *** Seorang wanita bernyanyi di sungai kecil, wanita itu duduk di sebuah batu besar. “Suaramu sangat jelek,” ujar seorang lelaki yang tengah menangkap ikan di sungai. “Masa, sih?” kata wanita itu dan lelaki yang ada di hadapannya mengangguk mengejek. Tak terima dengan ejekan lelaki itu, wanita itu berdiri dan melangkah masuk ke sungai menghampiri lelaki itu dengan wajah kesal. Tak lama kemudian ia memercitkan air pada wajah lelaki itu. Tak ingin tinggal diam lelaki yang bernama Drake itu juga melakukan hal yang sama, sehingga terjadilah perang air. Setalah perang air berakhir, kini mereka berdua tengah membakar ikan dari tangkapan Drake dengan menggunakan api unggun. Mereka berdua bercengkrama dengan gembira. Candaan dan tawa bahagia terpancar di wajah mereka berdua. Wajah gembira Drake menghilang, saat ia tak lagi di danau. Ia berada di sebuah gunung tertinggi. Dari gunung tertinggi, Drake menyaksikan gumpalan asap besar menyebar di mana-mana. Langit semakin mengelap dan tangisan ada di mana-mana. Bunyi drum menggema di mana-mana. Tiga kubuh kini saling berhadapan, bersiap-siap untuk memulai peperangan. “Tidak! ... Hentikan!” Seorang wanita berteriak di samping Drake. “Drake ... aku mohon ... hanya kau satu-satunya yang bisa menghentikan peperangan ini.” Wanita itu memegang tangan Drake berlutut dan memohon pada lelaki di hadapannya. Drake menatap wanita itu sendu dan menggelengkan kepala. “Peperangan ini tak bisa dihindari.” Air mata mengenang di wajah wanita itu. Saat itu juga suara drum kembali berbunyi menandakan peperangan akan di mulai. Tubuh wanita itu gemetar saat menyaksikan peperangan terjadi. “Maafkan aku. Aku harus pergi.” *** Keringat dingin membasahi dahinya saat ia terbangun di kegelapan malam. Seluruh tubuhnya gemetar. Mimpi itu, datang lagi. Mimpi yang selalu menghantuinya. Bola matanya gemetar! Napasnya naik turun berpacu cukup kencang. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar untuk mengembalikan kesadarannya. Ia menatap Kiana yang tertidur pulas yang beralaskan daun. Drake melompat turun dari pohon. Ia menghampiri Kiana yang tertidur. Api unggun yang di buat wanita itu mulai mengecil. Ia menghembuskan napas berat sebelum melangkah mencari kayu bakar. Saat di rasa kayu bakar sudah cukup. Lelaki itu kembali ketempat Kiana. Ia melembar kayu yang ia temui di tumpukan api unggun dan duduk di samping Kiana. Drake menatap Kiana, wajah wanita itu sangat mirip dengan wanita yang ia cintai. Ia singkirkan rambut yang menutupi wajah wanita itu dan menatapnya dalam-dalam. Tak lama kemudian, nyamuk mengepung tubuh Kiana membuat ia risih dan membolak balikkan tubuhnya menghindari nyamuk-nyamuk yang menari-nari di atas tubuhnya. Merasa kasihan dengan wanita itu, dengan berat hati Drake membunuh satu persatu nyamuk yang mendekat. Matahari telah menampakkan wajahnya dan memancarkan sinarnya. Dengan wajah kesal Drake menatap Kiana yang tertidur pulas. Kedua matanya kini bermata panda akibat begadang semalaman hanya untuk untuk membunuh nyamuk yang jumlahnya tak terhitung. “Bisa-bisanya ia tertidur pulas.” Ia semakin kesal menatap wanita itu tertidur pulas di atas penderitaannya. Tangannya sangat gemas untuk mencubit wanita itu. Dengan wajah kesalnya ia ulurkan tangannya untuk mencubit wanita itu. Cubitan Drake pada hidung Kiana membuat wanita itu terbangun dan saat itu juga Drake menghilang. “Rasakan pembalasanku,” kata lelaki itu sambil bersembunyi seperti biasa di atas pohon dan tersenyum menatap wajah kesal Kiana yang kesakitan di hidungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD