Alle membuka pintu mobil yang menunggunya itu dengan kasar, masuk ke dalamnya lantas membanting kasar juga begitu menutupnya.
“Halo, calon istri.” Sapa pria di kursi kemudi begitu mendapati Alle di sana.
Raut wajahnya terlihat ramah, tapi mungkin lebih ke jahil dengan senyum yang terlihat menggoda ke arah Alle.
Sementara itu, reaksi Alle yang mendengar sapaan menggelikan itu mendengus tidak percaya. Kalau dunia mereka kini berada dalam animasi, kepala Naya pasti sudah merah dan dipenuhi asap saking emosinya—menahan emosi yang sudah ingin ia luapkan sejak beberapa jam lalu.
“Bercanda ya lo? Lo punya gangguan jiwa atau apa sih? Nggak waras nih orang!”
Yang diajak bicara hanya mengangkat kedua bahunya acuh, dengan senyum yang masih terpajang di bibir.
“Lo—lo ada masalah apa sih sama gue? Kenapa jadi gue yang lo bawa-bawa?! Kesepakataan kita semalemkan bukan gitu! Dan gue nggak ingkarin janji apapun!”
Sena mengangguk-angguk, tidak menyangkal apa yang Alle katakana. “Lo memang nggak ingkar janji kok. Dan nggak ada yang salah sama lo.”
“Ya, terus? Kenapa lo malah buat pernyataan konyol macam itu? Di depan media pula!”
“Masalahnya…”
“Apa masalahnya?!”
Dahi Sena berkerut, melihat gadis di sampingnya itu rupanya tipe yang kurang sabaran. Belum juga Sena menyelesaikan kalimatnya, Alle sudah lebih dulu menyambar.
“Masalahnya ada yang lihat kita malam itu.”
“Huh?”
“Lihat gue dan lo yang… yang lagi berdua di pojokan.”
“HAH?!” Alle terlihat tidak terima dengan penggambaran Sena pada apa yang antara dirinya dan pria itu lakukan. “Apa maksud lo dan gue yang berdua di pojokkan? Gue nggak—yang bener tuh lo dan partner lo itu yang berduaan di pojokan! Bukan gue sama lo!” Alle menarik napasnya menggebu, terengah-engah setelah meluapkan emosinya yang sudah luber kemana-mana.
Tapi sesaat, setelah mengatakannya dan melihat reaksi Sena yang tidak terlihat baik, seketika Alle menelan ludahnya gugup. Apa? Apa Alle baru saja menyinggung Sena? Dengan mengungkit hubungan pria itu dengan pasangan pria-nya?
“M-Maksud gue. Gue nggak bermaksud…” s**t, apa yang sebenarnya ingin Alle katakan?
“Gue udah bilang yang lo lihat itu salah paham, kan? Kenapa lo masih bahas itu? Apa yang lo omongin barusan sama aja dengan lo bohong sama omongan lo sendiri semalem, kalau lo percaya itu cuma salah paham.”
Oh, Sena ini polos atau bagaimana? Apa Sena benar-benar berpikir kalau Alle mempercayainya? Dengan sesuatu yang sudah jelas seperti itu? Tentu saja Alle mengatakannya karena ingin urusan mereka bisa cepat selesai, kan? Bukan karena memang ia percaya dengan alasan Sena itu. Hal yang tidak disangka memang, kalau Sena semudah itu percaya dengan ucapan orang lain.
Kalau begini, Alle yang jadi merasa bersalah karena terdengar seperti ia yang membohongi pria itu, kan? Tidak, tidak. Itu jelas bukan salah Alle. Alle tidak salah karena salah Sena sendiri mengapa bisa berpikiran selurus itu? Alle rasa, selain Sena orang lain pasti mengerti kenapa Alle mengatakan hal semacam itu kemarin malam.
“Y-Ya, itu… Soal itukan nggak ada hubungannya dengan gue, jadi intinya kenapa lo harus tiba-tiba…”
“Lo yang barusan hubungin masalah itu dengan apa yang sekarang terjadi.”
Well. Apa yang dikatakan Sena benar sih, tapi itukan karena—
“Tapi itu karena…”
“Intinya semua rumor itu berawal dari apa yang wartawan lihat semalam.” Sena mengalihkan pembicaraan cepat. Terdengar dan terlihat lebih ketus dari sebelumnya. “Mereka lihat kita, dan wartawan itu pojokin gue dengan pertanyaan yang—yang salah satunya…” Pandangan Sena yang awalnya sudah kembali ke arah depan, menoleh ke arah Alle lagi memastikan wanita itu mendengarkan penjelasannya.
“Salah satunya soal hubungan lo sama gue, dan soal rumor gue yang lo pun udah tahu.”
“Rumor? Rumor yang mana? Rumor yang nyangkut seorang Bimasena kan jelas banyak—” Begitu menyadari Sena menatapnya dengan pandangan sinis yang tajam, Alle langsung menghentikan ucapannya.
Alle menelan ludahnya susah payah lagi, entah mengapa berbeda dengan tadi malam, siang ini Alle justru merasa mudah sekali merasa terintimidasi oleh pria di dekatnya itu. “Maaf, maksud gue kan… Nggak ada yang salah juga dari apa yang gue bilang, kan? Gimanapun rumor soal lo jelas lebih banyak dari tumpukkan cucian kotor gue di kamar.”
“T-Tumpukkan cucian?” Seru Sena tidak percaya.
“Intinya rumor yang mana? Alasan lo itu masih nggak bisa gue terima, tetep nggak masuk akal kenapa tiba-tiba ada berita soal lo sama gue. Oke, mungkin masuk akal kalau memang ada wartawan yang lihat, tapi jadi nggak masuk akan karena lo nggak bantah rumor itu dan malah konfirmasi kalau itu bener!”
Iya, kan? Apa yang Alle bilang benar, kan? Tidak ada yang salah, kan?
“Wartawannya nanya soal hubungan gue sama lo dan hubungan gue sama Adit.”
“Hah?”
“Cowok yang lo lihat kemarin sama gue. Wartawan itu nanya yang mana dari dua hal itu yang bener. Ya karena gue nggak mungkin konfirmasi masalah gue sama Adit, makanya—”
“Makanya lo bilang sama wartawan itu hubungan gue sama lo yang bener, gitu?” Alle bertanya benar-benar dengan nada tidak percaya. Wanita itu terlihat ingin menangis dan merasa lucu di saat yang bersamaan.
Dan jawaban Sena? Pria itu dengan mudahnya mengangguk begitu saja.
“LO GILA?! Bener-bener gila rupanya?!!” Seru Alle kembali terpancing emosi.
“Nggak usah histeris gitu. Setelah sekarang heboh nanti juga beritanya mereda, hilang, bahkan nggak ada lagi yang inget soal berita itu. Dan habis itu lo udah bisa tenang lagi deh jalanin hari lo kayak biasanya. Tapi untuk sementara lo bantuin gue dulu lah… Nggak akan lama kok, paling dua minggu sampe sebulan. Lo nggak perlu ngapa-ngapain, udah diem aja di rumah. Biar gue yang ngadepin media.”
Suar dengusan kembali keluar dari mulut Alle. Pria ini, bagaimana bisa menanggapi semuanya sesantai itu? Bisa-bisanya dia bilang Alle hanya perlu diam saja di rumah? Ketika orang rumahnya yang justru begitu heboh menanggapi kabar pernikahannya dengan Sena.
“Berengsek.” Gumam Alle begitu saja, tanpa bisa mengontrol mulutnya.
“Apa?”
Alle menghadap Sena, meyakinkan agar pria itu bisa mendengarnya dan melihat ekspresi wajahnya dengan jelas. “Berengsek. Gue bilang lo berengsek.” Geram Alle mengatakannya penuh penekanan. Tidak menarik urat untuk bersuara keras lagi, Wanita itu merasa berteriak pada Sena pun rasanya percuma.
“Hah, lo ngatain gue berengsek? Heh, bukannya itu sedikit keterlaluan? Gue nggak akan ngapa-ngapain lo, gue cuma pinjem nama lo—”
“Lo pinjem nama gue tapi tanpa izin!”
“Ya sekarang kan gue lagi izin!”
“Lo izin tapi telat, dan lo pikir izin sama yang punya nama doang cukup? Gimana sama yang ngasih nama? Otak dangkal lo itu pasti nggak mikir jauh sampe sana, kan? Karena lo selalu selesaiin masalah dengan masalah baru!”
Kerutan di dahi Sena semakin tampak. Antara tidak terima dengan tuduhan Alle namun di saat bersamaan juga bingung apa yang sebenarnya begitud dipermasalahkan wanita di sampingnya itu.
“Hah! Lihat. Llihat itu, lo bahkan nggak ngerti apa yang gue maksud. Nyokap gue! Gimana dengan nyokap gue! Lo mungkin mikir cuma gue yang terlihat dalam masalah yang lo bikin ini, kan?! Lo nggak mikirin gimana reaksi nyokap gue waktu denger anaknya mau nikah bahkan saat bertahun-tahun gue udah yakinin kalau gue nggak akan mau nikah?!”
A-ah…
Kalau dalam komik karakter Sena pasti sudah menganga, karena kebodohannya, dan cara berpikirnya yang pendek dalam menimbulkan masalah untuk orang lain. Sayangnya, dalam dunia nyata Sena tidak bisa melakukannya. Pria itu terdiam. Benar-benar terdiam karena menyadari kesalahan fatal yang baru saja diperbuatnya.
“Wuah… gue beneran nggak mikir sampe sana, ha-ha-ha-ha…” Tawa pria itu dengan wajah kaku.
Sudah bisa ditebak reaksi Alle seperti apa, bukan? Wanita itu sudah ingin sekali menempeleng kepala lawan bicaranya itu seandainya ia bisa.