“ALLESIA MANANGAN!”
“Iiiish! Apa sih? Kenapa? Ada apa? Kenapa masih pagi begini Ibu sudah teriak-teriak nggak jelas, huh? Aku lagi coba istirahat dengan tenang, Bu!” Gerutu Alle, setelah akhirnya susah payah berusaha bangkit dari kasurnya, bahkan meski harus menyeret tubuhnya yang terasa berat bukan main.
“Apa kata kamu? Kenapa? Ibu yang harusnya tanya itu sama kamu?! Apa yang udah kamu lakuin, hah? Kenapa kamu mau nikah tiba-tiba tanpa kasih tahu Ibu lebih dulu!”
Alle diam.
Ibunya diam setelah menggerutu marah.
Raisa diam sambil meringis.
Sementara Zeno, adik laki-laki Alle itu justru sudah kembali ke ruang tengah dan membesarkan suara televisi yang tengah menayangkan berita panas hari ini. Dan salah satu nama yang disebut dalam berita itu sayangnya nama yang tidak asing di telinga mereka.
“Dan nama yang dikabarkan akan menikah dengan aktor papan atas Bimasena Ardiraga adalah seorang penulis terkenal yang baru-baru ini juga telah menyelesaikan kerjasamanya dengan Sena di salah satu proyek filmnya. Allesia Manangan, perempuan berusia 29 tahun itulah yang dikabarkan beruntung untuk menjadi pendamping hidup—”
“Hah?” Alle mengaruk rambutnya yang kusut, masih setengah sadar mendengar berita yang baru saja didengarnya.
“Tunggu?! Berita apaan itu barusan, Bu? Kok bawa-bawa nama yang persis kayak nama aku?” Tanya wanita itu binggung, mesih sibuk mengusak rambutnya yang awut-awutan.
Pertanyaan Alle itu jelas membuat ibunya mendengus tidak percaya, menatap putrinya yang bukan hanya seberono tapi juga terlihat begitu bodoh sekarang.
“Persis? Kayak nama kamu?” Nami mengulang pertanyaan anaknya itu sarkas. “Bukan cuma persis, atau kayak nama kamu—itu memang nama kamu, Al! Jangan pura-pura bodoh kayak gitu! Bilang sama Ibu sekarang apa maksud berita itu?!”
Alle terdiam, benar-benar terdiam sejenak memperhatikan reaksi ibu, adik, juga asistennya yang begitu serius di sana. Setelahnya wanita itu mengembalikan fokusnya ke arah televisi yang menyala, masih menyiarkan berita yang sama sambil memperlihatkan profil seseorang yang mana rasanya Alle sangat tidak asing dengan…
“Heh! Itu kan gue!” Kali ini Alle benar-benar terjaga dari tidurnya, benar-benar terbangun setelah foto dan biodatanya dipampang dengan jelas di layar kaca.
Wanita itu kali ini mengamati, mendengarkan, mencerna baik-baik informasi yang tengah disiarkan salah satu acara gossip yang tengah melakukan siarannya di televisi nasional dan tersiarkan ke seluruh negeri.
“W-what? Apa maksdunya dengan gue yang bakal nikah sama cowok itu?! Gimana gue bisa nikah sama cowok ga—” Alle seketika menutup mulutnya, tidak menyelesaikan kata yang akan menjadi headline news lainnya besok kalau Alle sampai mengungkapkan itu.
Shit. Bahkan di saat yang membingungkannya sekalipun Alle masih menjaga privasi Sena dengan tidak membocorkan apa yang memang menjadi urusan pria itu.
“Hah? Gimana? Kenapa kamu juga kaget? Jadi berita itu nggak bener? Tapi gimana bisa…”
“Nggak bener, Bu! Omong kosong. Ini tuh bener-bener omong kosong! Gimana pula aku bisa nikah sama dia, kenal aja cuma sebatas—ya cuma sebatas dia aktor yang main di film yang aku tulis, nggak lebih dari itu! Ngobrol juga cuma basa-basi dan ngasih masukan soal kerjaan kalau memang ada yang—intinya itu nggak bener! Apaan sih ini? Kenapa bisa ada berita kayak gini? Raisa!” Seru Alle semakin emosi, kini mengarahkan tatapannya pada asistennya itu.
Tuhkan… apapun masalahnya, kalau Alle sedang kebingungan pasti yang ditanyai lebih dulu adalah Raisa, masalahnya meski Alle bertanya karena bingung, tapi wanita itu selalu terlihat marah di atas kebingungannya. Dan itu benar-benar menyebalkan sekali.
“I-itu… Aku juga nggak tahu Kak Al, masalahnya… masalahnya…” Raisa terbata, ia sendiri tidak tahu masalahnya dari mana.
Pasalnya, semalam setelah Alle pergi dari pesta itu, Raisa juga memutuskan untuk pergi. Ya mau apa lagi, kan? Selama beberapa tahun ini Raisa memang bekerja sebagai asisten Alle. Tapi karena Alle tipe yang introvert dan tidak suka berbaur, maka begitu pula Raisa mengikuti gaya hidup atasannya. Raisa memang kenal beberapa orang dari rumah produksi-rumah produksi yang bekerjasama dengan Alle, tapi hanya sebatas kenal bukan hubungan yang bisa membuat Raisa sendiri bisa merasa nyaman jika berada di kerumunan orang-orang itu. Raisa berada lebih lama di sana hanya untuk menunaikan tugasnya, begitu tugas untuk memberitahu kalau Alle pulang lebih dulu itu selesai, maka tak ada urusan lagi Raisa di sana, dan Raisa pun pulang.
Esoknya, begitu bangun, Raisa sendiri dibuat heran karena begitu banyak yang menghubunginya dan menanyakan hal-hal yang tidak masuk akal. Sebenarnya karena itu pula Raisa terbangun lebih pagi, karena suara bising dari ponselnya itu yang benar-benar menggangu.
Mendapatkan kabar mengenai pernikahan Alle—yang mana menurut Raisa tidak mungkin terjadi tanpa sepengetahuannya, Raisa memutuskan untuk mengkonfirmasi itu langsung pada yang bersangkutan dengan mendatangi rumah atasannya itu pagi-pagi. Yah meski Raisa yakin kalau kabar itu tidak benar, tetap tuntutan untuknya mengkonfirmasi itu langsung pada yang bersangkutan jelas sudah menjadi kewajibannya.
Dan lihat? Keadaan di rumah Alle bahkan tidak lebih baik dengan kondisinya saat terbangun tadi—yakni sama-sama terkejut dengan kabar yang tidak masuk akal itu.
“I-itu, Kak…”
“Kamu itu ya. Cepet hubungin pihak si Sena itu. Tanya sama pihak mereka kenapa bisa ada kabar konyol macam ini. Nggak mungkin kalau kabar macam ini bisa muncul begitu aja tanpa ada—”
“Berikut adalah pernyataan dari calon mempelai pria yang mengabarkan berita baik ini pada teman-teman media.”
Ucapan Alle terhenti, mengembalikan pandangannya ke arah televisi di mana setelah itu sosok yang tadi dibicarakannya justru muncul dan membuka suaranya di—di hadapan media?
“Mengenai kabar itu, saya pertama-tama ingin meminta maaf karena membuat kegaduhan pada semua pihak. Saya juga berterima kasih pada setiap dukungan yang saya terima begitu berita ini menyebar. Dan kehadiran saya di sini, di depan teman-teman semua, seperti yang teman-teman inginkan, saya ingin mengkonfirmasi kalau berita yang beredar itu benar adanya. Hubungan saya dan Alle memang sedang menjajaki tahap yang lebih serius, maka dari itu—”
Alle berhenti mendengarkan apapun yang dikatakan pria itu di sana. Tidak. Ini tidak benar, bagaimana bisa pria itu membenarkan berita yang bahkan Alle sendiri saja—ya Tuhan, Alle tidak tahu bagaimana ia menggambarkan perasaannya saat ini.
Kacau, berantakan, pusing, mual—semua rasa-rasa tak nyaman itu kini menjadi satu dalam dirinya. Wanita itu memejamkan mata, memijit kepalanya berharap bahwa ia bisa merasa lebih baik.
“Apa-apaan itu, Al? Gimana bisa kamu nggak tahu tapi orang itu bilang kalau hubungan kalian memang lagi menjajaki ke tahap yang lebih serius. Gimana bisa? Kamu yakin nggak bohongin Ibu? Coba jelasin, jelasin gimana bisa, gimana bisa kamu—”
“Bu, aku bahkan nggak tahu! Sumpah nggak tahu dan kenapa si berengsek—arrghhh… Raisa! Pokoknya kamu hubungi pihak mereka dan bilang sama mereka kalau aku mau bicara sama si Sena-Sena berengsek satu itu.” Geram Alle, mengepal kedua tangannya erat, sudah merencanakan akan membuat perhitungan apa saja pada pria tak tahu diri yang sudah dibantunya tapi malah menghadapkannya pada situasi sulit seperti ini.