"Dari mana kamu? Kenapa pergi nggak bilang? Nggak jelasin apa-apa ke Ibu dan ngeloyor gitu aja? Bukannya bantuin Ibu jelasin sama wartawan, ini malah kabur. Kamu nggak tahu gimana susahnya Ibu usir wartawan-wartawan itu dari sini, hah? Ibu sampe lapor sama Pak RT loh! Minta tolong sama Pak RT buat usir mereka semua karena menganggu ketenangan warga!"
Tiba di rumah, Alle yang tadinya ingin menenangkan diri justru kembali disulut oleh amukan ibunya yang ternyata belum habis.
Alle pikir, sesaat ia tinggalkan bisa membuat ibunya lebih tenang dan berpikir jernih, tapi ternyata sama saja. Alle masih menjadi sasaran amukannya karena apa yang didengarnya pagi ini.
"Bu, ngomongnya nanti lagi ya? Al capek banget sumpah. Mau istirahat, butuh istirahat dan memang harus istirahat. Ibu tahu sendiri Al tidur hampir pagi, dibangunin pagi-pagi dengan kabar nggak enak kayak gini, dan sekarang..." Ah rasanya Alle kehilangan kata-kata untuk menggabarkan betapa kusut harinya.
Ngantuk, lelah, marah, kesal, dan perasaan tak nyaman lain yang mendominasinya saat ini. Alle tidak bisa berpikir jernih, itu kenapa ia rasa yang dibutuhkannya saat ini, tidak lain dan tidak lebih adalah tidur. Mengistirahatkan seruh fungsi tubuhnya termasuk otak, sebelum nanti saat bangun Alle harus memutar otak lagi dan berusaha untuk meluruskan semuanya.
“Tan, Tante… Bener kata Kak Alle, Tan. Biarin Kak Al istirahat dulu ya, Tan? Nanti setelah itu kita bicara dengan kepala dingin. Toh, wartawannya juga udah pada pergi, kan? Tante juga bisa istirahat dulu dan jangan baca, denger atau lihat berita itu dulu. Kita tunggu sampai Kak Alle bisa jelasin situasinya, hm? Kak Alle juga pasti butuh waktu, Tan…” Raisa yang masih ada di rumah itu berusaha untuk membujuk Ibu dari atasannya itu agar menarik napas sejenak dan berusaha untuk lebih tenang.
Iya, Raisa memang masih ada di sana, di rumah Alle dan menunggu atasannya itu kembali setelah mengatur pertemuannya dengan sang bintang dan aktor papan atas yang namanya saat ini sedang disangkut-pautkan dengan Allesia.
Dalam hati Alle berterimakasih dengan kehadiran asistennya itu. Setidaknya, ketika dirinya tidak bisa diajak bicara, ibu bisa bicara dengan Raisa sebagai gantinya. Meski mungkin Raisa tidak bisa menyelesaikan masalah mereka, toh setidaknya Raisa bisa menjadi tempat sampah dari unek-unek dan perasaan tak nyaman yang minta diluapkan kadang tanpa tahu waktu dan tempat.
“Oke, kita bicara lagi nanti. Tapi nanti yang kamu maksud itu harus bisa jelasin seluruh masalah ini tanpa ada lagi yang bikin Ibu bingung. Ibu mau paham, Ibu mau ngerti semuanya tanpa terkecuali.”
Alle mengangguk-angguk menyetujui permintaan ibunya, meski yah, wanita itu sendiri tidak tahu akan menjelaskannya seperti apa karena apa yang ia diskusikan dengan Sena tadi sama sekali tidak membantu dan mengarahkannya pada solusi. Tapi toh, kalau otaknya sudah lebih fresh, sudah mau diajak berpikir, Alle yakin ia akan menemukan penjelasan yang tepat juga, karena selama ini, begitulah cara Alle untuk bisa melepaskan diri dari situasi sulit.
Ia hanya butuh istirahat sejenak, sebelum bekerja ekstra kembali untuk menemukan solusi yang dibutuhkannya.
Meninggalkan ibu dan asistennya yang mengamati kepergiannya, Alle akhirnya bisa kembali ke kamar dan melempar tubuhnya di atas ranjang. Tanpa menunggu hitungan menit, Alle sudah tenggelam ke dalam alam bawah sadarnya.
***
“Akhh…” Suara Allesia terdengar serak, menggerakkan tubuhnya berusaha melakukan perenggangan.
Badannya kaku, sedikit sakit, namun juga terasa lebih ringan.
Berusaha susah payah membuka matanya, wanita itu melirik jam di dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul 7 malam.
“Jam 7?” Gumam pria itu masih dengan suara yang kering. Tenggorokannya benar-benar membutuhkan asupan air.
Alle kemudian berusaha bangun dengan kepala pening bukan main. Entah karena tidurnya belum cukup, atau justru sebaliknya? Tidur dari siang hingga menjelang malam seperti ini bisa dikatakan cukup dan tidak cukup, tergantung bagaimana kebutuhan tubuh. Tapi sepertinya yang dialami Alle adalah karena waktu tidur yang terlalu lama. Wanita itu bahkan sampai linglung belum mengingat apapun yang terjadi sebelum dirinya terlelap tadi.
Yah, setidaknya itu lebih baik dibanding kekurangan tidur. Setelah terjaga beberapa saat, dan mendapatkan air untuk tenggorokannya, atau mungkin dengan sedikit cuci muka, Alle yakin ia sudah bisa kembali seperti semula.
Alle pikir begitu, masih terkesan santai hingga ketika wanita itu keluar dari kamarnya, hendak mengambil minum, wanita itu justru membeku di tempat sebelum ia mencapai tempat tujuannya yang tak lain adalah dapur.
Langkah Alle terhenti justru di ruang tengah, perbatasan ruang tamu dan ruang makan. Yang mana dari posisi Alle berada saat ini, wanita itu bisa melihat apapun di dua objek ruangan lain yang ada di antaranya.
“Nah, itu dia Alle-nya udah bangun.” Suara Ibu yang terdengar lebih manis dibanding apapun.
Membeku di sana, benak Alle berusaha untuk mencerna apa yang terjadi, mengingat kembali kejadian apa yang terjadi sebelum dirinya tidur tadi, berusaha untuk menempatkan ingatakannya ke tempat semula.
“Hai. Udah bangun?” Sapa sosok yang saat ini duduk di ruang tamu bersama ibunya.
“Kamu tuh tidurnya lama banget sih, Al? Kasihan lo Nak Sena udah nunggu dari tadi. Ibu mau bangunin kamu dari tadi aja Nak Sena bilang nggak usah karena tahu kamu pasti butuh istirahat, butuh tidur.”
Dengar? Dengar apa yang ibunya bilang? Siapa yang ada di sana? Sena? Sena yang itu? Bimasena yang—
“Sial! Jadi semuanya itu bukan mimpi?!” Seru Allesia histeris.
Bagaimana tidak? Sampai sesaat lalu, Alle masih merasa kalau sekilas-sekilas bayangan yang muncul di kepalanya adalah mimpi, atau adegan yang mungkin sudah atau sedang akan Alle buat dalam salah satu ceritanya. Tapi ternyata? Itu nyata? Apa yang kini melintas di kepalanya—ingatan itu? Bukan alur cerita yang justru sudah atau tengah Alle buat?!
“Hah? Kamu ini ngomong apa sih? Dan berhenti ngomong sendiri sambil ngumpat begitu! Udah berapa kali Ibu bilang?! Nggak enak didengar, Al!” Setelah sempat bersuara lembut dan bernada manis. Kebiasaan ibunya yang memang bisa dibilang terlalu sering—sangat sering menarik urat pada putri sulungnya itu akhirnya keluar secara alami, meski sepertinya wanita paruh baya itu berusaha untuk kembali mengontrol emosinya dengan berusaha sebisa mungkin untuk mengeluarkan suara lembutnya lagi.
“Kenapa kamu masih berdiri di sana? Sini, Al. Sena udah certain semuanya sama Ibu, jadi kamu tenang aja. Ibu nggak akan marah-marah lagi sama kamu.” Panggil ibunya, yang membuat Alle justru semakin merasa was-was dan tak nyaman bukan main.
Bukan apa-apa. Bayangkan saja. Bayangkan… Ibunya yang jarang sekali berbicara lembut padanya, ibunya yang selalu sarkas dan mengeluarkan kalimat-kalimat savage kali ini justru terdengar dan ingin terlihat lembut. Bagaimana Alle tidak merinding dibuatnya?
Dan tunggu, apa tadi yang ibunya bilang? Sena sudah mengatakan semuanya? Sudah menceritakannya pada sang ibu hingga ibunya tidak akan marah lagi?
Apa memang? Cerita macam apa yang Sena tuturkan pada sang ibu hingga wanita paruh baya itu kini bisa bersikap demikian hanya karena dirinya kini bersama pria itu. Pria berengsek yang dengan berhasil sudah kembali merusak suasana hati Alle yang Alle pikir sudah membaik karena waktu tidurnya yang cukup lama tadi.