6. Mencari Solusi

1246 Words
“Nggak mikir sampe sana? Lo bilang nggak mikir sampe sana?! Ya udah makanya sekarang mikir!” Seru Alle geram. Pria ini, benar-benar menguji kesabarannya sekali nampaknya. Sena meringis, pria yang tadinya muncul dengan begitu percaya dirinya kini justru terlihat ciut di depan Alle. “Ny-nyokap lo beneran udah lihat berita itu? Marah? Ngamuk? Gimana sama bokap lo, kalau nyokap lo aja ngamuk, apalagi bokap lo, kan? Atau… sebaliknya.” “Bokap nggak ada. Cuma nyokap.” Timpal Alle dingin. Sena membungkam mulutnya rapat begitu mendengar pernyataan wanita itu. “Sorry, gue nggak—” “Bukan sesuatu yang harus bikin lo minta maaf juga. Kalau lo bikin rumah gue panas gara-gara kelakuan lo baru lo harus, wajib minta maaf.” Sena meringis. Well, sekarang dirinya mengerti kenapa Alle bisa semurka itu padanya. “Gue dating aja deh ke rumah lo, biar gue yang jelasin sama nyokap lo kalau gitu.” “NGGAK! Gila lo ya? Lo mau bikin rumor itu makin kenceng? Nggak, pokoknya gue nggak setuju kalau gitu.” Sanggah Alle cepat. “Kalau gitu gue telepon—” “Lo mau mati? Lo pikir nyokap gue bakal terima penjelasan lewat telepon? Belum juga  lo ngomong, telepon dari lo pasti udah dimatiin.” Potong wanita itu lagi, sengit. “Ya terus lo maunya gue gimana?” “Ya mikir! Cari caranya!” Ya Tuhan… Sena tahu dirinya salah, dan sepertinya pria itu juga sedang disadarkan kalau sedang berurusan dengan orang yang salah. Sial. Keduanya lantas terdiam, sama-sama berpikir. Sebenarnya apa yang Sena katakana sejak tadi tidak lain adalah buah dari pemikirannya, kan? Solusi yang dicarinya namun tidak diterima oleh Alle. Apa Alle pikir Sena tidak berpikir untuk mengeluarkan jalan keluar macam tadi? Menyebalkan sekali. “Udah, nggak ad acara lagi. Lo bilang aja ke media kalau semua itu cuma prank lo doang!” Perintah wanita itu setelah keheningan yang mereka ciptakan. “A-apa? Prank?” “Hm, semuanya memang prank, kan?” “Nggak, nggak, nggak. Prank apaan? Gue nggak pernah rencanain buat prank siapapun. Jadi jangan seenaknya ya lo pikir gue artis yang suka bikin prank-prank buat narik perhatian media.” Alle memberikan lirikan sinisnya. “Bukannya memang gitu?” Sindir Alle terang-terangan. “Gue nggak gitu! Ini semua kebetulan aja! Bukan sesuatu yang gue rencanain buat prank mereka.” “Hah, kebetulan yang lo konfirmasi? Lucu banget.” Cibir Alle tak habis. Keduanya kembali diam. “Udah, yang paling bener memang gue dating ke rumah lo langsung dan jelasin semuanya sama nyokap lo—” “GUE BILANG NGGAK. Lo nggak denger apa gimana? “Ya, terus mau lo gimana?” Dahi Sena berkerut bingung, begitu melihat Alle hendak membuka mulutnya Sena langsung buru-buru mencengahnya. “Jangan bilang, “mikir” lagi. Karena yang gue sebutin tadi jelas udah hasil dari gue mikir!” Alle melempar tatapannya dari Sena, menatap keluar jendela mobil yang hanya memperlihatkan deretan mobil-mobil lainnya. Ah, apa Alle belum mengatakannya? Mereka bertemu di basement apartemen yang ditinggali Sena. Dan pertemuan itu tentu terjadi karena dua belah pihak dari asisten masing-masing yang mengaturnya, tentu saja di tempat yang sebisa mungkin tidak menarik perhatian media, juga atas persetujuan keduanya. “Gue bakal bilang soal ini sama nyokap gue. Kalau lo cuma bercanda bilang kayak gitu di depan media. Intinya biar nyokap gue nggak salah paham aja, dan nggak sudutin gue di rumah. Sisanya silakan lo yang tentuin. Asal jangan bawa-bawa nama gue lagi dan gue harap kita juga nggak usah ketemu lagi, dimanapun!” Alle sudah hendak keluar dari mobil pria itu, ketika Sena menahannya dan membuat Gerakan Alle terhenti. Wanita itu kembali menatap pria yang menempatkan tangan di lengannya, mencengkram tidak kasar tapi juga tidak begitu lembut. “Maksud lo, lo bakal bilang yang sebenernya ke nyokap lo?” Tanya suara Sena datar. “Hm, jelaslah. Memang lo pikir gue harus bilang apa? Kalau apa yang lo bilang itu bener? Lo mau gue katain gila lagi atau gimana?” “Nggak, pokoknya lo nggak boleh bilang yang sebenernya sama nyokap lo!” Alle pikir pembicaraannya dengan Sena selesai sampai di sana, tapi rupanya pria ini memang suka sekali memperpanjang masalah. “Bukannya maksud lo tadi mau nemuin nyokap gue juga bukan bilang yang sebenernya? Buat minta maaf karena udah sangkut-pautin nama gue dalam masalah lo.” Sena menggeleng cepat, menyangkal apa yang Alle sangka. “Bukanlah, gue bakal bilang, maaf karena nggak kunjungin nyokap lo lebih dulu sebelum buat pernyataan itu.” “Apa?!” Alle jelas langsung memberikan reaksi sengitnya, melihat raut wajah Sena yang bahkan begitu serius dengan ucapannya tadi. “Lo bener-bener udah gila rupanya!” Tangan Alle terangkat naik, kali ini tidak bisa lagi menahannya dan refleks begitu saja ingin memukul pria itu tepat di kepala agar Sena bisa kembali berpikir dengan otak jernihnya. Sebab saat ini Alle merasa, otak Sena pasti sedang konslet, kotor, berdebu atau mungkin using karena tidak dipakai. Sayangnya, gerakan Alle terhenti karena Sena lebih dulu menghentikan tangan wanita itu di udara, dan dengan kekuatannya membuat tubuh Alle maju karena tanpa sadar Sena sudah menariknya. Pandangan mereka bertemu, begitu dekat namun masih ada jarak. Masing-masing dari manik mata mereka memindai sosok yang ada di hadapannya. Mata dengan mata, turun ke hidung, bibir, hingga jakun Sena yang terlihat begitu… “L-lepas. Apa-apaan sih lo? Lepasin cepet!” Cepat lepaskan kalau tidak Alle bisa berpikir mengenai berbagai macam hal yang tidak pantas. “Diem.” “Huh?” “Diem gue bilang, ada paparazzi yang ngarahin kameranya ke arah kita.” “Hah?!” Dari Alle semakin berkerut, wanita itu bahkan hampir saja menolehkan matanya, mencoba untuk mencari sosok yang Sena maksdu itu dengan matanya sendiri dan memastikan bahwa pria itu benar. “Jangan nengok!” Sayangnya, sekali lagi Sena menghentikan Gerakan Alle itu dengan melepaskan pegangan tangannya di lengan Alle namun beralih memegang bagian belakang kepala wanita itu bahkan turun hingga menaruh telapak tangan besarnya di leher Alle. Alle terkejut. Tentu saja. Bahkan kerutan di dahinya makin tajam dan tatapannya makin sengit menghujam mata yang tepat di hadapannya. “Gila. Gila. Gila. Terus lo memang berharap apa dengan paparazzi itu yang nangkap kita dengan pose kayak gini?! Lo cuma bakal bikin berita soal prank itu besar dan makin besar!” “Terus lo mau mereka bikin berita soal putusnya kita dengan lo yang bersikap kasar sama gue? Yakin lo bakal bisa? Bakal kuat berhadapan sama cacian dan cercaan netizen yang nyerang lo? Bukan cuma dari penggemar gue, tapi maksyarakat umum juga pasti akan ikutan menghujat kalau berita itu soal kekerasan.” Ah, s**t. Ternyata berhadapan dan berurusan dengan Bimasena Ardiraga benar-benar semenyebalkan dan semerepotkan ini. Alle paling tidak suka urusan pribadinya diusik, ranah pribadinya dicampuri dan hal-hal yang mengarah pada hal itu. Membayangkan bagaimana para netizen itu mencari profil tentangnya, mengikuti laman sosial medianya hanya untuk menghujat saja membuat Alle benar-benar merasa ngeri. Bukan, Alle bukan takut karena serangan atau hinaan netizen itu—well, mungkin takut sedikit. Tapi yang lebih Alle takutkan adalah mereka yang mengorek lebih dalam mengenai kehidupan pribadinya, dan kalau mereka mnegorek begitu dalam karena masalah negatif yang diperbuatnya pada Sena, maka apapun yang akan mereka lihat pada diri Alle semuanya bukan akan menghasilkan hal yang sama—negatif, apapun, yang diperbuatnya akan bersifat negatif di mata mereka. Lantas di balik semua itu, bukan Alle hanya Alle yang akan terluka, tapi lebih dari itu, ibunya, keluarganya… mereka yang akan terluka di atas segalanya. Kini Alle rasa, memutuskan untuk bertemu pria itu jelas adalah sesuatu keputusan yang salah juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD