7. Strategi yang Salah

1170 Words
“Terus mau sampai kapan kita kayak gini?” Tanya Alle begitu merasa pegal dengan posisi mereka sekarang ini. Bukan apa-apa, memasang angle agar terlihat mereka seolah-olah sedang berciuman seperti ini jelas melelahkan sekali, bukan? Apalagi Alle merasa dirinya tak nyaman bukan main karena lama-kelamaan ia tidak tahu harus memandang ke mana. Posisi mereka terlalu dekat, bahkan hingga hembusan napas Sena saja terasa di wajahnya. “Sebentar lagi, sebentar lagi…” Ucap Sena, sambil berusaha melihat ke arah kamera yang diam-diam menyaksikan mereka dan memastikan apakah paparazzi itu masih ada di sana atau tidak. “Dia masih ada di sana. Kalau lo mau kita udahin ini, lo harus sandiwara untuk nggak kelihatan marah-marah.” “Hah? Gue bukan aktris! Ngapain juga gue jadi harus ikut sandiwara?!” Alle sedikit mendorong tubuh Sena agar menjauh, tapi tentu saja Sena tahan agar mereka tetap berada di posisi yang sama. “Mau berita kekerasan nyebar atau lakuin apa yang gue bilang barusan?” Alle mengigit bibirnya, menatap Sena tajam ingin sekali melampiaskan untuk memukul pria itu yang tadi tertunda. Tapi karena tidak bisa melakukannya karena ada kamera, Alle pilih cara lain. Cara yang tidak Sena duga dan tidak terpikirkan oleh Sena juga. Wanita itu menaikan satu tangannya yang sejak tadi menganggur, menaruhnya di belakang kepala Sena yang membuat pria itu terkejut dan melebarkan mata begitu ia rasakan tangan Alle membelai rambut belakangnya, lantas dalam hitungan detik setelahnya, Alle menjambak rambut belakang Senna itu membuat Sena hampir berteriak mengaduh. Sial, dilihat dari angle kamera orang pasti menganggap bahwa Alle tengah menikmati keintiman mereka dengan menahan kepala Sena untuk tetap ada di sana, meski nyatanya wanita itu justru tengah melampiaskan kekesalannya. Sena akhirnya mejauhkan wajahnya, dengan senyum yang berusaha ia bentuk di bibir selembut dan semanis mungkin, meski dalam hati dan dibalik topeng itu Sena jelas tengah mengumpat sambil meringis ingin sekali menelan Alle hidup-hidup, tapi… mereka sedang bersandiwara untuk kepuasan paparazzi itu, kan? Maka dari itu, Sena mengambil tangan Alle dari belakarang kepalanya perlahan, mencoba untuk melepaskan jambakan wanita itu dan menaruh tangan Alle di panggungannya. Dari yang terlihat sih Sena seperti mengelus, meski sebenarnya mencengkramnya erat. “Sekarang, yang kelihatan di kamera itu bagian samping dan belakang kepala lo. Jadi kalau lo mau balik ke posisi duduk yang bener lo harus pasang muka senyum. Senyum lembut yang sedikit malu-malu, paham? Habis itu kita bisa pura-pura pergi dari sini. Karena gue yakin paparazzi itu nggak akan puas hanya dengan ambil gambar kita yang barusan.” Sena menjelaskan dengan gerakan bibir seminim mungkin, agar apa yang diucapkannya tidak terbaca dan tertangkap oleh kamera. Alle jelas sudah ingin membantah, menentang dan segala macamnya, tapi sekali lagi Sena memperingatkan Alle dengan dua pilihan yang benar-benar tidak bisa Alle terima. Menyebalkan! Pria ini benar-benar menyebalkan. Alle ingin pulang saja ke rumah. “Sial, k*****t, berengsek. Kenapa gue jadi harus ngikutin apa yang lo bilang? Kenapa gue harus keseret sama opera sabun yang lo bikin. Sejak kapan juga gue lembut dan malu-malu? Itu bukan karakter gue sama sekali!” Gerutu Alle, menggunakan gerakan bibir minim sama seperti yang Sena lakukan sambil mengembalikan posisi duduknya menghadap lulus ke depan tak lupa dengan memasang senyum lembut juga malu-malunya. Benar-benar sial. Hari-hari Alle dikutuk setelah bertemu dan berurusan dengan pria satu itu. Lain halnya dengan Alle yang tengah sibuk menggerutu, Sena justru mengulum bibir menahan senyum aslinya agar tidak tampak di bibirnya. Senyum yang bukan karena untuk bersandiwara, tapi senyum karena mendengar, melihat dan mendapatkan u*****n kasar dari Alle tanpa melihat sisi sandiwara wanita itu yang justru tengah dihidangkannya di hadapan kamera. “Kita pergi sekarang?” “Terserah.” Lagi-lagi Sena menahan senyum, memilih menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari halaman parkir basement apartemen masih tidak tahu harus membawa Alle ke mana. Well, Alle minta turun begitu mereka pergi menyusuri jalan raya cukup jauh dan yakin kalau paparazzi tidak mengikuti mereka lagi. “Gue bilang gue akan anter lo sampe rumah lo.” “Nggak perlu berengsek! Sama lo lebih lama cuma bikin masalah baru tanpa selesaiin masalah utama! Intinya lo selesaiin masalah lo sama media sana! Biar gue yang jelasin ke nyokap gue sendiri!” Alle membanting pintu mobil Sena kasar. Cukup keras hingga Sena meringis mendengarnya. Wanita itu lantas berjalan ke arah belakang, mencoba mencari dan menghentikan taksi meski cukup membutuhkan waktu. Sementara Sena tetap berada di sana, memperhatikan Alle dari mobilnya hingga wanita itu mendapatkan taksi dan pergi dari pandangan matanya. Sena menarik napas panjang, menghembuskannya dan terdiam sejenak di sana melihat taksi yang berlalu, sebelum menjalankan lagi mobilnya entah kemana untuk melakukan sesuatu yang memang harus dirinya lakukan. *** “Gimana? Udah kalian omongin semuanya? Apa tanggapannya? Dia nggak akan nuntut kita, kan? Nggak akan nuntut lo, kan?” Begitu masuk ke sebuah ruangan Sena langsung mendapatkan berondongan pertanyaan dari Fatur—manager sekaligus asistennya yang memang bertugas untuk mengurus aktor satu itu. Sena menarik napasnya panjang, menatap Fatur malas lantas melempar tubuhnya ke sofa empuk yang ada di ruangan itu. “Santai, Tur. Santai… Kenapa panik begitu sih? Yang kena rumor siapa, yang sibuk siapa.” Dengusan kasar terdengar bahkan sebelum Sena menyelesaikan kalimatnya. Tatapan pria yang berada satu ruangan dengan Sena itu pun menatap sang aktor tajam sekaligus heran. “Lo tuh ya. Udah bikin masalah, kehebohan, masih bisanya bilang santai? Lo nggak tahu udah bikin negara ini dipenuhin sama berita sama lo doang? Bimasena akhirnya menikah-lah. Sena yang membuktikan bahwa dirinya tidak gay, aktor yang muncul dengan berita kontroversial, kecurigaan dibalik berita pernikahan Bimasena.” Fatur menyebutkan satu persatu dari beberapa judul headline berita yang dibacanya pagi menjelang siang ini. Itu belum ada setengah hari, apalagi kalau beritanya sudah bergulir lebih lama, Fatur yakin judul headline di platform berita lainnya akan semakin beragam, aneh, juga menyebalkan meski hanya dibaca bagian judulnya saja. “Kayak lo baru sekali ini ada dapet situasi kayak gini. Bukannya lo udah terbiasa, ya?” Ya Tuhan… Bagaimana Fatur harus menghadapi manusia satu ini? Mendapatkan masalah bukannya introfeksi diri, ini malah terlihat membanggakannya karena sudah berkali-kali melewati situasi yang serupa. “Anyway, Tur. Kayaknya lo perlu bantu gue ngelakuin sesuatu.” “Apa lagi? Lo mau bikin masalah apa lagi? Belum selesai masalah yang ini lo udah mau bikin masalah baru? Nggak kasihan lo sama anak orang yang lo seret-seret? Lo tuh ya, Sen—bisa nggak sih…” “Justru ini gue mau selesaiin masalah gue. Makanya gue butuh bantuan lo. Well, nggak pasti bisa selesaiin masalah sih, tapi gue rasa gue—kita perlu ngelakuin ini.” Dahi Fatur berkerut tajam, sama sekali tidak bisa mempercayai ucapan Sena. Pasalnya, pria itu selalu merasa bahwa dirinya tidak perlu meluruskan apapun mengenai rumor yang menerpanya. Biar saja media menggambarkannya seperti apa, Sena hanya ingin fokus pada pekerjaannya dan melakukannya tanpa merasa terdiktraksi. Selama ini… Sena selalu beranggapan demikian, berbeda dengan responnya dengan masalah kali ini. Bukankah pria itu terlalu banyak menaruh perhatian? Bukan hanya membuat klarifikasi yang tidak perlu, Sena bahkan memintanya untuk menghubungi sosok yang disangkut-pautkan dengannya untuk sekadar menjelaskan situasi, hal yang biasanya justru Fatur lakukan sebagai gantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD