9. Orang Gila

1110 Words
“Lo? Ngapain lo di sini? Kenapa lo bisa da di sini? Siapa yang kasih tahu lo rumah gue?” Setelah merasa terdiam cukup lama, Alle akhirnya bersuara. Bukan hanya bersuara, wanita itu juga melangkah ke ruang tamu menghampiri ibu dan sosok pria yang duduk di sana bersama ibunya. Sena, siapa lagi. “Heh, kok kamu ngomong gitu sama calon suami sendiri? Yang sopan dong ngomongnya, Al. Mentang-mentang lagi berantem malah galak gitu.” Tegur sang Ibu. T-tunggu. Apa ibunya bilang barusan? Calon? Siapa yang calon sua— “Apa? Ibu barusan bilang apa? Calon suami siapa? Siapa yang Ibu maksud dengan calon suami?” “Duduk dulu, Al. Jangan marah-marah dulu kamu, aku udah jelasin sama Ibu dan Ibu ngerti, jadi sebaiknya kita bicarain baik-baik masalah kemarin ya? Hm?” Suara lembut pria yang ada di sana sama sekali tidak cocok dengan raut wajahnya yang memancarkan mimik kepalsuan. Well, Alle tahu suara yang dikeluarkan pria itu pun saat ini benar-benar dibuat-buat. Dengusan remeh keluar dari mulut Alle, menatap pria itu penuh ketidaksukaan yang terpancar tanpa Alle tutup-tutupi. Kamu? Apa Alle baru saja mendengar pria itu membual dengan memanggilnya dengan kata “kamu”? Lantas membahasakan pada dirinya sendiri “aku”? Oh, ingatkan Alle untuk tidak tertawa hanya karena merasa pria ini begitu lucu di matanya saat. Saking lucunya, Alle bisa dianggap gila kalau sampai benar-benar menertawakannya. “Ibu ngerti? Bicarain masalah kemarin baik-baik? Masalah apa yang lo maksud, hah? Dan sejak kapan Ibu gue Ibu lo juga? Kenapa panggil Ibu kayak gitu seolah-olah lo udah…” “Allesia.” Nami memperingatkan putrinya itu dengan suara tegas, membuat Alle tidak memiliki pilihan lain selain mengalihkan perhatiannya sejenak dari sosok yang tidak diharapkan ada di rumahnya. “Bu, Alle minta maaf kalau di mata Ibu sekarang Alle kelihatan kurang ajar banget, tapi Alle punya alasan dan Alle bisa certain Ibu semuanya. Setelah ini, setelah urusan Alle sama orang ini selesai Alle akan certain semuanya, hm?” Nami terlihat tidak begitu puas meski telah mendengar penjelasan putrinya, sebab bagaimanapun Alle belum mengatakan apa masalah sebenarnya yang wanita itu maksud, tapi melihat bagaimana raut wajah Allesia, Nami mengerti bahwa itu sesuatu yang serius. Itu kenapa, Nami sudah bersiap membuka mulutnya namun urung ketika Alle sudah lebih dulu kembali bersuara. “Dan lo, lo ikut gue keluar. Sekarang!” Ucap Allesia mengarah pada pria yang duduk nyaman di sofa ruang tamu rumahnya itu. “Al…” “Tenang, Bu. Ibu tenang aja, Alle bakal selesaiin ini semua secepat mungkin.” Ucap wanita itu lagi menatap sang ibu, kemudian beralih lagi pada Sena. “Apa lagi? Cepet bangun dan keluar!” Perintah Alle, mengisyaratkan dengan lirikan mata dan goyangan kepalanya yang mendesak pria itu agar beranjak dari tempatnya saat ini. Yah, mau tidak mau Sena menurut. Sebab pria itu juga tidak mungkin terus berada di sana dan mengatakan semuanya selama ibu Alle ada di sana. Mereka memerlukan waktu berdua “lagi” untuk bicara, setelah pagi menjelang siang tadi tidak ada kesepakatan yang terbentuk di antara keduanya. Wanita dan pria itu akhirnya keluar, tepatnya setelah Sena sedikit berbasa-basi dengan ibu Alle yang pada akhirnya membiarkan kedua anak muda itu untuk bicara berdua. Alle yang berjalan lebih dulu, diikuti dengan Sena yang mengekor di belakang. Tanpa Sena duga, Alle menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah wanita itu, menoleh ke arah Sena dan memberikan pria itu isyarat untuk membuka pintunya agar Alle bisa masuk ke sana. Seperti siang tadi, Alle memutuskan untuk bicara di dalam mobil pria itu. Dipikir-pikir, dibanding harus bicara di luar yang mungkin saja tetap bisa terdengar oleh ibunya yang diam-diam berusaha menguping misalnya, atau adiknya Zeno yang mendadak jadi mata-mata utusan ibunya. Yah, walau Alle percaya keluarganya tidak akan melakukan hal macam itu, tapi jaga-jaga saja. Selain itu Alle yakin, kali ini meski ia berada di mobil yang sama seperti siang tadi, tidak akan ada paparazzi yang akan mengambil gambar mereka diam-diam karena mereka saat ini ada di dalam kawasan rumahnya. Untuk yang terakhir, itu sih Alle belum tahu saja bagaimana paparazzi bekerja. Di mana pun, tempat macam apapun, kalau memang itu bisa membuat mereka mendapatkan berita, sudah pasti paparazzi akan menemukan cara. “Sekali lagi gue tanya. Darimana lo tahu rumah gue?” Pertanyaan itu yang pertama Alle tanyakan begitu Sena menyusulnya masuk ke dalam mobil. Alle sengaja tidak memberondongnya dengan banyak pertanyaan sekaligus seperti tadi, karena wanita itu tahu, satu saja belum tetntu dijawab, apalagi banyak. “Itu… sesuatu yang gampang dicari tahu, kan? Apalagi asisten lo dan asisten gue udah kontak-kontakan sebelumnya. Jadi ya…” “Maksud lo, yang ngasih tahu alamat gue ke lo itu Riasa? Asisten gue sendiri?” Sena mengangkat bahu santai. Terlihat sama sekali tidak terintimidasi meski di sini Alle merasa posisi pria itu berada pada pihak yang salah. Dan oh, lihat cara bicaranya? Yang sudah meninggalkan sebutan “aku-kamu” begitu tidak di hadapan ibunya lagi? Tampak jelas sekali kalau sikap dan prilakunya itu memang penuh akal muslihat dan tipu-tipu. “Oke, soal itu biar gue selesaiin sama Raisa sendiri kenapa bisa-bisanya dia ngasih alamat gue ke lo.” Gumam Alle yang tidak bisa berbuat banyak untuk itu karena yang terjadi tidak bisa dipungkiri karena kesalahan pihaknya sendiri. “Terus soal lo yang udah ngomong sama Ibu. Apa maksud lo soal itu? Ngomong apa lo ke Ibu? Sampe Ibu ngira lo calon suami gue gitu? Gila lo ya? Nggak bikin masalah lain yang aneh-aneh kan lo? Yang pagi tadi aja belum selesai, kebangetan banget kalau lo sampai—” “Nggak nambahin masalah, cuma berusaha untuk selesaiin masalah kita dengan jalan keluar yang nggak merugikan masing-masing pihak.” Dengusan keluar dari hidung Alle tanpa bisa wanita itu tahan. Bagaimana bisa pria ini bilang menyelesaikan masalah tanpa merugikan masing-masing pihak? Saat awal pemberitaan dan ia mengkonfirmasinya saja jelas sudah merugikan Alle bukan main. Pria ini, bisa Alle pastikan benar-benar pribadi yang tidak tahu malu. Pantas saja, meski berbagai rumor menimpanya, ia tetap muncul di tv tanpa terlihat sedikitpun terganggu dengan itu. Benar-benar, manusia tembok. “Ya maksud lo nggak ngerugiin masing-masing pihak itu yang kayak gimana? Dari sudut pandang mana lo bisa yakin kalau itu nggak akan rugiin masing-masing pihak, hah?” “Seperti yang lo denger. Gue jelasin kalau apa yang dilihat Ibu lo di tv itu memang bener, dan gue minta maaf karena baru dateng ngenalin diri gue sama beliau—” Gila. Pria ini sudah gila. Benar-benar sudah gila. Alle bahkan tidak tahu lagi harus berteriak, marah, memukul atau melakukan apa untuk menyadarkan pria itu bahwa ia sudah gila. Sialnya, Alle harus berhubungan dengan orang gila yang tiba-tiba dalam sekejap masuk begitu saja dalam kehidupannya yang damai dan tentram.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD