BAB 10 Kembali Ke Kota

1183 Words
Kiana berhenti sejenak. Ia berbungkuk dengan memegang kedua lutunya. Kiana mengatur napasnya yang mengebu-ngebu. Ia sangat lelah dan tubuhnya sudah basah oleh keringat. Ia sedikit lemas karena sejak semalam ia ia tidak makan. Perutnya kosong ia butuh makanan sekarang juga. Tapi, ia tidak bisa berhenti ia tidak tahu bagaimana keadaan Riki. Apa ia baik-baik saja atau ia mendapatkan masalah. Kiana memperhatikan di sekitarnya. “Sedikit lagi,” batinnya. Ia kembali melanjutkan perjalannya untuk kembali ke kota. Tak lama kemduan ia tersenyum senang setelah perjalan panjangnya membuahkan hasil. Ia telah melihat kota yang ia tuju. Segera Kiana berlari masuk ke kota. “Riki kau di mana?” teriaknya. Kota keci tersebut kini sepi tak ada satu pun manusia yang berlalu-lalang. Sepertinya para penduduk desa yang telah berubah menajadi vampire telah musnah. Ia mulai mengelingi desa tersebut. Ia mempercepat langkah saat merasa sebentar lagi akan malam. Akan sangat berbahaya jika ia tetap di kota ini saat malam. “Riki!” pekiknya saat melihat anak kecil yang sedang menangis tak jauh dari tempatnya. Kiana pun memeluk anak kecil tersebut. “Syukurlah aku menemukanmu,” pekiknya senang. Ia melepas pelukannya. “Ayo kita kembali ke hutan. Di sini tidak aman.” Kiana pun menarik tangan anak lelaki tersebut. Tapi, Riki tidak bergerak sama sekali. “Ada apa?” “Aku ingin tetep di sini.” Riki menatap abu-abu yang berserakan di hadapannya yang di yakininya adalah tubuh orang tuanya yang telah meninggal. “Tapi di sini sangat berbahaya.” Kiana memperhatikan sekelilingnya. Perasaannya mulai tidak enak saat hari mulai gelap. “Aku tidak ingin meninggalkan orang tuaku ...” lirihnya. Wanita itu pun memperhatikan sekelilingnya dan tersenyum saat menemukan sebuah toples kecil. Kiana pun mengambil tempat-tempat tersebut dan kembali menghampiri Riki. Kiana pun mengumpulkan abu-abu tersebut dan memasukkannya ke dalam toples. “Apa yang kau lakukan?” “Dengan begini kau bisa bersama dengan orang tuamu. Kau bisa membawanya ke mana pun kau pergi.” Kiana pun menyerahkan toples tersebut pada anak lelaki di hadapanya. Riki tersenyum.”Benar juga. Terima kasih, Kak.” “Ayo kita kembali ke hutan. Jika lelaki m***m itu tahu kita kembali ke sini dia bisa marah dan mengamuk. Keduanya pun bergandengan tangan menyusuri kota kecil tersebut untuk kembali ke hutan. “Tunggu dulu. Sepertiya kemarin aku meninggalkan barang-barangku di sini. Aku harus mengambilnya sekarang!” pekik Kiana tiba-tiba saat ia mengingat peninggalan neneknya. Tak hanya buku itu ia juga meninggalkan naga kecilnya. Ia berharap Kelvinnya baik-baik saja. Meraka berdua kembali menyusuri kota tersebut untuk mencari tempat penginapan yang ia tempati kemarin. Kota tersebut telah hancur dan banyak bangunan yang telah roboh. Membuat Kiana kesulitan mencari penginapan yang ia tempati kemarin. “Hari mulai gelap,” batinnya. Ia berharap semoga tidak ada vampire lagi di desa ini. Tiba-tiba ia berhenti saat Kiana telah mendapati penginapan yang ia cari selama satu jam. Ia menatap anak lelaki yang ada di sampingnya. “Kau tunggu di sini yah. Aku masuk dulu untuk mencari barang-barangku.” Anak lelaki itu pun mengangguk. Bunyi pintu terbuka menggema saat ia memasuki penginapan tersebut secara perlahan. Suasana yang sepi membuat bulu kudungnya merinding. Ia memperhatikan sekelilingnnya dengan teliti. Untungnya ada cahaya bulan yang masuk dari celah-celah dinding sehingga dapat menerangi langkahnya. “Kelvin ...” Kiana berteriak pelang. Sambil mengedarkan pandangannya. “Tunggu. Kelivin kan tidak bisa bicara. Untuk apa aku memanggilnya ia tidak akan menyahut,” rutuknya dalam hati sambil memukul pelan kepalanya saat ia menyadari kebodohannya. Saat Kiana masuk lebih dalam. Bayangan hitam melesat dari arah belakannya. Angin tiba-tiba menerpa tubuhnya saat bayang hitam itu melintas di belakannya. Spontan Kian berbalik. Kosong. Tidak ada siapa pun di belakannya. Wanita itu pun kembali melanjutkan pencariannya dengan langkah cepat. Tak lama kemudian ia pun tersenyum senang. “Akhirnya aku menemukannya.” Kiana memegangi buku sihir peninggalan neneknya. “Syukurlah buku ini tidak hilang.” Kiana juga mengambil barang-barangnya yang tertinggal. Tapi, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Kakinya lemas dan bergetar kuat. “Kelvin ...” lirihnya. Ia memandangi kandang yang ia buat khusus untuk naga kecilnya yang telah hancur. “Ini salahku ... seharusnya aku membiarkanmu terbang bebas. Seandaninya aku tidak mengurungmu mungkin kau tidak akan di terkam vampire jahat itu.” Air matanya pun mengalir di wajahnya. Ia menagis dalam diam. Tanpa ia sadari beberapa vampire bermata merah telah mengawasinya sejak ia masuk kelam bangunan tersebut. Sebuah benda jatuh mengagetkan Kiana. Ia berbalik namun ia tidak menemukan siapa pun. “Riki! Apa itu kau!” periaknya nyaring. Kiana pun menghapus air matanya. Ia mengambil semua barang-barangnya tak terkecuali kandang kecil Kelvin ia bawa juga. Wanita itu mempercepat langkahnya untuk keluar dari bangunan tersebut. Tapi, saat ia melangkah keluar sebuah tangan tiba-tiba menariknya masuk kembali dan menghempaskannya di lantai. Barang-barang wanita itu berhamburan di lantai. Kiana mencoba memungut buku sihirnya. Tapi, tubuhnya seketika membeku. Vampire bermata merah kini berdiri di hadapannya. “Aa.” Seketika itu juga Kiana berteriak nyaring. Riki yang sedari tadi menunggu Kiana di luar menjadi panik dan kaget mendengar teriakan Kiana. Anak lelaki itu pun mengambil balok kayu dan memungut beberap batu lalu masuk ke dalam bangunan tersebut. Setibanya ia di dalam. Ia melihat Kiana tersudut oleh vampire. “Kak Kiana!” pekiknya. Riki pun melempar batu yang telah ia pungut sebelumnya dan berhasil menegani vampire tersebut. “Cepat kemari, Kak!” teriaknya. Saat vampire itu mulai teralihkan. Kiana hanya bisa mengambil buku sihir yang kebetulan tergeletak di sampingnya lalu berlari menuju Riki. Keduanya pun berpegangan tangan dan keluar dari banguann tersebut. Tapi, keduanya lagi-lagi tertimpa sial. Para vampire yang ada di kota tersebut bangkit dan memenuhi kota. Perkiraannya salah. Vampire-vampire itu bersembunyi di banguan yang jauh dari paparang sinar matahari dan saat malam hari datang. Para vampire itu pun menampakkan dirinya. Keduanya mulai terkepung. Riki menatap Kiana. “Bagaimana ini, Kak? Kita telah di kepung. Ini semua salahku maafkan aku. Seandainya aku tidak kemari.” Kiana menatap Riki. “Tidak apa-apa. Kita pasti bisa keluar dengan selamat.” Kiana mengeratkan pegangannya pada tangan Riki dan buku sihir yang ia bawa. Tak jauh dari tempatnya ia melihat sebuah kain. Dengan kain itu ia membungkus buku sihirnya dan mengaitkannya pada tubuhnya. Sehingga memudahkan ia membawanya. “Kemarikan kayu itu.” Riki pun memberikan kayu yang selalu ia bawa tadi. “Jangan menjuh dariku. Harus tetap berada di belakanku. Okey?” Riki mengangguk. “Okey.” Keduanya pun bersiap-siap menyerang. Teriakan penuh semangat Kiana menggelegar saat ia mulai beralari menyerang dengan mengayunkan balok kayu yang ia pegang. Ke kiri dan ke kanan untuk membuat jalan. Di belakannya Riki mengikutinya dengan hati-hati. Kini keduanya berada di tengah-tengah lautan vampire yang haus akan darah. Riki tiba-tiba terjatuh. Ia tidak sengaja tersandung batu dan membuatnya terjatuh. “Riki!” peki Kiana. Wanita itu pun membantu Riki berdiri dan saat itu juga. Jalanan yang ia buat tadi pun hilang. Kini mereka telah terkepung dan tidak bisa kemana-mana lagi. Keduanya gemetar ketakutan. “Kak bagaimana ini. Kita tidak bisa keluar.” Kiana hanya diam. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saat itulah ia mengingat lelaki m***m yang selalu menolongnya. Jalan satu-satunya adalah lelaki m***m itu. “Tolong! Lelaki m***m cepatlah kemari!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD