10. Teman Bicara

1152 Words
Alle menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tindakan dari pria yang duduk di sampingnya ini sama sekali tidak ada yang membantunya satu pun. “Bisa nggak lo diem? Diem aja gitu nggak usah ngapa-ngapain. Biarin gue yang beresin apa yang terjadi di rumah gue dan lo beresin kekacauan yang udah lo timbulin di luar? Hm? Bukannya tadi siang gue udah bilang begitu? Terus kenapa lo masih…” “Karena gue nggak mau lo kesulitan jelasin sama nyokap lo. Lebih gampang kalau gue yang jelasin, kan? Toh, Ibu akhirnya ngerti, dan paham dengan situasi kita—” “Nggak ada kita! Kita apaan?! Yang ada itu lo dan gue, dan itu nggak berhubungan. Lo nggak bisa gitu aja sangkut-pautin antara di lo sama gue gitu aja!” Kepala Sena miring, mencoba mengingat dalam pembicaraan mereka entah tadi ataupun sekarang apakah Alle pernah menggunakan “kita” untuk menyebut mereka berdua dan Sena tidak mempermasalahkan mengenai itu, lantas kenapa sekarang Alle mempermasalahkannya? “Kenapa sih lo marah-marah terus dari tadi? Kenapa nggak coba dengerin penjelasan gue dulu sampe selesai? Gue rasa dari pada lo marah-marah, bukannya lebih bagus kalau lo dengerin gue dulu? Siapa tahukan, kalau solusi yang gue tawarin juga bisa lepasin lo dari situasi yang bikin lo muak selama ini.” Ucap Sena itu membuat Alle menarik napasnya pelan, menolehkan kepalanya ke arah pria itu. Dipikir-pikir, mungkin Alle memang begitu, persis seperti yang dikatakan Sena. Tapi tindakannya merupakan reaksi yang wajar dikeluarkan setiap orang, bukan? Justru aneh bagi Alle kalau ada yang dengan tenang menerima saja apa yang dilakukan Sena padanya. Ngomong-ngomong, pasti ada sih yang menerima dengan sukarela, kalau itu memang penggemar aktor satu itu. “Oke, gue dengerin. Berusaha dengerin sampai selesai, tapi kalau apa yang lo omongin sebagai besar makin nggak masuk akal, gue yang akan bilang sendiri ke media kalau yang lo konfirmasi kemarin itu nggak bener! Berita soal lo dan gue itu sama sekali nggak bener!” Sena terdiam sejenak, tidak langsung meng-iyakan ucapan Alle, namun beberapa detik setelah pria itu terlihat berpikir, Sena pun mengangguk sambil menaikan kedua alis serta kedua bahunya.   *** "Gue awalnya nggak lihat beritanya, tapi begitu perawat di sini bicarain masalah lo—maksud gue aktor itu, gue jadi bela-belain nonton acara gosip cuma buat mastiin Alle yang mereka maksud bener Alle yang gue kenal atau bukan." Pria berjas putih itu melontarkan komentarnya, begitu mempersilakan wanita yang baru masuk ke ruangannya untuk duduk. Sementara wanita yang dimaksud, yang tidak lain adalah Allesia, hanya mampu mengeluarkan hembusan napas kasarnya begitu mendengar apa yang diucapkan sahabat satu-satunya yang ia miliki—dr. Dirandra Asegaf, Sp.BS yang dikenalnya sudah sejak belasan tahun lalu. "Gue tahu lo bakal dateng, makanya gue nggak hubungin lo duluan. So? Gimana ceritanya lo jadi bisa masuk kanal gosip kayak gitu?" Melipat tangan di depan d**a, Alle menatap Dira yang hanya terlihat bagian punggungnya saja. Pria itu tengah membuatkan minum di pojok ruangan yang memang tersedia di ruangan itu. “Ahhh… jangan diingetin, ngingetnya aja udah bikin gila.” Dira berbalik dengan senyum terpasang di bibirnya, menyelesaikan apa yang dikerjakannya sejenak sebelum menghampiri teman kecilnya itu dan menghidangkan segelas kopi panas di dekat Alle. “Bukannya lo ke sini memang buat cerita? Gue pikir lo dateng ke gue kan memang buat itu.” Sialnya Dira benar, tapi entah mengapa setiap kali Dira yang memulai topik itu Alle justru jadi merasa malas membahasnya. Melihat reaksi Alle yang justru terdiam dengan raut cemberut membuat Dira menaikan sebelah alisnya. Tidak bisanya temannya itu berpikir begitu lama hanya untuk menanggapi kalimat semacam itu. “Yah, kalau lo memang nggak mau ngomongin itu. Kita bisa ngomongin hal lain.” Dira mengangkat kedua bahu, tidak masalah kalau memang Alle hendak mengubah topik pembicaraan mereka. Tapi bukannya setuju, wanita itu malah menggelengkan kepalanya keras, terlihat ingin tapi juga tidak ingin membicaraknnya. Frustrasi, mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang terlihat dari sosok Alle sekarang. “Akhhh tapi gue juga nggak tahu harus ke siapa cerita soal ini…” Keluh wanita itu, yang dilemma dengan pikirannya sendiri. Kalau sudah begini sih, Dira memilih diam saja. Toh, mau atau tidak mau Alle yang putuskan. Dira menunggu saja, sampai topik pembicaraan mereka Alle sendiri yang memulai. Menyeruput kopinya, Dira bersandar santai di sofa yang ada di ruang kerjanya itu. Alle datang memang setelah jam prakteknya selesai, meski ada beberapa pekerjaan dan jadwal operasi nanti malam, untuk saat ini setidaknya Dira memang luang, itu mengapa Dira membiarkan Alle berada di ruangannya selama apapun wanita itu mau, setidaknya sampai jam operasi yang nanti harus dihadirinya. “Si berengsek itu—” Alle menutup matanya, menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar sebelum meralat sebutannya untuk seseorang yang ia maksud. “Aktor itu—yang bawa-bawa nama gue—” “Bimasena?” “Hm, dia.” Dari raut wajah Alle saja Dira sudah bisa melihat kalau teman kecilnya itu kesal bukan main, itu kenapa Dria tidak ingin mendesak Alle dan membiarkan wanita itu untuk bercerita semampunya. “Dia—minta gue jadi istirnya.” “HAH?” Untung Dira tidak sedang menyeruput kopinya, sebab jika pria itu melakukannya Dira sendiri yakin kalau lidahnya kini sedang terbakar karena cairan panas itu sebab ia tidak mempersiapkan diri untuk menerima serangan mendadak dari ucapan Alle barusan. “A-apa maksudnya? Dia minta lo jadi istrinya? Gue pikir itu cuma rumor…” Alle berdecak, melemparkan pandangannya ke arah lain sebelum mengembalikannya pada Dira. “Memang rumor, tapi dia berusaha untuk jadiin itu berita benar.” “Hm? Gimana? Gimana?” Dira menyerah pada kopinya, memilih untuk meletakan gelasnya di atas meja dan mendengarkan penjelasan Alle terlebih dulu. Daripada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti Dira yang menumpahkan kopinya karena terkejut misalnya? Well, itu scenario terburuk yang kemungkinannya kecil sih. Tapi tidak bisa dibilang tidak mungkin tidak bisa terjadi juga, kan? “Ya, intinya. Dia mau jadiin rumor itu bener biar gue dan dia nggak perlu pusing lagi.” “B-biar nggak pusing? Gimana bisa jadi gitu padahal dia yang mulai semuanya.” Alle menegakkan duduknya, langsung terlihat lebih bersemangat dibanding sebelumnya setelah mendengar pernyataan Dira barusan. “Iya, kan? Bener, kan? Dia yang bikin rumor itu dia juga yang mau gue bantu dia buat hilangin rumornya, pake cara kuno yang bener-bener murahan dan nggak masuk akal pula! Ck, harusnya memang langsung gue tolak tawarannya itu tanpa bilang kalau bakal gue pertimbangin, kan?” “Lo bilang sama dia kalau lo bakal pertimbangin?” Dira berseru lebih kaget lagi, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Alle yang sadar akan ucapannya langsung meringis. Iya sih pada akhrinya Alle sadar kalau ia akan mengatakannya juga pada Dira, tapi Alle tidak kira bahwa ia akan menyampaikannya dengan nada dan cara seperti tadi. “A-ah itu… Gue... ngerasa penawarannya patut untuk dipertimbangkan?” Ucap Alle menyatakan namun dengan nada pertanyaan seolah dirinya sendiri tidak yakin dengan hal itu. “Apa?!” Dira benar-benar tidak percaya kalau Alle mengatakan hal semacam itu dengan mulutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD